Kritik Bukan Saran #2 - Constructive Criticism
Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : Kritik bukan Saran
Kritik yang Membangun a.k.a. Constructive Criticism
Kritik yang Membangun a.k.a. Constructive Criticism
Dengan cara yang sama dengan memahami tentang kritik kita akan mencoba
memahami kritik yang membangun dari bahasa asalnya. Karena sudah membahas
tentang criticism, maka yang perlu kita bahas adalah tentang constructive-nya.
Constructive: Having or intended to have a useful or beneficial
purpose (memiliki atau bermaksud untuk memiliki tujuan yang berguna atau
menguntungkan) [sumber]
Dari definisi di atas, dapat ditarik prinsip bahwa sesuatu yang “constructive”
atau “membangun” haruslah sesuatu yang mengandung kegunaan atau keuntungan. Saya
rasa kita tidak perlu membahas lebih panjang tentang kritik yang memang
dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang demikian karena sudah jelas kritik
semacam itu masuk ke dalam kategori constructive criticism. Yang kita bahas lebih
panjang adalah tentang kritik yang “mengandung” kegunaan atau keuntungan.
Apa sih makna dari kata mengandung disini? Yang jelas, sebuah
kritik haruslah mengandung unsur yang dapat menguntungkan atau berguna bagi si
penerima kritik. Tetapi, bergantung pada siapakah apa yang dikandung di dalam
sebuah pernyataan kritik dapat berguna
atau menguntungkan? Jawabannya : si penerima kritik itu sendiri.
Kenapa? Mari kita lihat dalam analogi berikut ini :
Ada seseorang yang lapar, dia menerima jagung dari orang yang di
sebelahnya. Seperti yang kita ketahui bersama jagung mengandung kegunaan dan
keuntungan bagi manusia bisa mengurangi lapar dan menjadi salah satu sumber
nutrisi yang sehat bagi manusia. Itu kalau orang itu bisa “mengolah” jagung
sampai bisa membawa manfaat baginya berupa kandungan nutrisi dan menghilangkan
rasa laparnya. Tapi kalau orang itu hanya diam tidak melakukan apapun karena
baginya jagung itu keras dan karenanya merasa itu tidak bisa dimakan? Jawabannya
jelas, jagung tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun baginya.
Dari analogi di atas jelas bahwa yang bisa menjadikan sesuatu berguna
atau menguntungkan bergantung pada orang yang memegang atau menerima hal
tersebut. Terlepas bisa atau tidaknya si pemegang jagung ini memanfaatkan
jagungnya, si jagung tetaplah mengandung hal yang dapat bermanfaat atau
menguntungkan bagi dia.
Hal yang sama berlaku untuk kritik. Membangun atau tidaknya sebuah
kritik sebenarnya tidak bergantung pada si pelontar kritik, tapi bergantung
pada orang yang menerimanya. Bahkan, kritik dalam bentuk olokan pun dapat
menjadi kritik yang membangun jika si penerima mampu mengelola kritik
tersebut dengan baik. Dan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Bisa atau tidaknya si penerima mengelola kritik tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa sebuah kritik mengandung unsur yang dapat digunakan untuk membangun, selama kritik itu memang didasarkan atas kenyataan dan cukup beralasan untuk dianggap cukup berpotensi menimbulkan masalah, bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat semata. Karena sebuah kritik jika kita "menerima"-nya, akan membawa kita pada proses awal untuk dapat membuat diri kita atau karya kita menjadi lebih baik, yaitu kesadaran bahwa ada kesalahan yang perlu diperbaiki. Tanpa adanya kesadaran ini, kita tidak akan bergerak untuk mengubah diri kita dengan baik sesuai dengan masalah yang sebenarnya kita hadapi.
Saya kira adalah hal yang salah jika meletakkan tanggung jawab
membangun atau tidaknya sebuah kritik kepada si penyampai kritik, karena si penyampai
kritik ga bisa melakukan apapun agar kritiknya bisa “membangun” sampai si
penerima sendiri yang bergerak dan mengolahnya menjadi sesuatu yang “membangun”.
Dan bukankah tidak adil jika menyalahkan seorang pengkritik atas kritik yang
kita rasa tidak bersifat “membangun” padahal kita lah yang tidak mampu
membuatnya menjadi bersifat membangun alias membawa kegunaan dan keuntungan bagi
kita? Bukankah itu terasa seperti mengkambinghitamkan si pengkritik atas
ketidakberdayaan kita mengelola kritik itu?
Lantas, apa itu artinya kita boleh menyampaikan kritik seperti apapun
sesuka hati kita meski dalam bentuk hinaan dan sumpah serapah?
Itu yang akan jadi topik dalam pembahasan kita yang selanjutnya, disini.
Masalah Sebenarnya dari Kritik yang (dianggap) Tidak Membangun
Selama ini yang kita kenal sebagai kritik yang membangun adalah yang
disampaikan dengan kata-kata “manis” yang tidak menyakitkan hati atau yang
mengandung solusi atas apa yang dikritiknya. Jika demikian, apa karena tanpa
solusi dan hanya membuat sakit hati maka kritik-kritik itu harus dihilangkan?? Demi
mencegah dari rasa sakit hati dan konflik yang tidak perlu, maka pengetahuan
akan adanya kesalahan dapat dieliminasi daripada menimbulkan konflik baru??
