Kritik Bukan Saran #2 - Constructive Criticism

9/23/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : Kritik bukan Saran

Kritik yang Membangun a.k.a. Constructive Criticism
Dengan cara yang sama dengan memahami tentang kritik kita akan mencoba memahami kritik yang membangun dari bahasa asalnya. Karena sudah membahas tentang criticism, maka yang perlu kita bahas adalah tentang constructive-nya.

Constructive: Having or intended to have a useful or beneficial purpose (memiliki atau bermaksud untuk memiliki tujuan yang berguna atau menguntungkan) [sumber]

Dari definisi di atas, dapat ditarik prinsip bahwa sesuatu yang “constructive” atau “membangun” haruslah sesuatu yang mengandung kegunaan atau keuntungan. Saya rasa kita tidak perlu membahas lebih panjang tentang kritik yang memang dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang demikian karena sudah jelas kritik semacam itu masuk ke dalam kategori constructive criticism. Yang kita bahas lebih panjang adalah tentang kritik yang “mengandung” kegunaan atau keuntungan.

Apa sih makna dari kata mengandung disini? Yang jelas, sebuah kritik haruslah mengandung unsur yang dapat menguntungkan atau berguna bagi si penerima kritik. Tetapi, bergantung pada siapakah apa yang dikandung di dalam sebuah pernyataan kritik  dapat berguna atau menguntungkan? Jawabannya : si penerima kritik itu sendiri.

Kenapa? Mari kita lihat dalam analogi berikut ini :
Ada seseorang yang lapar, dia menerima jagung dari orang yang di sebelahnya. Seperti yang kita ketahui bersama jagung mengandung kegunaan dan keuntungan bagi manusia bisa mengurangi lapar dan menjadi salah satu sumber nutrisi yang sehat bagi manusia. Itu kalau orang itu bisa “mengolah” jagung sampai bisa membawa manfaat baginya berupa kandungan nutrisi dan menghilangkan rasa laparnya. Tapi kalau orang itu hanya diam tidak melakukan apapun karena baginya jagung itu keras dan karenanya merasa itu tidak bisa dimakan? Jawabannya jelas, jagung tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun baginya.

Dari analogi di atas jelas bahwa yang bisa menjadikan sesuatu berguna atau menguntungkan bergantung pada orang yang memegang atau menerima hal tersebut. Terlepas bisa atau tidaknya si pemegang jagung ini memanfaatkan jagungnya, si jagung tetaplah mengandung hal yang dapat bermanfaat atau menguntungkan bagi dia.

Hal yang sama berlaku untuk kritik. Membangun atau tidaknya sebuah kritik sebenarnya tidak bergantung pada si pelontar kritik, tapi bergantung pada orang yang menerimanya. Bahkan, kritik dalam bentuk olokan pun dapat menjadi kritik yang membangun jika si penerima mampu mengelola kritik tersebut dengan baik. Dan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Bisa atau tidaknya si penerima mengelola kritik tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa sebuah kritik mengandung unsur yang dapat digunakan untuk membangun, selama kritik itu memang didasarkan atas kenyataan dan cukup beralasan untuk dianggap  cukup berpotensi menimbulkan masalah, bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat semata. Karena sebuah kritik jika kita "menerima"-nya, akan membawa kita pada proses awal untuk dapat membuat diri kita atau karya kita menjadi lebih baik, yaitu kesadaran bahwa ada kesalahan yang perlu diperbaiki. Tanpa adanya kesadaran ini, kita tidak akan bergerak untuk mengubah diri kita dengan baik sesuai dengan masalah yang sebenarnya kita hadapi.

Saya kira adalah hal yang salah jika meletakkan tanggung jawab membangun atau tidaknya sebuah kritik kepada si penyampai kritik, karena si penyampai kritik ga bisa melakukan apapun agar kritiknya bisa “membangun” sampai si penerima sendiri yang bergerak dan mengolahnya menjadi sesuatu yang “membangun”. Dan bukankah tidak adil jika menyalahkan seorang pengkritik atas kritik yang kita rasa tidak bersifat “membangun” padahal kita lah yang tidak mampu membuatnya menjadi bersifat membangun alias membawa kegunaan dan keuntungan bagi kita? Bukankah itu terasa seperti mengkambinghitamkan si pengkritik atas ketidakberdayaan kita mengelola kritik itu?

Lantas, apa itu artinya kita boleh menyampaikan kritik seperti apapun sesuka hati kita meski dalam bentuk hinaan dan sumpah serapah?

Masalah Sebenarnya dari Kritik yang (dianggap) Tidak Membangun
Selama ini yang kita kenal sebagai kritik yang membangun adalah yang disampaikan dengan kata-kata “manis” yang tidak menyakitkan hati atau yang mengandung solusi atas apa yang dikritiknya. Jika demikian, apa karena tanpa solusi dan hanya membuat sakit hati maka kritik-kritik itu harus dihilangkan?? Demi mencegah dari rasa sakit hati dan konflik yang tidak perlu, maka pengetahuan akan adanya kesalahan dapat dieliminasi daripada menimbulkan konflik baru??

