Judge The Books by Its Cover #8 - Ikhtisar

11/20/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:

Kembali pada dialog yang saya sajikan dalam seri pertama rangkaian postingan ini. Saya kira hal-hal yang saya jabarkan panjang-lebar dalam seri posting inilah yang disadari betul oleh si B. Karena itulah sekalipun ia disalahpahami bahkan di jauhi oleh si A dan teman-temannya karena mereka menilai si B hanya dari "cover" saja, si B tidak marah pada mereka, tidak pula ia menuntut mereka agar mengerti kondisi dirinya ataupun agar mereka memahami dirinya yang sesungguhnya. Ia hanya berkata bahwa kesalahpahaman dan sikap si A dan teman-temannya adalah wajar karena dialah yang sama sekali tidak pernah memberi tahu mereka tentang kondisinya, dan tak mungkin mereka bisa paham tanpa penjelasannya sama sekali. Maka hal yang sangat wajar jika mereka jadi salah paham. Meski begitu ia tetap memilih untuk bersikap demikian dan sadar betul konsekuensi dari tindakannya dan rela menanggungnya. Karena itulah, ia tahu ia tidak bisa menyalahkan siapapun selain dirinya atas kesalahpahaman si A dan teman-temannya.  

Memang, di judge tanpa yang menilai paham benar diri kita itu menyakitkan, apalagi kalau menimbulkan sampai fitnah terhadap diri kita. Tapi saat kita menuntut orang lain tidak menilai kita hanya karena ia baru mengenal kita, sejatinya bukanlah hal yang mungkin dilakukan. Pun, bukan pula itu adalah permintaan yang adil. Saya kira adalah tindakan yang tidak benar jika menyalahkan penilaian orang lain atas hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita.

Maka, kita harusnya mulai membiasakan diri untuk bersama-sama memegang tanggung jawab masing-masing, yaitu sebagai orang yang tidak ingin salah dinilai hendaknya janganlah membuat orang lain jadi salah memandang diri kita, kecuali jika sudah siap dengan konsekuensinya – dan itu artinya kita siap dan menerima resiko disalahpahami oleh orang lain; dan sebagai penilai berhati-hatilah terhadap penilaian kita – ukurlah kadar kualitas penilaian kita dengan cermat, bertindaklah berdasarkan kualitas penilaian kita, jangan bertindak lebih dari itu karena bisa saja membawa masalah bukan hanya terhadap orang yang kita nilai, tetapi bisa juga berbalik pada diri kita sendiri.

Karena itulah, daripada menuntut hal yang mubazir seperti “Don’t Judge The Book by Its Cover”, belajarlah untuk bertanggung jawab terhadap dirimu sendiri dan belajarlah “Judge The Book by Its Cover” sesuai dengan "kadar"-nya

By K

Memang benar, sekalipun kita telah sama-sama berusaha untuk memenuhi tanggung jawab masing-masing, baik sebagai pihak yang dinilai maupun pihak yang menilai, kesalahpahaman masih akan mungkin terjadi. Tapi saya kira dengan menjaga tanggung jawab masing-masing tentu akan mengurangi resiko terjadinya kesalahpahaman tersebut dengan cukup signifikan. Jadi, tidak ada salahnya berusaha untuk senantiasa bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri sebagai obyek penilaian, dan bertanggung jawab terhadap hasil penilaian kita sebagai subyek penilai.

Judge The Book by Its Cover #7 - "Before" and "After"

11/18/2016 0 Comments A+ a-


Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
4. Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer
5. Judge The Book by Its Cover #5 - Tanggung Jawab Pihak Yang Dinilai
6. Judge The Book by Its Cover #6 - Menilai Sesuai Kadar

Untuk bisa menilai dengan (lebih) tepat tidak cukup hanya memperhatikan proses saat kita menilai. saja. Bahkan sebelum kita menilai pun, kita juga harus benar-benar memperhatikan "bahan baku"-nya. Layaknya memasak, masakan yang baik (enak+sehat) itu juga bergantung pada bahan baku yang berkualitas.

