Kritik Bukan Saran #6 - Cara Saya Menghadapi Kritik

10/16/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
Di postingan sebelumnya saya berjanji akan berbagi tentang cara saya menghadapi kritik. Sebenarnya postingan ini juga bermaksud ingin curhat dan menjelaskan mengapa saya bersikap demikian saat dikritik. Karena saya kira tidak jarang ada orang yang salah paham tentang cara saya merespon kritik-kritik dari mereka.

Disini saya tidak beranggapan bahwa cara yang saya gunakanlah yang paling benar dan diikuti oleh semua orang. Cara yang saya pilih ini merupakan cara yang bagi saya, saya nilai sebagai yang terbaik yang dampaknya saya harapkan dan konsekuensinya mampu saya tangani.

Sebelum melangkah lebih jauh tentang penjelasan cara saya, ada hal yang harus dipahami mengenai apa yang saya harapkan dari diri saya sebagai bagian dari konsep diri saya. Saya berkeinginan untuk menjadi seseorang yang selalu berusaha menjaga untuk tetap berperilaku sesuai dengan yang seharusnya dengan apa yang saya miliki (tapi, saya yang sekarang masih sangat jauh dari harapan saya ini). Dari sini, saya menentukan sikap terhadap 2 macam kritik, yakni :

  • · Kritik dalam bentuknya kritik
Umumnya, orang yang menyampaikan kritik semacam ini dapat diajak untuk berdialog lebih dalam mengenai kritik yang ia sampaikan. Karena itulah, saya akan cenderung kritis terhadap sebab, tujuan dan pendasaran dari kritik yang ia sampaikan. Jika perlu, saya akan memberikan pendasaran mengenai penyikapan atau rupa karya saya. Kemudian, apabila masih dirasa perlu untuk diperbaiki maka saya akan menanyakan alasannya.  Jika memang saya tidak lagi punya pendasaran yang memang layak digunakan maka barulah saya akan mempertimbangkan untuk berubah.

Itu saya lakukan agar saya paham betul maksud dari kritiknya, memastikan bahwa tidak ada salah paham di antara kami #halah, dan juga sebagai obat sakit hati saya karena kritik tersebut. Maksudnya, dengan mengetahui bahwa kritik itu memang layak untuk diikuti dan saya butuh untuk benar-benar paham bahwa kritik itu memang benar untuk bisa menaklukkan ego saya.

Well, memang ribet dan sepertinya saya terlalu cerewet terhadap orang yang sudah berniat baik untuk memberikan kritik pada saya. Tetapi bagi saya, saat kita mengkritik kita haruslah bertanggung jawab dan pendasaran-pendasaran yang saya tuntut dari mereka lah bentuk dari tanggung jawab kritik tersebut. Jadi saya kira adalah hal yang wajar meminta pertanggungjawaban ini dari pernyataan mereka. 

Sebenarnya tidak hanya soal kritik, tanggung jawab itu juga harus ada dalam setiap pernyataan yang kita keluarkan. Tanggung jawab di sini adalah soal pendasaran dari apa yang kita sampaikan dan konsekuensinya. Sehingga, tidak seharusnya kita asbun terus sembunyi apabila ternyata pernyataan kita menimbulkan masalah.

  • · Kritik dalam bentuk ejekan
Berbeda dengan sebelumnya, biasanya orang yang mengkritik dalam bentuk ejekan tidak memiliki niat yang cukup baik hingga mau untuk berbagi pendasaran atas kritiknya. Tapi satu hal yang agaknya cukup jelas dari ejekan itu bahwa ada kekurangan yang ia lihat dari diri kita hingga ia bisa memanfaatkan celah tersebut untuk mengejek kita. Karena itulah, saya akan berusaha berempati dengan perspektif-nya dalam melihat saya sebisa mungkin. Kemudian mencari tahu apa yang ia lihat hingga ia mengejek saya demikian, setelahnya baru saya mencari tahu sebab ia memandang saya demikian agar tahu motifnya mengkritik saya – apakah hanya sekedar ungkapan dari kekesalan yang memuncak atau hendak menjatuhkan saya. 

Dan jangan lupa untuk memastikan apakah ejekan tersebut memang cukup beralasan atau hanya dibuat-buat. Jika memang itu cukup alasan dan saya mampu dan memang harus mengubahnya maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri atau karya saya.

