Soal Menghargai Pendapat

4/27/2014 0 Comments A+ a-

Saya sering sekali mendapat komentar bahwa saya harusnya menghargai pendapat orang lain dengan membiarkan orang tersebut dengan pendapatnya. Tapi saya justru merasa aneh, "Tahukah kamu, saya mengkritisi pendapat anda karena saya menghargai pendapat anda!"

Oke, saya akan jelaskan kenapa saya bilang begitu.
Apa sih menghargai itu?
Saya pikir menghargai itu bukan soal memuji, atau membiarkan pendapat orang lain. Tapi, bagaimana kita melakukan sesuatu, terhadap hal yang kita hargai tersebut, sehingga tidak sia-sia adanya hal tersebut.

Misalnya, untuk menghargai jasa pahlawan apa yang akan kita lakukan? Apa diam saja membiarkan? Apa cukup dengan memuji? Ataukah melakukan sesuatu agar apa-apa yang telah mereka lakukan di masa lalu tidak terbuang sia-sia?

Kalau cuma diam saja, tentu itu artinya tidak peduli. Dan pujian berarti adalah kekaguman. Tapi, pertanyaan yang terakhir itulah arti menghargai yang sebenarnya. Begitu menurut saya.

Begitu pun saya dalam hal menanggapi pemikiran orang lain dengan kritis. Karena saya menghargai pendapat mereka, karena itulah saya menanggapinya dengan serius dan kritis. Akan sangat disayangkan, jika seandainya usaha mereka dalam menemukan suatu pemikiran sia-sia, jika ada hal yang "terlewat" dalam proses memikirkannya, sedang saya merasa tahu ada hal tidak seharusnya terlewat. Tidak hanya sia-sia, tapi itu juga berarti saya membiarkan seseorang jatuh dalam lubang, saat saya pikir di depan jalannya akan ada lubang.

Orang lain boleh menilai saya hanya ingin dianggap benar oleh orang lain. Tapi, bukan. Justru saya merasa sebal jika orang lain hanya membenarkan saya, dan bagi saya itu merendahkan! Karena saya tidak merasa dihargai, lebih merasa seperti diusir dengan pujian, "Oke, oke, terserah. Kamu yang benar. Jadi sudah ya, ga usah dilanjutin".

Menurut saya, tidak masalah jika kita merasa benar. Yang jadi masalah adalah, apakah yang kita anggap benar memang bisa dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran?? Manusia itu memang makhluk subyektif, karena itu wajar jika ia merasa benar dan ingin orang lain juga menganggap benar apa yang dianggapnya benar. Tapi tidak berarti manusia tidak bisa obyektif. Karena itu, tidak adil menganggap semua orang itu subyektif, dalam artian hanya menganggap dirinya yang paling benar, hanya karena ia merasa pendapatnya lah yang benar. Saya kira itu hanya sentimen orang lain saja, karena tidak mau pendapatnya diganggu. Yang terpenting adalah apakah memang pendapatnya itu benar. bisa dipertanggungjawabkan dan teruji atau tidak.

Saya kira, yang diharapkan dari orang-orang yang saya bicarakan di awal entri ini tadi bukanlah "penghargaan", melainkan toleransi. Seperti asal katanya,"Tolerare" yang berarti bersabar/menahan diri untuk membiarkan sesuatu. Kalau menurut kamus etimologi online, dalam bahasa inggris kata ini berarti "to endure, sustain, support, suffer, bear,"

That's it! Tapi untuk saat ini mungkin batas toleransi saya terhadap suatu pemikiran masih terlalu rendah dibandingkan orang lain. Lebih lanjutnya akan saya ceritakan di postingan yang lain. See ya...


Running Away

4/08/2014 0 Comments A+ a-

"I think, there's something wrong with a world that has no escape" by Arashi - 7 Seeds --> benar, benar. Alhamdulillah, masih ada "imajinasi" tempat escape gratis nan wonderful. That's one of my wonderful escape place ;D

Umumnya, orang-orang akan menganjurkan,"jangan melarikan diri, hadapi masalahnya!"