Tidak hanya itu, apa yang kita lakukan terhadap makanan tadi setelah dimasak juga akan berpengaruh terhadap kualitas makanan yang kita makan. Jika kemudian kita membiarkannya terbuka di tempat yang banyak lalat, tentu makanan dengan bahan dan cara memasak yang baik tadi bisa jadi racun jika dimakan. Sama dengan proses penilaian, bahan baku dan proses penilaian yang tepat agaknya menjadi sia-sia jika kemudian kita tidak berhati-hati dalam tindakan kita yang didasarkan penilaian tadi.

Lalu, seperti apa seharusnya bahan baku yang baik dan bagaimana kita menindak hasil penilaian kita?

ü  Memastikan bahwa data yang kita gunakan untuk menilai tepat dan benar adanya
Sebenarnya sebelum melangkah lebih jauh untuk menilai, hal yang sangat penting adalah memastikan semampu kita bahwa setiap informasi yang kita terima, entah bersumber dari diri sendiri atau sumber lainnya adalah memang benar adanya, dan memang sesuai atau tepat untuk digunakan sebagai bahan dasar untuk menarik kesimpulan. Menurut saya, selama sumber informasi itu belum dipastikan kebenarannya, kualitas dari penilaian kita juga masih sebatas hipotesa (perkiraan). Hipotesa memang tidak selalu salah, tapi juga tidak selalu benar.

Akibat jika kita menggunakan informasi yang belum valid ini tidak berbeda dari sebelumnya: bisa jadi akan berakhir sebuah fitnah yang membawa malapetaka bagi orang yang kita nilai, atau bahkan diri kita sendiri di kemudian hari. Karena sebagai orang yang telah menyebarluaskan berita/pendapat yang berisi fitnah, bukan tidak mungkin dampaknya akan berbalik pada kita saat diketahui kita lah pelaku penyebar fitnah, atau saat kita sadar tindakan kita salah maka kita akan dihantui rasa berasalah dan penyesalan atas kesalahan yang telah kita lakukan, padahal tindakan yang telah kita lakukan itu tidak lagi dapat diulang karena waktu tidak akan kembali ke masa yang telah lalu.


ü  Mencari tahu lebih dalam data tentang yang dinilai à biasakan bertanya
Sebenarnya hal yang juga wajib kita lakukan sebelum menarik kesimpulan yang lebih jauh tentang seseorang adalah mencari tahu lebih dalam tentang orang yang kita nilai tersebut. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan valid tentang seseorang. Lagipula, saya kira saat seseorang menyampaikan informasi tertentu tentang dirinya harusnya dia juga sudah siap dengan konsekuensinya. Maka, tidak ada salahnya memastikan informasi tersebut dari si pembawa berita. Selain itu, penilaian kita juga akan jadi lebih “terjamin” jika telah dipastikan dengan bertanya pada orang nya langsung yang kita nilai. Tidak hanya dari kedua sumber informasi itu saja, kita juga bisa mencari sumber informasi lainnya yang memang benar-benar dapat diandalkan dan dapat membantu kita untuk bisa menilai dengan lebih tepat.

Dengan begitu, akan semakin memperkecil resiko kesalahpahaman dan berubahnya penilaian kita menjadi fitnah karena penilaian yang tidak benar.

ü  Bertindak sesuai dengan kadar penilaian
Seperti yang pernah dibahas sebelumnya bahwa yang menjadi masalah soal salah dalam menilai ini sebenarnya adalah respon si penilai terkait dengan apa yang dinilainya. Maka, kita harus menjaga agar tindakan kita sesuai dengan kadar dari penilaian kita. Dengan begitu, respon kita menjadi bisa ]lebih tepat terhadap orang yang kita nilai sehingga setidaknya penilaian kita tidak akan banyak kemungkinan untuk menimbulkan salah paham pada orang tersebut.