***

Hal yang selanjutnya yang mungkin diperlukan untuk bisa benar-benar menerima dan menindaklanjuti sebuah kritik adalah waktu. Tidak bisa dipungkiri, ada kalanya sekalipun sebuah kritikan itu memang benar adanya, tetapi saya masih saja berusaha untuk membela dan membenarkan diri saya.Ada kalanya memang saya tidak bisa menahan dorongan untuk membenarkan diri sendiri. Tapi bagi saya sendiri, tidak peduli apakah pada saat berkomunikasi saya menerima atau menolak sebuah kritikan, tetap saja saya harus memikirkan kembali kritik yang saya terima tersebut. Karena biasanya saat saya awal kali berhadapan dengan kritik, emosi juga turut campur mempengaruhi respon saya terhadap kritik itu. Karena itulah, saya perlu kembali memproses kritik tersebut di saat emosi saya sudah tenang. Dengan begitu, saya akan bisa menilai kritik itu dengan lebih netral. Memang sih, saya seringkali jarang menyampaikan hasil penerimaan saya ini secara langsung pada si pengkritik, karena saya tidak tahu juga apakah hal seperti ini cukup penting untuk diulas lagi.

Meski begitu, menerima dan menindaklanjuti kritik saya kira memang sama sekali bukan hal yang mudah. Biasanya, sekalipun saya membenarkan kritik dari orang lain, sangat sulit untuk menundukkan ego saya untuk benar-benar menindaklanjuti kritik tersebut dan tidak membiarkannya sebagai angin lalu saja. Biasanya saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk itu. Karena saya perlu berdebat dulu dengan "ego-ego" saya dan membuat mereka mengerti bahwa perubahan itu harus dilakukan. Tidak hanya itu, biasanya juga saya harus mencapai dan menyiapkan mekanisme "kompensasi" bagi ego saya. Karena tanpa "kompensasi" tersebut biasanya perubahan yang saya paksakan akan membawa efek balik yang lebih buruk dari sebelumnya. Kompensasi yang saya maksud disini bukan semacam "guilty pleasure", melainkan lebih pada penyaluran dorongan-dorongan dalam diri saya, sehingga dorongan tersebut tidak tertekan semakin di dalam karena saya menilainya sebagai sesuatu yang buruk tetapi saya berusaha untuk tetap menyalurkannya dalam bentuk yang lain. Contohnya, saat kesal saya cenderung menuliskan apa yang saya rasakan untuk menyalurkan emosi saya itu.

Singkat kata, sekalipun menerima dan menindaklanjuti memang bukan selalu hal yang mudah untuk dilakukan, tapi itu jauh lebih mudah daripada harus menanggung dampaknya jika kita tidak mengindahkan kritik tersebut. 

Kritik Bukan Saran #5 - Menyeleksi Kritik

10/10/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism
  3. Etis Dalam Kritik
  4. Perlunya Selektif Mengikuti Kritik

Menurut saya, beberapa hal utama yang harus dimiliki yakni pemahaman mengenai konsep diri yang jelas dan pemahaman terhadap kapasitas diri kita serta manusia pada umumnya – itu jika kritik yang kita terima adalah tentang konsep atau pembawaan diri kita. Hal ini diperlukan agar kita paham perubahan yang seperti apakah yang mampu kita tangani, sehingga kita tidak terlalu memaksakan diri untuk berubah yang justru tidak jarang malah membawa pada dampak yang buruk. Jika hanya menilai kapasitas diri menurut pendapat kita saja, tidak jarang malah berakhir jadi sekedar alasan untuk menghindar dari perubahan yang tidak kita sukai. Karena itulah, kita juga perlu memahami secara umum dan membandingkan kapasitas kita sebagai individu dan sebagai manusia pada umumnya sejauh apa kita berpotensi untuk mengubah diri kita. Dan jangan lupa untuk mengukur sejauh dan seberat apakah konsekuensi yang menanti kita dibalik setiap pilihan dan perhitungkan pula bagaimana kita nanti akan menanggung, menjalani dan mengelola konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut.