Bener banget itu. Masalah kalo ga dihadapi dan diselesein ya ga akan selesai. Sekalipun ditinggal dan berusaha untuk dilupakan, pasti tetep akan menghantui seumur hidup. Ya gak??

Tapi, bukan berarti melarikan diri itu selamanya salah. Maksudku, kadang kita semua juga perlu "melarikan diri" sejenak, untuk mengumpulkan kekuatan kan?

Sebut saja para penulis yang biasanya bepergian ke suatu tempat, meninggalkan ruang kerjanya untuk menyegarkan pikiran dan mencari inspirasi.
Itu termasuk melarikan diri? Iya. Melarikan diri. Lihat saja, mereka pasti menikmati perjalanan mereka dan menyingkirkan sejenak hal-hal yang bikin mereka jenuh, kalo ga gitu, inspirasinya bakal susah keluar kan?
Tapi, melarikan dirinya adalah untuk menambah amunisi buat persiapan di medan perang penulisan dan deadline-nya.

Sama juga dengan kehidupan kita. Ada kalanya kita butuh untuk melarikan diri dari segala masalah yang kita alami. Tidak apa, asalkan, kita harus memastikan bahwa setelah pelarian itu, PASTI dan HARUS kita kembali untuk menyelesaikan masalah yang telah kita tunda selama pelarian kita itu.

Melarikan diri itu wajar kok, namanya juga manusia. Pasti ada saat dimana kita jadi "down" banget dan butuh waktu untuk menarik diri sejenak dari setiap permasalahan dan menenangkan pikiran.

Pokoknya, jangan pernah terlena dengan pelarian kita itu, nanti malah keterusan jadi buronan masalah. Padahal masalah itu tambah waktu malah nambah lho kalo ga diselesein. Masa' mau beban kita makin lama makin berat dan ga berkurang? Pasti ga mau kan??

Karena itulah, aku pikir benar juga kutipan yang ada di awal tulisan ini. Bahwa, manusia yang punya dorongan untuk melarikan diri dari masalah itu ada tujuannya. Mungkin itu karena Tuhan tau manusia itu ga selamanya bisa kuat, ada titik lemahnya. Makanya, Tuhan menciptakan mekanisme pertahanan diri yang seperti itu dalam diri manusia (termasuk juga imajinasi dan tempat-tempat indah di dunia). Amazing,kan? Bahkan dalam hal-hal yang dianggap negatif pun, sebenarnya ada arti dan tujuan di balik semua mekanisme alam ini, termasuk manusia. ;)

Tapi masalahnya, manusia seringkali suka over melarikan dirinya, dan akhirnya malah merusak dirinya sendiri dengan banyak masalah yang ia tumpuk (aja) dan ga diselesein. Padahal Tuhan itu biasanya udah beri peringatan lho, untuk segera menghadapi dan menyelesaikan masalah itu. Tapi, kadang kita-nya aja yang bebal.

Jadi, mulai sekarang, jangan kuatir saat kalian merasa kalian butuh untuk melarikan diri, sedikit menarik diri dari masalah yang kita hadapi. Tapi, bertekadlah, berjanjilah pada diri kalian sendiri dan Tuhan, bahwa dalam pelarian diri kalian itu, kalian harus bisa menemukan kembali semangat dan cara untuk menyelesaikan masalah kalian. Dan yang pasti, jangan lupa kembali untuk menyelesaikan masalah kalian dengan diri kalian yang baru dan lebih tegar ^,<


"Salah"

4/07/2014 0 Comments A+ a-

Suatu hari di awal semester yang indah....  *halah, opo seh??*

Langsung intinya saja ya...