Yang saya maksud bertindak sesuai dengan kadar penilaian kita adalah bertindak berdasarkan kualitas kepastian dari penilaian kita. Apabila penilaian itu didasarkan atas pendapat yang hanya didasarkan atas pengalaman pribadi, kesimpulan yang "prematur" atau hanya berdasarkan sumber informasi yang belum pasti atau valid maka hendaknya kita tidak menjadikannya sebagai satu-satunya informasi yang diandalkan dan menganggapnya pasti benar, sampai memang terbuktikan bahwa memang pendapat kita memang benar adanya. Apabila penilaian kita masih hanya sebatas kemungkinan, maka janganlah menganggapnya sebagai hal yang pasti sehingga membuat kita bertindak tanpa memikirkan adanya kemungkinan lain yang di luar tindakan kita; dan ingat jangan sembarangan berbagi informasi-informasi pada orang lain berdasarkan penyimpulan yang liar dengan mudah – kecuali jika hendak mengkonfirmasi atau memang ada tujuan "khusus" di baliknya.  Jangan lupa kita juga harus menyampaikannya dengan etis, tidak dengan bahasa-bahasa yang merendahkan seakan kita sedang mengejek orang tersebut dan saya kira hal yang demikian akan lebih baik jika dilakukan secara personal, bukan "diumumkan" di ruang public.

Mengenai memutuskan tindakan sesuai dengan kadar kualitas penilaian kita, sangat perlu dilakukan. Apalagi jika berkaitan tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, karena tidak jarang kesalahan kita dalam memperlakukan seseorang dapat menjadi luka yang dalam bagi orang tersebut, atau menjadi pemacu semangat dan inspirasi sepanjang hidupnya.

***
Dari pembahasan "Judge The Book Its Cover" yang marathon ini sebenarnya apa sih kesimpulannya?
Baca di postingan selanjutnya ya...

Judge The Book by Its Cover #6 - Menilai Sesuai Kadar

11/16/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
4. Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer
5. Judge The Book by Its Cover #5 - Tanggung Jawab Pihak Yang Dinilai

Meski sepanjang postingan Judge The Book by Its Cover ini saya lebih banyak menekankan bahwa melarang orang lain untuk menilai diri kita dari "sampul" saja  adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan karena sesungguhnya sebagian tanggung jawab dari hasil penilaian orang lain terhadap kita juga ada pada diri kita sendiri. Tapi itu bukan berarti pihak yang menilai boleh bebas menilai kita tanpa berhati-hati dengan penilaiannya sendiri.

Aktivitas menilai orang lain dari “kulit luar” memang hal yang tidak bisa dihindari, tapi bukan berarti semua orang bebas menilai sesuka hatinya. Saya kira hal yang seringkali kita lalaikan saat menilai adalah kesadaran kita terhadap proses penilaian yang kita lakukan, apakah setiap proses yang kita lewati memang merupakan hasil penilaian yang tepat atau ternyata kita telah menjadi korban keteledoran pikiran dan perasaan kita sendiri. Karena itulah, sangat penting untuk menjaga agar tetap bersikap sesuai "kadar"-nya, baik dalam proses menilai maupun memutuskan respon kita terhadap hasil penilaian tersebut.

Berikut ini hal-hal yang menurut saya harus diperhatikan saat menilai, terutama yang dibahas dalam kasus ini adalah dalam hal menilai orang lain:

ü  Melabeli opini sebagai fakta
Ada kalanya kita menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan hasil pikir kita sebagai fakta. Seperti misalnya dalam contoh kasus berikut ini:

Si A sedang tidak sengaja melihat si B memegang pisau yang berlumuran darah. Sedangkan, di samping si B terdapat si C yang terbujur kaku bermandikan darah. Si C yang mengetahui ini kemudian bercerita pada si D, E, F, dan seterusnya bahwa ia menyaksikan bahwa si B membunuh sih C.

Cerita di atas adalah contoh dimana si A menganggap opininya sebagai fakta. Sebenarnya, yang disaksikan si C bukanlah adegan dimana si B membunuh si C, melainkan si B memegang pisau yang berlumuran darah sedangkan si C terbujur kaku juga berlumuran darah di samping B. Anggapan si B yang membunuh si C merupakan kesimpulan si A dari melihat situasi yang demikian. Sebenarnya yang menjadi fakta disini bukanlah kesimpulan A atas situasi tersebut, melainkan situasi itu sendirilah yang menjadi faktanya.

Saya kira dalam situasi yang demikian seharusnya si A menyebutkan terlebih dahulu fakta yang benar-benar ia lihat, setelah itu barulah ia menyampaikan pendapatnya mengenai fakta yang baru saja ia lihat.