Akan menjadi sangat lebih baik lagi jika ditambah dengan cita-cita atau tujuan atau konsep hidup yang jelas tentang bagaimana kita ingin menjalani dan memanfaatkan hidup kita. Dengan begitu, kita dapat mengukur mana kritik yang harus kita ikuti karena mengarahkan pada tercapainya cita-cita kita, atau mana kritik yang tidak harus atau bahkan tidak boleh kita ikuti karena akan menjauhkan kita dari tujuan, cita-cita dan konsep hidup yang ingin kita jalani.

Lain masalahnya jika yang menjadi topik kritik adalah hal lain di luar diri kita, maka kita harus paham betul tentang apa yang sebenarnya sedang kita lakukan. Hal minimal yang perlu kita paham disini adalah mengenai kenapa dan untuk apa kita melakukannya dan memilih cara tersebut untuk melakukannya.

Misalnya saja dalam kisah si ayah, anak dan keledainya di posting sebelumnya, seharusnya mereka paham betul alasan di balik keputusan mereka untuk membawa keledai tersebut dan pilihan mereka di awal perjalanan agar si keledai ditunggangi oleh si ayah. Apabila sebenarnya memang mereka membawa si keledai untuk meringankan perjalanan mereka berdua, akan tetapi keledai yang mereka miliki hanya 1 dan berukuran kecil sehingga hanya mampu membawa 1 orang, saya kira keledai itu dapat digunakan secara bergantian, terlepas apa yang dikatakan orang-orang di sekitar mereka, selama yang melakukannya tidak keberatan dan memang itu dapat menyelesaikan masalah mereka, mengapa tidak? Toh, mereka bukannya tidak mempertimbangkan pertimbangan yang diutarakan oleh orang-orang tersebut. Tapi orang-orang itulah yang tidak memahami pertimbangan kedua orang ini memilih untuk bertindak demikian.  Karena pada dasarnya dengan cara yang demikian, baik sang ayah yang tua maupun anaknya yang masih kecil dapat berbagi beban; tidak semua bagian yang sulit dikerjakan satu orang seperti yang dipikir oleh orang-orang di sekitarnya; pun tidak pula terlalu memberatkan si keledai dengan membebankan lebih dari yang batasan yang bisa dipikul oleh si keledai kecil itu. Dan tidak pula membawa serta keledai tersebut menjadi hal yang sia-sia dan malah membebani kita hanya karena kita berusaha memenuhi semua keinginan orang lain tanpa paham dan teguh terhadap apa yang kita lakukan adalah memang benar.

Sekiranya kedua orang ini ingin agar orang-orang yang melihat mereka tidak salah paham, maka saya kira tidak salah si bapak dan anak menjelaskan sebab dari apa yang mereka lakukan pada orang–orang tersebut. Dengan begitu, orang-orang tersebut akan lebih memahami pertimbangan di balik tindakan kedua orang ini dan (mungkin) tidak lagi menggunjingkan mereka, selebihnya bisa jadi orang-orang ini bisa memberi kritik dan mungkin akan muncul pula solusi yang lebih baik, siapa tahu saja ada yang mau meminjamkan tunggangan untuk mereka agar masing-masing mendapatkan tunggangan secara adil.

Meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa pendapat kita atas diri  dan konsep hidup kita tidak selalu benar, ada kalanya masih dikritik pula oleh orang lain dan perlu diperbaiki, terutama jika memang nyatanya kritik tersebut benar dan sangat dibutuhkan demi kebaikan diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Sekalipun begitu, saya kira memiliki hal-hal tersebut tetap sangat penting dan dapat meminimalisir resiko seperti yang terjadi pada si bapak, anak dan keledainya pada kisah sebelumnya.

Di postingan selanjutnya, saya akan berbagi bagaimana cara saya menghadapi kritik. Tapi itu bukan berarti cara yang saya pilih adalah yang terbaik bagi semua orang di antara semua cara yang ada. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, soal cara adalah hak masing-masing orang untuk memilih dan "memodifikasi"-nya.

