Kritik Bukan Saran#1
“Dalam memberikan kritik, harusnya kita memberikan kritik yang
membangun, yaitu kritik yang ga Cuma kritik tetapi juga dapat memberikan solusi
dalam masalah yang kita kritik. Jadi ga Cuma asal kritik-kritik aja bisanya”
Kira-kira ungkapan yang semakna dengan teks di atas lah yang sering
saya dengar tentang bagaimana kritik yang baik dan yang seharusnya dilakukan.
Tetapi disini saya agak tidak setuju dengan pernyataan di atas.
Tentang Kritik
Mari kita pahami terlebih dahulu mengenai apa itu kritik. Kita coba
pahami dari arti katanya di kamus bahasa inggris oxford, kenapa saya pilih
Kamus Oxford bukan kamus Bahasa Indonesia? Karena kata “kritik” merupakan
terjemahan dari bahasa inggris “criticism”, dan karena itulah saya kira kita
akan bisa mendapatkan pemahaman yang lebih baik jika memahaminya dari bahasa
inggris.
1. The expression of disapproval of someone or something on the basis of
perceived faults or mistakes (ungkapan atas ketidaksetujuan terhadap seseorang
atau sesuatu berdasarkan apa yang dirasa salah atau berdasarkan kesalahan)
2. The analysis and judgement of the merits and faults of a literary
or artistic work (Analisa dan penilaian dari kegunaan dan kesalahan dari karya
sastra atau seni)
(sumber)
Dari definisi di atas, terlihat bahwa memang sejak awal kritik
bukanlah sesuatu yang harus membangun-dalam niatnya. Definisi kritik itu
sederhana, kritik merupakan pernyataan yang mengungkapkan pertidaksetujuan
dikarenakan dirasa terdapat kesalahan terhadap hal tersebut. Di sini terlihat
pula bahwa kritik tidak ada hubungannya dengan solusi, dan tidak pula harus
mengandung suatu solusi. Kritik bukanlah solusi, dan begitu pula sebaliknya;
keduanya adalah 2 hal yang berbeda.
Apa sih pentingnya kritik itu?
Banyak orang yang masih mengutamakan masukan dan saran ketimbang
kritik, well, saya rasa itu karena masukan dan saran itu lebih instan, siap
pakai dan tidak terlalu menyebabkan sakit hati. Sedangkan, kritik? Kritik itu
menyebabkan anda sakit hati, belum lagi kita harus masih mencari solusi dulu
biar bisa baru bisa melakukan tindakan penyelesaian masalahnya, beda dengan
masukan dan saran yang bisa dijalankan saja masukannya dan masalahnya bisa
selesai. Merepotkan dan menyakitkan bukan kritik itu?
Meski begitu, sebenarnya kritik pun tidak sepenuhnya sia-sia dan
sampah. Kritik pun bisa sama berharganya seperti masukan dan saran, hanya tidak
senyaman dan semudah mereka untuk dijalani. Satu hal yang jelas adalah bahwa
untuk dapat membuat masukan dan saran, kita harus menyadari terlebih dahulu
adanya kesalahan dalam suatu hal – paling tidak menurut standar kita terlepas
dari seberapa derajat parahnya kesalahan itu. Dari sini jelas bahwa kritik
adalah tahap awal sebelum bisa membuat atau menyampaikan masukan dan saran.
Justru masukan dan saran yang tidak didasari atas penyadaran atas adanya
kesalahan adalah hal yang ganjil. Lalu, atas dasar apa seseorang memberi
masukan dan saran jika bukan karena mereka merasa ada hal yang lebih baik yang
sesuai dengan standar mereka (yang artinya menurut mereka ada kesalahan yang
harusnya bisa dijadikan lebih baik)?
Realitas Kritik
Walau memang sangat penting, sayangnya kritik merupakan media yang
empuk untuk dijadikan ajang merendahkan atau menjelek-jelekkan orang lain,
mencari-cari kesalahan, menunjukkan eksistensi dengan cara pamer superioritas
dengan cara memberi badai kritik habis-habisa pada orang atau pihak lain.
Karena itulah, sangat wajar sekali jika kritik itu lebih dekat dengan stigma
negatif daripada netral hanya sebagai penyampaian apa yang dirasa kurang. Well,
sebenarnya tanpa niat yang buruk pun kritik masih sangat bisa berbuah sakit
hati bagi orang lain karena merasa harga dirinya terluka. Jadi stigma yang diterima
kritik ini mungkin memang cukup beralasan untuk muncul, meski menurut saya itu
bukanlah stigma yang bisa dibenarkan.
Maka wajar saja orang pada umumnya yang berusaha memberikan batas yang
cukup ketat bagi mereka yang melontarkan kritik agar kritik ini menjadi sedikit
berkurang ke-“pahit”-annya, atau mewajibkan “penalti” sebagai ganti rugi atas
“sakit”-nya dikritik. Ada mereka yang mengharuskan kritik disampaikan dengan
kata-kata manis yang “memanjakan” hati penerimanya, ada pula yang mewajibkan
solusi dari apa yang dikritik sebagai “penalty” atas kesalahan yang telah
dilontarkan, yang berkesan tidak bertanggung jawab jika hanya bisa melontarkan kesalahan-kesalahan
saja tanpa solusi. Sejujurnya, saya sih fine-fine saja sih dengan itu. Baik
memang, saya tidak bisa menolak bahwa itu adalah cara terbaik untuk mengurangi
“rasa sakit” dan dampak tidak diinginkan lainnya dari kritik. Alangkah baiknya
jika memang hal tersebut selalu bisa dilakukan.
Sayangnya, dalam kenyataan ada kalanya cara untuk memperbaiki tidak
selalu ditemukan bersamaan atau segera setelah waktu yang sama dengan diketahui
adanya kesalahan. Ada kalanya kesalahan itu begitu rumit untuk diselesaikan
hingga butuh waktu yang panjang dan “pikiran” yang banyak untuk
menyelesaikannya. Ada kalanya mereka yang dapat melihat kesalahan adalah mereka
yang justru berada di luar lingkaran orang yang ahli dalam bidangnya. Ada
kalanya mereka yang mengetahui kesalahan adalah orang yang saat itu cuma tahu
bahwa ada yang salah di dalam sesuatu karena ia merasakan dampak buruknya,
tanpa tahu terlebih dahulu bagaimana seharusnya atau apa yang harusnya
dilakukan. Akhirnya di saat-saat yang demikian, yang bisa disampaikan hanyalah kesalahan,
tanpa solusi dan tanpa kata-kata manis. Bahkan ada kalanya disampaikannya
terkesan hanya seperti keluhan tanpa arti.
Tapi tetap saja, sekalipun terkesan seperti keluhan tanpa arti atau
bahkan celaan/olokan, sebuah kritik tetaplah kritik selama ia berdasar atas
kenyataan dan potensi masalah yang juga nyata. Karena kritik tak ada
hubungannya dengan cara penyampaian ataupun niat dari si penyampai kritiknya.
Kritik hanyalah ungkapan atas hal yang dirasa salah.
Namun akan menjadi masalah berbeda jika pertanyaannya adalah bagaimana
kritik yang baik itu??
Ini akan kita bahas dalam posting selanjutnya, disini.
Mari bercuap-cuap :D