Kita harus membiasakan untuk benar-benar ketat dalam membedakan manakah yang benar-benar fakta dan yang mana yang merupakan kesimpulan yang kita tarik dari fakta tersebut atau dengan kata lain : opini kita.

ü  Menyimpulkan berlebihan dari apa yang bahan baku penilaian yang tersedia.
Tidak hanya membedakan fakta dan opini, kita juga seringkali lalai dalam menarik kesimpulan dari informasi yang kita miliki tentang sesuatu hal. Seringkali kita menganggap sesuatu hal sudah pasti, padahal sesungguhnya hal tersebut masih berupa kemungkinan. Ada kalanya pula kita menganggap semua orang adalah sama hanya berdasar penilaian kita terhadap orang-orang yang ada dalam lingkungan pergaulan tertentu, padahal di seluruh dunia ini ada berbagai macam orang dengan berbagai karakternya yang sangat mungkin berbeda dengan yang kita kenal selama ini.

Dalam contoh kasus sebelumnya misalnya, saya kira tidak cukup jika si A hanya menyatakan langsung bahwa menurut pendapatnya si B adalah orang yang membunuh si C. Seharusnya, si A mengukur apakah informasi dan bukti yang ia miliki cukup lengkap untuk menyimpulkan bahwa si B adalah pembunuh si C. Ini untuk mengukur kualitas kepastian dan kevalidan dari hasil penilaian kita tersebut. Sehingga jika ini diterapkan dalam kasus A, B, C, D, E dan F tadi, maka berdasarkan data yang dimiliki si A, maka kesimpulan yang layak ditarik adalah “menurut saya (si A), ada KEMUNGKINAN si B adalah pembunuh si C”.

Dalam permisalan lainnya, ada kalanya kita seringkali menarik berbagai prediksi dan perkiraan liar hanya dari beberapa fakta atau opini yang ada. Semisal ada si D bilang bahwa si E itu lelaki yang sikapnya lembut, eh ternyata si F bilangnya : ga Cuma lembut tetapi menurutnya si E itu kecewek-cewekan lah, sapa tau dia itu sebenarnya jiwanya perempuan, eh terus bilang mungkin dia lebih baik jadi transgender terus bilang lagi kalau dia sukanya ama sesama berjenis kelamin laki-laki! Serius, penarikan kesimpulan yang semacam ini bahaya. Salah-salah bisa jadi fitnah yang menghancurkan hidup seseorang! Kasihan kan kalau si E nanti jadi dijauhin cewek karena dikira ga minat dengan mereka (contohnya ga bermaksud menyinggung siapapun ya... hanya permisalan....)

Karena itulah, sangat penting untuk menekankan pada diri kita sendiri mana yang merupakan kesimpulan yang valid dan mana yang merupakan kesimpulan tak berdasar serta seberapakah kadar kepastiannya agar penilaian kita tidak menjadi malapetaka bagi yang kita nilai dan tidak pula menambah dosa kita karena menyampaikan berita yang sesungguhnya tidak berdasar, melainkan hanya diakibatkan dari “angan” kita yang berlebihan. Padahal sebenarnya kita juga punya tanggung jawab yang besar lho dalam setiap perkataan kita.

***

Sejauh ini, saya kira mungkin 2 poin di atas cukup mewakili yang saya sebut dengan menilai sesuai dengan kadar. Tetapi, apakah hanya dengan menilai dengan kadar saja sudah cukup untuk bisa menghasilkan penilaian yang tepat?

Kita bahas dalam postingan selanjutnya.

Judge The Book by Its Cover #5 - Tanggung Jawab Pihak Yang Dinilai

11/14/2016 2 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
4. Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer


Aktifitas menilai hanya dari cover seringkali tidak bisa dihindari, Menuntut orang lain untuk senantiasa menilai kita dengan hasil yang benar juga merupakan permintaan yang berlebihan, dan menilai orang hanya dari “kulit luar”-nya pun merupakan hal yang salah. Lalu, kita harus bagaimana? Sepertinya apapun yang kita lakukan dan harapkan adalah hal yang salah kalau berurusan dengan soal nilai-menilai ini.

