Tentang Jilbab

4/17/2015 0 Comments A+ a-

"Ada yang bilang berjilbab itu pilihan, hidayah, komitmen untuk jadi alim, dll. Tapi bagiku itu konsekuensi. Konsekuensi dari seorang muslimah, konsekuensi dari seorang wanita yang memilih Islam sebagai agama dan pedoman hidupmu. Bukan soal menjadi alim, tapi soal tanggung jawab sebagai seorang muslim"


K


Kisahku
Saya ingin bercerita tentang awal kali saya rutin menggunakan jilbab.
Jujur saja, sebelumnya saya gak suka berjilbab, soalnya ribet. Apalagi saya orangnya ga telaten dan pelupa. Jadi, saya tuh juga ada kekhawatiran gimana kalau nanti pas udah berjilbab, suatu saat aku kelupaan untuk pake jilbab dan keluar rumah tanpa memakai jilbab. Alhamdulillah, kekhawatiran itu belum pernah terjad, dan jangan sampai deh.

Saya mulai menggunakan jilbab di kelas 2 SMA. Karena waktu itu saya belum punya seragam dan kerudungnya, saya dapet "warisan" sepupu saya yang bersekolah di sekolah Islam. Nah, roknya itu kan span, ga lama setelah kupakai belahan roknya jadi makin tinggi soalnya robek mungkin gara-gara kebanyakan tingkah kali ya? *padahal saya pendiem lho waktu SMA*. Untungnya untuk seragam putih-biru bisa segera dapat yang baru. Kalau untuk rok pramuka, aku pinjam span punya mama yang panjang banget. Untungnya, rok yang ini jahitannya lebih kuat, jadi ga gampang robek. Tapi jadi susah jalannya,

Jilbab warisan dari kakak sepupu saya itu bukan model selobokan yang praktis seperti yang udah banyak dijual sekarang. Karena saya memang belom bisa pake yang model begitu, tiap hari butuh waktu sekitar 15-30 menit buat pasangnya doank. Padahal saya itu biasanya udah sering telah tanpa pake jilbab. Memang udah usaha bangun pagi sih, tapi masih telat juga. Untungnya lama kelamaan, saya udah lebih terbiasa. Meskipun kalau pake jilbab segiempat itu masih butuh waktu yang agak lama. Makanya untuk aktifitas sehari-hari biasanya saya pake jilbab "instan".

Hal yang paling terasa berbeda umasaat memakai jilbab bagi saya adalah pandangan kita jadi agak terbatas. Jadi, kalau mau lihat kanan kiri ga bisa ngelirik-nglirik lagi, harus noleh gitu. Begitu pun kalau mau liat ke atas.

Tapi, lama-lama sudah terbiasa. Dan ngrasa nyaman kok pake jilbab. Yang terpenting sih kewajiban tertunaikan dan merasa lebih terlindung juga, soalnya pakai baju yang lebih tertutup. Terasa bedanya kok, soalnya pas kuliah, anak-anak cowok lebih respect sama aku.

Pengakuan
Oh iya, pas SMP, aku pernah meminta seseorang untuk melepaskan jilbabnya biar terlihat seragam (tidak pakai jilbab) pas menari di acara KTS (Kegiatan Tengah Semester) di sekolah. Saat itu aku belum memahami makna berjilbab. Padahal dia udah berusaha menolak dengan bilang dia malu kalau tidak melepas jilbabnya. Dan sekarang, saya merasakannya. Kalau saya disuruh melepas jilbab di depan umum, pasti malu banget. Sayangnya saya belum pernah berjumpa lagi dengannya setelah lulus SMP. Untuk temanku itu, maaf banget ya, saya baru sekarang mengerti....

Superior vs Inferior

4/10/2015 2 Comments A+ a-

Mungkin teman-teman saya saat ini tidak banyak yang tau bahwa saat kecil saya itu tipe anak yang suka seenaknya sendiri dan mau menang sendiri. Maklum, waktu itu saya masih jadi anak tunggal dan meskipun keluarga saya bukan keluarga yang kaya tapi saya saat itu cukup dimanja. Karena itulah, akhirnya saya tumbuh jadi anak yang suka menang sendiri. Saat saya duduk di bus, saya harus dapat tempat yang luas, ga mau yang sempit atau dipangku, begitu pula saat tidur. padahal waktu itu emang adanya tempat duduk di bus itu ya cuma 2 jejer gitu, tempat tidur juga cuma punya satu doank. Bahkan hanya untuk urusan tinggi badan saja saya ga mau kalah, saya pernah ngambek dan ngancam ga mau sekolah kalau ga dibilangin ibu saya bahwa saya lebih tinggi dari teman saya. Keliatan arogan banget gak sih? *ya emang* .