Hm...itu benar sih kalau kesalahan itu jika dibiarkan tidak menimbulkan masalah yang makin parah atau malah membawa pada masalah-masalah baru. Sayangnya, tidak semua kesalahan dapat ditolerir sehingga kita akan tetap baik-baik saja meski kesalahan itu dibiarkan karena kita khawatir akan menimbulkan rasa sakit hati dan konflik baru. Lebih seringnya, kalau dibiarkan kesalahan itu akan jadi perangkap besar yang sewaktu-waktu bisa menjerat kita.

Lalu, bagaimana jika ternyata kesalahan tersebut memang terlalu rumit dan untuk menemukan solusinya tersebut perlu didiskusikan bersama? Bagaimana dengan kritik yang meski dilontarkan oleh orang yang minim pengetahuan dan keahlian dalam bidangnya, tetapi kesalahan itu memang nyata dan penting untuk diperbaiki sedangkan orang yang mengkritik tadi memang ga bisa memberi solusi karena keterbatasannya tadi, apa harus juga dia mengacuhkan temuannya itu? Haruskah orang-orang yang “tampaknya” cuma bisa mengkritik tanpa solusi ini diam dan menunggu entah sampai kapan, entah bisa atau tidak, menemukan solusinya??

Contohnya, salahkah jika seorang customer yang tak mengetahui apapun tentang pembuatan produk complain terhadap kualitas produk yang ia rasakan buruk meski ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki produk yang telah dibelinya itu agar sesuai dengan  yang ia inginkan? Haruskah ia diam dan belajar terlebih dahulu cara membuat produk dan menjadi sama terampilnya dengan produsen terlebih dahulu dalam membuat produk tersebut, kemudian baru dia mencari solusi dari keluhannya sendiri baru dia boleh menyampaikan kritik alias complain pada pihak produsen? Dan jika si customer tidak mau melaksanakannya maka harusnya dia diam saja?? Well, kalau itu cuma kritiknya cuma pada hal-hal yang memang remeh sih dan terjadi sebelum produk itu merugikan banyak customer lainnya dan kemudian bikin si produsen gulung tikar sih, mungkin gapapa.
Paling-paling dia Cuma kehilangan kesempatan untuk meningkatkan keuntungannya, itu kalau ga ada pesaing yang ternyata produknya mampu mengatasi dan menguntungkan lebih banyak customer  dan akhirnya bikin produk si produsen ini ga laku.

Sejujurnya, saya rasa itu bodoh! Tidak ada yang salah dengan menyampaikan kesalahan a.k.a. kritik tanpa solusi karena dasarnya kritik memang bukan solusi dan kritik tidak mengharuskan mengandung unsur solusi. Yang mengandung unsur solusi adalah saran atau masukan (terserah mau pake istilah yang mana). Dan ga perlu kita menghilangkan potensi yang mampu mencegah kita dari semakin parahnya masalah atau munculnya masalah-masalah baru hanya karena kritik itu disampaikan tidak dengan cara yang kita harapkan dan tidak pula mengikutsertakan solusi di dalamnya.

Jelas bahwa yang jadi masalah sebenarnya dari kritik yang (dianggap) tidak membangun adalah perasaan manusia yang mudah sakit hati, entah dari tindakan yang memang punya niat baik atau buruk, termasuk kritik. Saat dikritik, sangat wajar jika kita merasa ego dan harga diri kita tersakiti. Well, karena ternyata apa yang selama ini kita anggap benar dan mungkin kita banggakan ternyata salah, atau hal yang selama ini kita harap orang lain tidak mengetahuinya kemudian diketahui dan diungkapkan oleh orang lain. Apalagi nih kalau yang mengkritik bilangnya pakai kata-kata yang menusuk hati dan ga ada solusi pula. Berasa kayak diinjak-injak terus dicampakkan!

Tapi, saya kira adalah kesalahan dan kerugian besar jika kita menghilangkan kritik hanya karena ego dan harga diri kita yang ga mau tersakiti serta karena keengganan kita bersusah payah memperbaiki kesalahan tersebut. Sejujurnya menurut saya, harga diri, ego dan rasa enggan adalah bayaran yang murah dibanding hidup kita hancur hanya karena ga mau menerima kritik. Dan sedikit konyol rasanya jika kita rela mempertahankan diri kita untuk kemudian menyambut kehancuran - yang jujur menurut saya akan membuat harga diri kita nantinya bakal terjun bebas jauh lebih dalam daripada menerima kritik dan memperbaiki kesalahan kita.

Lalu? Apa tidak boleh merasa sakit hati akibat kritik? Meskipun memang nyatanya dikritik tuh sakitnya disini?? *nunjuk dada*


Itu yang akan jadi topik dalam pembahasan kita yang selanjutnya, disini.

Mari bercuap-cuap :D