Itu tidak sepenuhnya benar. Dalam hal nilai-menilai, baik pihak yang dinilai maupun pihak yang menilai keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab. Sebagai pihak penilai, hendaklah mendasarkan penilaiannya pada "kadar" yang tepat (akan kita bahas dalam posting selanjutnya). Sedangkan, sebagai pihak yang dinilai, hendaknya kita menyadari betul keinginan dan tuntutan kita terhadap orang lain tentang sejauh mana mereka harus memahami atau minimal tidak salah paham terhadap diri kita. 

Mungkin senada dengan pesan yang sering diucapkan oleh Bang Napi bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tetapi juga ada kesempatan. Maka soal kesalahan dalam penilaian ini pun tidak hanya bisa terjadi karena si penilai yang berniat buruk pada kita, atau karena keteledoran mereka saja, tetapi bisa juga jadi terjadi karena kita lah yang memberi orang lain "kesempatan" untuk melakukannya. Dengan demikian, sekalipun yang melakukan tindakan menilai adalah orang lain, jangan lupa bahwa kita juga punya porsi tanggung jawab terhadap keinginan dan tuntutan kita pada orang lain tersebut. Seperti apakah yang saya sebut dengan bertanggung jawab terhadap keinginan dan tuntutan kita sendiri dalam tulisan ini?

Tanggung Jawab sebagai pihak yang dinilai
Kita tidak bisa melarang orang lain untuk menilai hanya dari kulit luarnya saja, tidak pula kita bisa menuntut mereka untuk bisa langsung selalu menilai dengan benar diri kita hanya dari kulit luarnya saja. Apalagi untuk orang-orang yang “tersegel” sehingga sumber informasi yang didapatkan tentang mereka sangat terbatas, tentu bukan menjadi hal yang aneh jika ada yang salah menilai mereka. Tidak ada cara bagi orang lain untuk bisa mengetahui diri kita sebenarnya kecuali jika ia menguntit kita 24 jam dan mampu membaca tiap pikiran dan perasaan kita – yang saya kira adalah hal yang justru makin bikin kita ga nyaman dan itu juga merupakan hal yang cukup tidak mungkin.

Karena itulah, kita sebagai pihak yang dinilai juga berbagi tanggung jawab dengan para penilai jika kita ingin mereka menilai diri kita dengan lebih tepat dan benar. Tanggung jawab ini berupa menampilkan “cover” yang sesuai dengan apa yang membuat mereka tidak salah paham terhadap kita. Semisal jikalau kita tidak ingin dinilai sebagai orang gila dan sejatinya kita memang bukan orang gila, maka janganlah berpakaian dan berperilaku sama dengan orang gila kecuali jika kita sudah siap menanggung konsekuensi dinilai orang lain sebagai orang gila.

Jikalau kita masih bersikeras untuk menampilkan “cover” yang tidak sesuai dengan sejatinya diri kita, maka jangan hanya menyalahkan mereka jika mereka jadi salah paham terhadap kita. Karena sebenarnya kita juga berbagi kesalahan dengan mereka karena “menyodorkan” informasi yang tidak tepat kepada mereka sebagai bahan baku penilaian mereka. Jangan pula menuntut mereka untuk memperlakukan kita sesuai dengan yang seharusnya - yang sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, karena penilaian mereka bukan didasarkan atas informasi yang tidak menggambarkan diri kita yang sesungguhnya. Sudah sewajarnya perlakuan yang tepat lahir dari penilaian yang tepat pula. Sedangkan penilaian yang tidak tepat juga sewajarnya akan menghasilkan perlakuan yang tidak tepat