Jadi pernah suatu saat saya terlibat sedikit perdebatan dengan ketua kelas saya. Saat itu, dia menunjukkan evaluasi dari hasil belajar kelas kami, yang dianggap kurang memuaskan dan banyak program kelas yang tidak jalan. Saat itu, dia mengatakan bahwa program-program tersebut ternyata tidak mungkin dilaksanakan dan semua itu karena kesalahannya yang kurang baik dalam memanajemen.

Saya yang merasa program itu sebenarnya masih mungkin direalisasikan dan hanya masalah strategi pelaksanaan langsung aja Tanya,”Kenapa kamu merasa program itu salah? Salahnya dimananya?Karena saya rasa itu bukan salah di program-nya, tapi di pelaksanaan-nya”

Dari raut wajahnya, saya membaca bahwa ia merasa terpojokkan dengan pertanyaan saya. Mungkin, dia merasa saya memojokkannya. Dan akhirnya dia memilih untuk menghindari pertanyaan saya, dan kemudian.... saya lupa bagaimana cerita selanjutnya.

Dari kisah itu, beberapa kali saya heran. Kebanyakan orang cenderung suka menyalahkan, tapi kalo ditanya detil kesalahan cenderung defense atau menghindar, termasuk saat dia menyalahkan dirinya sendiri. Seakan merasa mereka sedang diserang dan disalahkan.

Hal yang selalu saya tanyakan dan pernah saya bahas : Saya ga habis pikir, kenapa orang butuh kambing hitam untuk setiap kemudhorotan yang terjadi di bumi ini??

Ga cuma itu, setelah bilang kesalahan ini gara-gara si A, si B atau gara-gara si komunikator sendiri. Kayaknya semua selesai dan tinggal hukum menghukum, atau kalau soal hal yang sejenis program tinggal dihapus aja programnya, atau tinggalkan semuanya dan mulai lagi yang baru

Lah kalo begitu caranya, darimana kita bisa belajar dari kesalahan kita??

Kita Cuma tau salah, tapi tak tau salahnya dan tidak berusaha mencari cara memperbaiki kesalahan. Kita Cuma tau itu salah dan harus ditinggalkan. Dan tahukah kamu? Dengan cara itu maka kamu akan menemukan semua hal itu salah, ga ada yang bener. Karena semua hal ga ada yang sempurna dan pasti ada salah dalam prosesnya. Jika kamu tidak pernah benar-benar belajar dari kesalahan maka meski mencoba untuk menempuh jalan yang berbeda, tapi kamu mungkin akan jatuh karena hal yang sama.

Dan saya bingung, kenapa orang-orang suka kayak gitu??

-Cari kambing hitam, daripada fokus pada proses pemecahan masalah

-Meninggalkan kesalahan, daripada meneliti lebih dalam kesalahan dan memperbaiki apa yang seharusnya diperbaiki agar kesalahan itu tak berlarut pada masalah lainnya.

-Menghindar dan merasa “diserang”, oleh orang-orang yang justru ingin memahami detil masalahnya agar dapat menemukan titik terang.

Kadang saya jadi bertanya-tanya, apa memang yang namanya manusia itu suka menikmati hidup menderita?? Rela berkubang pada kesalahannya berkali-kali. Padahal kata peribahasa Cuma keledai yang jatuh untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Well, meskipun saya juga ga setuju amat dengan peribahasa itu terkait dengan angka 2-nya. Tapi, minimal lah, cobalah obyektif dan mengenyampingkan perasaan terlebih dahulu. Sehingga bisa berdiskusi dengan lebih baik.

Sepertinya memang secara alami manusia lebih condong untuk memilih untuk memuaskan dorongan perasaan daripada berpikir secara rasional.Dorongan harga diri, dorongan rasa malu, dll. Tapi, apakah kita mau menyerah terhadap dorongan-dorongan itu untuk menyerahkan diri pada kubangan kesalahan yang sama berkali-kali?? Toh, kita punya akal gunanya juga salah satunya untuk mengendalikan perasaan.

Jadi?
Mau jadi budak perasaan atau menjadi “pemimpin” bagi perasaan dan diri kita sendiri??