Kritik Bukan Saran #4 - Perlunya Selektif Mengikuti Kritik

10/07/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya :
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism
  3. Etis Dalam Kritik

Sekalipun dalam posting-posting sebelumnya saya menyatakan bawa setiap kritik -termasuk yang dalam bentuk ejekan pun- dapat kita memanfaatkan untuk perbaikan, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kritik tidak selamanya benar, baik yang datangnya dari orang lain maupun dari diri kita sendiri. Karena itulah, sekalipun memang idealnya kita menerima setiap kritik, tetapi tidak semua kritik harus diikuti. Makna menerima adalah mendengarkan, memahami dan mempertimbangkan dengan serius setiap kritik yang kita terima; sedangkan mengikuti kritik berarti berusaha untuk tidak melakukan setiap hal yang dikritik, atau berusaha untuk melakukan tiap saran yang dimasukkan dalam kritik.

Di samping itu, setiap orang memiliki pendapat, paradigma masing-masing mengenai bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Perbedaan ini tentu dapat membuat kita bingung yang mana yang harus kita ikuti, karena tiap kritik yang kita terima bisa jadi berbeda dan saling bertentangan. Dan pada akhirnya kritik-kritik itu bisa berakibat membuat kita semakin “tersesat” seperti dalam kisa ayah, anak dan keledainya berikut ini:

Ada seorang lelaki tua bersama anaknya yang masih kecil yang baru saja membeli seekor keledai. Lalu, dia bersama anaknya segera membawa pulang ke rumahnya.
Awalnya, Sang bapak menaiki keledai itu, sementara anaknya berjalan kaki sambil menuntun keledainya dari samping menyusuri jalan kampung yang ramai. Namun baru beberapa langkah keledai itu berjalan, ada seseorang yang berkata : Betapa teganya orang tua ini. Dia naik keledai sementara anaknya yang masih kecil dibiarkan berjalan kaki.

Setelah mendengar ucapan itu, sang bapak turun kemudian meminta anaknya menaiki keledai itu, sementara sang bapak berjalan sambil menuntun keledai itu. Sesampainya di kampung lain ada yang berkata lagi : “Alangkah tidak sopannya anak ini, dia enak-enakan naik keledai, sementara ayahnya hanya berjalan kaki.”

Karena itulah, sang bapak berkata kepada anaknya : “ Turunlah nak, kita berdua berjalan kaki saja “. Kemudian mereka berdua berjalan kaki sambil sang bapak menuntun keledainya. Namun ketika mereka melewati kampung yang lain , ada orang yang berkata lagi : “Mengapa kalian berdua tidak memanfaatkan keledai itu, untuk apa kalian berjalan kaki jika ada keledai yang bisa kalian naiki.”

Sang bapak kemudian menghentikan keledainya setelah mendengar perkataan orang itu dan berkata kepada anaknya : ” Apa yang telah kita lakukan salah lagi kita nak. Ya sudah, kita naiki saja berdua “. Kemudian mereka berdua menaiki keledai itu bersama-sama. Namun sesampainya di kampung yang lain , tetap saja ada orang yang protes dan berkata : “Kasihan, keledai sekecil itu dinaiki oleh dua orang.”

Sang bapak berkata lagi kepada anaknya : “ Kita dikatakan salah lagi nak. Kalau begitu harus kita apakan keledai ini?”. Sang bapak kemudian berkata lagi : “ Sudahlah nak, apapun yang akan kita lakukan pasti akan tetap salah menurut mereka. Sekarang kita pikul saja keledai ini dan biarkan nanti kalau ada orang yang mau berkata apa, terserah dan jangan kita dengarkan lagi “. Akhirnya mereka seperti orang gila, karena keledainya mereka pikul bersama. (sumber)

Kira-kira akan jadi seperti itulah jika kita berusaha mengikuti semua kritik yang kita terima. Bukan menjadi lebih baik, melainkan semakin banyak kesulitan lah yang kita dapatkan tanpa mendapatkan asil yang diharapkan. Karena itulah, menyeleksi kritik sebelum menerimanya menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dari kemampuan kita untuk mengelola sebuah kritik menjadi poin untuk membangun diri dan karya kita menjadi lebih baik.


Meski demikian penting, saya kira setiap orang berhak menentukan caranya sendiri untuk menyeleksi kritik yang seperti apa yang harusnya diikuti yang dapat membuat kita dan karya kita menjadi lebih baik. Sebelum menyeleksi, kita perlu memiliki acuan untuk memfilter kritik mana yang layak kita terima dan mana yang tidak. Hal tersebut akan kita bahas dalam posting selanjutnya