Sejujurnya bagi saya, butuh waktu yang cukup lama bagi saya sendiri untuk menerima fakta bahwa saya juga berbagi tanggung jawab tentang penilaian orang lain terhadap diri saya. Karena sebelumnya saya selalu berlindung di balik peribahasa “Don’t Judge The Book From Its Cover”, sangat sulit rasanya berbagi tanggung jawab atas kesalahan penilaian orang lain dengan saya (yang merasa) sebagai korban. Tapi dalam interaksi antar manusia, dalam setiap aktivitasnya, masing-masing manusia yang terlibat juga berbagi tanggung jawab dan tidak adil jika melimpahkan tanggung jawab tersebut pada salah satu pihak saja. Saat menyadari hal itu, saya harus mengakui kesalahan dalam pemikiran saya dan berusaha bersikap adil pada mereka – yaitu dengan menempatkan tanggung jawab sesuai kadarnya dan menyalahkan pun sesuai dengan kadar kesalahan masing-masing bukan melimpahkan kesalahan pada orang lain hanya karena saya tidak ingin menjadi pihak yang salah. Meski butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk menerima itu, setelah saya berusaha mencari pembelaan bahwa saya tidak salah, bahwa ini adalah sepenuhnya tanggung jawab si penilai. Karena itulah, saya mau tidak mau menerima kenyataan bahwa saya juga harus bertanggung jawab atas “cover” yang saya sodorkan sebagai bahan penilaian untuk orang lain, atau setidaknya mau menanggung konsekuensi dan resiko apabila saya tetap kekeuh tidak mau menyodorkan “cover” yang "tepat" dan membuat orang lain menilai saya dengan salah.

Yang Harus Tanggung Jawab Tidak Melulu Hanya Sang Pelaku
Mungkin pendapat saya tentang berbagi tanggung jawab ini terkesan agak aneh. Karena seakan-akan kita juga turut bertanggung jawab terhadap perilaku orang lain terhadap kita. Tapi saya pikir dalam interaksi sosial masing-masing pihak juga memiliki "peran"-nya tersendiri terhadap apa-apa yang terjadi di dalam interaksi tersebut. Karena itulah, masing-masing harusnya memang memiliki tanggung jawab dalam kadar tertentu. Sebab, bisa jadi tindakan orang lain terjadi karena kita lah yang memicunya, lah kalau begitu masa' kesalahannya mau dilimpahkan hanya pada si pelaku seorang? Padahal kita juga turut urun kesalahan dalam masalah tersebut?

Mungkin, kita terbiasa mengkotak-kotakkan antara korban dan pelaku. Bahwa sebagai pelaku, yang mereka miliki hanyalah kesalahan dan sebagai korban yang mereka miliki hanyalah "ketidakberdayaan". Sebagai korban dari orang lain yang salah menilai, maka kita merasa tidak berdaya terhadap penilaian mereka, bahwa kesalahan itu sepenuhnya adalah tanggung jawab mereka. Padahal sekalipun kita adalah "korban", bukan berarti ia sama sekali tak berdaya. Saya kira bersembunyi dari ketidakberdayaan adalah tindakan pengecut. Baik itu "korban" maupun "pelaku", kita sama-sama manusia. Manusia yang punya potensi kemampuan membela dan melindungi diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri sendiri agar tidak melakukan tindakan yang menimbulkan masalah. Tinggal bagaimana kita mengelola dan melatih potensi kemampuan yang kita miliki tersebut. 

Dan dalam konteks ini sebagai "korban" yang dinilai pun, kita masih punya "daya" yang dapat mempengaruhi hasil penilaian itu. Maka hendaknya, kita juga harus bertanggung jawab terhadap keinginan kita agar tidak salah dinilai dengan daya yang kita miliki tersebut, yakni daya untuk mengatur diri kita agar "kulit luar" kita juga menjadi "pengantar singkat" bagi orang lain untuk menilai kita.

Tunjukkan Cover Yang Jujur, Bukan Versi "PHP"
Mengenai “cover” ini bukan soal menuruti apa yang dianggap “baik” dan normal oleh orang lain dan masyarakat, bukan pula berusaha untuk menghias "cover" diri kita agar tampak baik di depan orang lain. Melainkan menampilkan diri kita sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, bukan membuat “cover” yang sama sekali tidak mewakili “isi” diri kita. Karena cover yang tidak sesuai isinya pada akhirnya akan membawa pada kekecewaan, dan saya kira hidup dengan cara yang demikian sangat melelahkan. Kalau saya sih, ga mau seumur hidup saya melakukan hal yang melelahkan dan "pointless" semacam itu.