Tapi, semua berubah saat saya pindah rumah.... #halah

1st Turning Point

Di pertengahan kelas 2 SD, saya pindah rumah di kota sebelah. Saat itu, muncul kekhawatiran bahwa saya nantinya tidak punya teman. Entah dapat wangsit darimana, saya jadi sadar dan menyimpulkan bahwa orang yang sombong dan sok itu bakalan dijauhi teman-temannya. Jadilah akhirnya saya mati-matian membuat diri saya tidak sombong dengan cara menyerang rasa percaya diri saya sendiri. Itulah yang akhirnya membuat saya jadi anak inferior dan gampang minder.

Lama kelamaan, saya sendiri merasa bahwa orang yang inferior itu lebih baik daripada orang yang superior yang memiliki harga diri tinggi, arogan dan enggan mengalah. Saya melihat bahwa orang-orang superior yang biasanya punya reflek meremehkan orang lain dan ga mau kalah itu lemah. Maksudnya, 2 hal itulah yang biasanya jadi titik fatal bagi para superior dan akhirnya melemahkan, bahkan menjatuhkan diri mereka sendiri. Selain itu, sikap arogan yang saya lihat ternyata mendatangkan sakit hati pada orang lain, yang seakan tidak peduli terhadap orang lain juga akhirny membuat saya membenci sifat itu.

Sedangkan, saya melihat ada keuntungan dibalik sifat inferior. Biasanya orang inferior tidak punya sifat meremehkan dan arogan terhadap orang lain, bahkan mereka takut menyakiti orang lain. Hal itulah, yang menurut saya waktu itu, dapat membuat mereka berusaha lebih dari orang lain. Karena merasa rendah, maka mereka akan berusaha lebih untuk bisa mencapai titik yang sama dengan orang lain.

Jadilah saya orang yang inferior banget! Bahkan sampai-sampai saya ga pede untuk ngomong keras-keras pada orang lain, kecuali pada orang yang sudah saya kenal sangat dekat. Tapi sebenarnya, saya tidak pernah bisa menghilangkan sifat superior saya yang dulu. Saya hanya mencoba untuk menekannya jauh di balik alam kesadaran saya. Saya yang membenci sifat inferior lama kelamaan jadi benci terhadap diri sendiri. Saya merasa jadi orang yang munafik, paling jahat,bla bla bla... *ga perlu disebutin disini*. Dan, itu makin memperparah rasa inferior saya. Yak, saya sukses menghancurkan rasa percaya diri saya sendiri dengan baik!

2nd Turning Point
Setelah lama tertanam dalam diri saya sifat inferior saya, mulai dari SD sampai SMA, akhirnya saya mulai menyadari kesalahan saya saat menjelang masuk kuliah. Jadi, ceritanya waktu masuk kuliah ada tes wawancaranya. Nah, saya yang super ga pede ngomong sama orang lain akhirnya jadi gagap sendiri, ga tau harus ngomong apa, bahkan hampir sama sekali ga bisa jawab pertanyaan apapun dengan baik. Malah yang nge-wawancara jadi sering ganti pertanyaan dan berusaha bikin aku nyaman, ga tegang pas wawancara. Tapi, tetep aja aku masih ga bisa ngomong dengan baik. Akhirnya sesi wawancaraku selesai dalam waktu setengah jam, mungkin kurang. Padahal anak-anak lain biasanya menghabiskan waktu 1 setengah jam lho...

Karena saat itu saya sangat ingin masuk ke perguruan tinggi itu, saat itu saya shock banget. Pasti deh ga keterima kalo' tes wawancaranya seperti itu. Sambil menunggu teman saya yang masih menjalani wawancara saat itu, saya jadi bingung mau ngapain. Dengan hati yang galau #halah, saya memutuskan untuk pergi keluar gedung dan berjalan-jalan. Tanpa tujuan, saya keluar masuk gang, bahkan gang buntu juga saya masuki. Saya ga tahu saya berjalan kemana dan saya juga ga kenal daerah itu.

Akhirnya saya menemukan sebuah taman. Saya berhenti disana, duduk di ayunan menikmati "pengasingan saya". Saat itu saya mencoba memikirkan kembali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan orang yang mewawancaraiku tadi. Ternyata saat itu saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi dengan cukup baik. Akhirnya saya kesal, "kenapa saya ga bisa jawab pertanyaan yang tadi ya? Padahal kalau dipikir sekarang itu pertanayaannnya ga terlalu sulit? Apa yang salah? Kenapa jadi seperti ini?" Saat itu saya berhenti di pertanyaan itu karena waktu sudah menunjukkan saya harus kembali, saya tidak ingin membuat teman saya menunggu.