Hm...itu benar sih kalau kesalahan itu jika dibiarkan tidak
menimbulkan masalah yang makin parah atau malah membawa pada masalah-masalah
baru. Sayangnya, tidak semua kesalahan dapat ditolerir sehingga kita akan tetap
baik-baik saja meski kesalahan itu dibiarkan karena kita khawatir akan menimbulkan rasa
sakit hati dan konflik baru. Lebih seringnya, kalau dibiarkan kesalahan itu
akan jadi perangkap besar yang sewaktu-waktu bisa menjerat kita.
Lalu, bagaimana jika ternyata kesalahan tersebut memang terlalu rumit
dan untuk menemukan solusinya tersebut perlu didiskusikan bersama? Bagaimana
dengan kritik yang meski dilontarkan oleh orang yang minim pengetahuan dan
keahlian dalam bidangnya, tetapi kesalahan itu memang nyata dan penting untuk
diperbaiki sedangkan orang yang mengkritik tadi memang ga bisa memberi solusi
karena keterbatasannya tadi, apa harus juga dia mengacuhkan temuannya itu?
Haruskah orang-orang yang “tampaknya” cuma bisa mengkritik tanpa solusi ini
diam dan menunggu entah sampai kapan, entah bisa atau tidak, menemukan
solusinya??
Contohnya, salahkah jika seorang customer yang tak mengetahui apapun
tentang pembuatan produk complain terhadap kualitas produk yang ia rasakan
buruk meski ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki produk yang telah dibelinya itu agar sesuai dengan yang ia inginkan?
Haruskah ia diam dan belajar terlebih dahulu cara membuat produk dan menjadi
sama terampilnya dengan produsen terlebih dahulu dalam membuat produk tersebut,
kemudian baru dia mencari solusi dari keluhannya sendiri baru dia boleh
menyampaikan kritik alias complain pada pihak produsen? Dan jika si customer
tidak mau melaksanakannya maka harusnya dia diam saja?? Well, kalau itu cuma kritiknya cuma pada hal-hal yang memang remeh sih dan terjadi
sebelum produk itu merugikan banyak customer lainnya dan kemudian bikin si
produsen gulung tikar sih, mungkin gapapa.
Paling-paling dia Cuma kehilangan kesempatan untuk meningkatkan keuntungannya, itu kalau ga ada pesaing yang ternyata produknya mampu mengatasi dan menguntungkan lebih banyak customer dan akhirnya bikin produk si produsen ini ga laku.
Paling-paling dia Cuma kehilangan kesempatan untuk meningkatkan keuntungannya, itu kalau ga ada pesaing yang ternyata produknya mampu mengatasi dan menguntungkan lebih banyak customer dan akhirnya bikin produk si produsen ini ga laku.
Sejujurnya, saya rasa itu bodoh! Tidak ada yang salah dengan
menyampaikan kesalahan a.k.a. kritik tanpa solusi karena dasarnya kritik memang
bukan solusi dan kritik tidak mengharuskan mengandung unsur solusi. Yang
mengandung unsur solusi adalah saran atau masukan (terserah mau pake istilah
yang mana). Dan ga perlu kita menghilangkan potensi yang mampu mencegah kita
dari semakin parahnya masalah atau munculnya masalah-masalah baru hanya karena
kritik itu disampaikan tidak dengan cara yang kita harapkan dan tidak pula
mengikutsertakan solusi di dalamnya.
Jelas bahwa yang jadi masalah sebenarnya dari kritik yang (dianggap)
tidak membangun adalah perasaan manusia yang mudah sakit hati, entah dari
tindakan yang memang punya niat baik atau buruk, termasuk kritik. Saat
dikritik, sangat wajar jika kita merasa ego dan harga diri kita tersakiti.
Well, karena ternyata apa yang selama ini kita anggap benar dan mungkin kita
banggakan ternyata salah, atau hal yang selama ini kita harap orang lain tidak
mengetahuinya kemudian diketahui dan diungkapkan oleh orang lain. Apalagi nih
kalau yang mengkritik bilangnya pakai kata-kata yang menusuk hati dan ga ada
solusi pula. Berasa kayak diinjak-injak terus dicampakkan!
Tapi, saya kira adalah kesalahan dan kerugian besar jika kita
menghilangkan kritik hanya karena ego dan harga diri kita yang ga mau tersakiti
serta karena keengganan kita bersusah payah memperbaiki kesalahan tersebut. Sejujurnya
menurut saya, harga diri, ego dan rasa enggan adalah bayaran yang murah
dibanding hidup kita hancur hanya karena ga mau menerima kritik. Dan sedikit
konyol rasanya jika kita rela mempertahankan diri kita untuk kemudian menyambut
kehancuran - yang jujur menurut saya akan membuat harga diri kita nantinya
bakal terjun bebas jauh lebih dalam daripada menerima kritik dan memperbaiki
kesalahan kita.
Lalu? Apa tidak boleh merasa sakit hati akibat kritik? Meskipun memang
nyatanya dikritik tuh sakitnya disini?? *nunjuk dada*
Mari bercuap-cuap :D