Menurut saya, fungsi cover dalam konteks ini bukan hanya agar orang lain terkesan. Lebih dari itu, cover adalah "pengantar" yang akan membawa orang lain untuk mengenal diri kita yang sesungguhnya. Cover atau sampul sejatinya harus pula mewakili secara jujur bagaimana isi dari apa yang dilingkupinya, jika tidak bisa jadi "PHP" dong... Padahal pasti pada ga mau kan di-"PHP"-in melulu? Bikin kecewa, betul ga sih? Makanya, ga seharusnya juga kita "PHP"-in orang lain dengan "cover" yang tidak sesuai dengan "isi" diri kita yang sebenarnya.

***

Jika kita juga yang harus bertanggung jawab atas penilaian orang lain, Apakah ini berarti semua orang bebas menilai orang lain tanpa ada batasan apapun? Bagaimana dengan tanggung jawab si penilai? 
Ini akan kita bahas dalam posting yang selanjutnya.

Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer

11/12/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:

Memang sama sekali bukanlaah merupakan hal yang benar jika hanya mengandalkan hasil penilaian yang dangkal untuk memberikan 'label' pada orang lain. Penilaian yang semacam itu seringkali tidak tepat, bahkan dapat berubah jadi fitnah. Maka saya kira adalah respon yang sangat wajar jika kemudian kita tidak ingin dinilai hanya berdasarkan sampulnya saja, dan kita pun mengharapkan orang lain juga demikian. Tapi tanpa kita sadari tuntutan kita terhadap orang-orang itu sebenarnya tidak pula dapat dibenarkan, mungkin tidak jauh berbeda tidak tepatnya dengan apa yang mereka lakukan pada kita: sama-sama membawa “bahaya” pada orang yang dimintai tuntutan jika itu dituruti. Tanpa sadar kita sendiri juga bersikap egois terhadap mereka. Terlebih lagi, melarang orang lain untuk menilai orang lain berdasarkan apa-apa yang sekilas terlihat dari kulit luar itu saya kira adalah hal yang agaknya tidak mungkin karena ini merupakan aktivitas yang refleks dilakukan oleh manusia, bahkan para hewan pun melakukannya.

Permasalahannya Jika Menilai dari Cover
Sebenarnya, kita tidak keberatan untuk dinilai dari kulit luar – jika penilaian itu benar, atau minimal tidak mengakibatkan gangguan terhadap kita. Karena apa yang terlihat dari kulit luar sering kali tidak mewakili apa yang ada di balik kulit luar tersebut, sehingga seringkali menyebabkan orang salah paham. Dan masalahnya lagi, jika orang-orang di sekitar kita salah paham kita akan diperlakukan tidak sesuai dengan yang kita inginkan bahkan bisa jadi fitnah. Saya kira itulah yang paling memberatkan dari di salahpahami oleh orang lain. Inilah yang sebenarnya kita permasalahkan: akibat yang akan kita terima dari penilaian yang tidak tepat terhadap diri kita.

Sayangnya seperti yang saya katakan sebelumnya, seseorang memang tidak mungkin akan benar-benar tahu segalanya tentang orang lain. Saya kira, adalah hal yang tidak mungkin menuntut orang lain untuk benar-benar mengetahui 100% mengenai diri kita dan pasti selalu bisa menghasilkan penilaian yang benar tentang diri kita. Jangankan orang lain, kita sendiri saja belum tentu punya pengetahuan selengkap itu tentang diri kita sendiri.

Apalagi, tidak sedikit jumlah orang yang memang sengaja tidak menunjukkan dirinya sepenuhnya di depan orang lain, entah karena alasan pertahanan diri atau karena alasan lainnya. Dan nyatanya, memang manusia hanya bisa menilai berdasarkan informasi yang ia dapatkan, entah itu hanya sedangkal kulit luar atau lebih dalam dari itu. Proses penilaian yang secara alami selalu dilakukan manusia ini sangat dibutuhkan bagi masing-masing mereka dan kita sebagai manusia.

Karena itulah, saya kira tuntutan ini dapat menjadi tuntutan yang tidak adil dan egois. Sebab, jika hal tuntutan itu benar-benar dituruti secara konsisten, maka akan membawa konsekuensi yang justru membahayakan orang yang berusaha memenuhi tuntutan ini.  

Lalu, apakah yang harus kita lakukan jika kita tidak ingin orang lain salah dalam menilai kita jika ternyata melarang orang lain untuk tidak menilai dari cover juga bukanlah tuntutan yang tepat bagi mereka? 