Setelah itu, sedikit demi sedikit saya mulai menyadari bahwa inferior tidaklah "sebaik" yang saya kira. Justru yang saya dapatkan adalah kebalikan dari yang saya harapkan dari inferior. Saya menemukan bahwa justru karena inferior lah, potensi kita yang sebenarnya jadi tertahan. Saat kita merasa bisa, kita berusaha untuk menekan perasaan itu karena kita tidak percaya diri, selalu mempertanyakan dan mengkhawatirkan hal-hal secara berlebihan. Hingga akhirnya kita ga pernah maju kemanapun, berhenti di tempat. Bahkan lebih buruk lagi, semakin terpuruk karena terlalu sering merendahkan diri sendiri.

Mau tidak mau, saya harus mengakui bahwa inferior ternyata juga punya efek yang ga kalah besar daripada superior. Jika superior dapat membuatmu terjatuh di puncak kesuksesan, maka inferior dapat menjeratmu dan membuatmu tak bisa kemanapun, berada di titik yang sama, kamu tak akan bisa berkembang. Justru untuk bisa melangkah maju, kita harus mau tak menghiraukan terlebih dahulu rasa inferior kita : berhenti terlalu banyak berpikir tentang rasa khawatir kita yang berlebihan dan berhenti menyerang diri sendiri. Baru setelah itulah, kita dapat melangkah maju. Perasaan inferior itu bagaikan rantai yang mengikatmu tetap di tempat yang sama, maka untuk dapat melangkah maju melalui tempat itu kita harus mau melepas rantai itu.


Mencari titik keseimbangan
Namun, bukan berarti kemudian saya memilih untuk menjadi orang yang superior. Karena seperti yangsudah saya bilang sebelumnya, saya membenci sifat itu. Untuk beberapa lama, saya masih bingung. Hingga saya sampai pada pertanyaan,"Manakah yang lebih saya pilih, tetap menjadi inferior dan stuck selamanya di tempat yang sama, tak dapat mencapai apapun. Atau, mengambil resiko untuk menjadi orang dengan sifat yang aku benci: superior, dan mungkin terjatuh karenanya?" Sayangnya, saya sudah terlalu membenci diri saya yang selalu diam dan bersembunyi di balik rasa takut dan tidak berdaya saya untuk tetap menjadi inferior.

Saya mencoba bertanya-tanya apakah sebenarnya 2 hal ini, inferior dan superior. Saya kemudian menyadari bahwa kedua hal tersebut sebenarnya berasal dari fitrah manusia. Sifat inferior berasal dari sifat manusia sendiri yang penuh dengan keterbatasan, sedangkan superior berasal dari ego manusia yang ingin dihargai dan diakui. Pada dasarnya sifat-sifat itu tidaklah buruk dan tidak pula bisa dihilangan. Mungkin karena itulah saya tidak pernah bisa benar-benar menghilangkan sisi superior dari diri saya.

Dari sanalah saya mencoba untuk mendudukkan kedua sifat itu, bahwa sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika kita percaya drii atas hal yang memang pantas untuk dipercayai, dan dibanggakan. Yang terpenting adalah tidak merendahkan orang lain karena  keperdayaan diri dan kebanggan yang saya miliki. Sehingga, aku bisa belajar untuk lebih menghargai diri sendiri. Karena walaubagaimanapun yang seharusnya paling wajib untuk menghargai diri kita adalah diri kita sendiri.Saya tidak lagi pasrah saat direndahkan oleh orang lain, terlebih jika saya tidak merasa seperti yang orang lain katakan. Saya tidak lagi berusaha untuk mencari-cari kesalahan diri saya sendiri, saya berusaha untuk lebih seimbang. Jika memang kesalahan tidak berasal dari saya, maka saya tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Tapi, jika ada yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki keadaan, maka saya akan belajar bagaimana untuk itu. Jika saya salah, maka tidak perlu terlalu lama menyesalinya, justru harus segera berpikir gimana biar bisa memperbaiki kesalahan tersebut. Begitulah saya mencoba untuk menenangkan salah satu sisi dari diri saya yang mengkhawatirkan akibat dari "terlalu percaya diri.

Tapi, kembali lagi. Saya juga masih tidak bisa benar-benar menghilangkan perasaan inferior dari diri saya. Ada kalanya juga saya jadi kelewat percaya diri. Ga jarang 2 sisi ini dalam diri saya jadi "bertengkar" dalam diri saya. Tapi, sekrang saya lebih menikmatinya sebagai proses. Toh, saya masih bisa belajar dari kedua sisi tersebut. Meski terlihat seperti paradoks, dan mungkin bagi orang lain saya terlihat aneh, tapi apapun itu, ya inilah diri saya yang saya pilih dan sejauh ini, pilihan inilah yang terbaik bagi saya.