Ini akan kita bahas dalam posting yang berikutnya.

Judge The Book by Its Cover #3 Itu Tidak Bisa Dihindari

11/10/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:


Aktifitas menilai adalah hal yang pasti  kita lakukan sebagai manusia. Tetapi, bagaimana dengan menilai hanya dari "cover" atau kulit luar?  Bukankah itu salah karena rawan menyebabkan salah paham? 

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimanakah proses kita dalam menilai....

Proses Menilai
Yang terjadi dalam proses penilaian yakni kita menggali informasi, menghubungkan informasi-informasi yang kita dapatkan hingga kemudian sampai pada kesimpulan tertentu. Keakuratan hasil penilaian kita bergantung pada tiap proses yang dilewati tadi. Apabila informasi-informasi yang digunakan sebagai dasar penyimpulan lengkap, tepat dan benar, maka penilaiannya pun kemungkinannya benar selama diikuti dengan proses menghubungkan informasi dan penarikan kesimpulan yang tepat pula.

Namun, kita tidak selalu bisa mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penilaian itu dengan lengkap, tepat dan benar. Nyatanya, dalam proses penilaian terhadap lingkungan sekitar kita seringkali kita hanya mendapatkan informasi sebatas “permukaan”. Tidak hanya itu, informasi-informasi yang masih sebatas permukaan ini pun masih belum jelas pula kebenarannya, dan belum tentu informasi-informasi yang kita gunakan ini memang tepat untuk digunakan sebagai pijakan dalam penilaian kita. Ini tentu saja akan menyulitkan si penilai untuk menghasilkan penilaian yang benar dan tepat.

Sebagai contoh:
misalnya saat di malam hari si A merasa ada orang yang mengawasinya saat ia sedang berjalan. Saat ia membalikkan badan, ia melihat sekelebat bayangan orang dan kemudian ia panic sambil berteriak ada orang yang mau menguntitnya. Ternyata di tak jauh di belakangnya kebetulan ada orang dengan siluet badan yang terkesan ‘sangar’ sedang duduk di belakang pohon dan asyik memakai earphone mendengarkan musik. Orang-orang yang ada di sekitarnya kemudian mencurigai orang yang memakai earphone ini sebagai si penguntit dan kemudian membawa mereka ke kantor polisi.
Si A disini melakukan penilaian terhadap bayangan yang ia lihat sebagai orang yang hendak menguntit dirinya.  Sayangnya, informasi yang ia dapatkan tidak cukup lengkap, dan si A sendiri tidak pula memastikan penilaiannya benar atau tidak terlebih dahulu sebelum “mengumumkannya” pada khalayak ramai. Tetapi, apa yang dilakukan si A mungkin dapat sedikit dimaklumi apabila ternyata memang si A itu sering diikuti oleh penguntit dan selama beberapa hari sebelumnya ia merasa ada yang mengikutinya, apalagi si A memiliki semacam gangguan kecemasan yang berlebihan. Maka saya kira menjadi agak “wajar” jika si A bereaksi demikian, meski tidak bisa dibilang pula bahwa apa yang dilakukan si A adalah hal yang tepat untuk dilakukan.

Yang ingin saya sampaikan melalui contoh di atas adalah bahwa kita tidak selalu berada di situasi dimana kita bisa mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan dengan lengkap, tepat dan benar. Nyatanya, justru situasi yang penuh dengan keterbatasan informasi lah yang akan sering kita hadapi dalam keseharian kita. Ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang baru kita temui, bahkan terhadap orang yang setiap hari kita temui pun belum tentu kita memiliki informasi yang lengkap mengenai dirinya hingga bisa membuat penilaian yang 100% pasti tepat. Rasanya cukup sulit untuk bisa mengikuti seseorang 24 jam penuh agar bisa tahu informasi yang lengkap tentang dirinya, tidak pula kita bisa mengetahui setiap pemikiran dan perasaan yang ia miliki dalam tiap momen dalam hidupnya. Maka, saya rasa informasi yang selengkap itu tentang seseorang sangatlah sulit untuk didapatkan – kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin.

Justru kebanyakan orang tidak akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya begitu saja dan lebih memilih untuk menunjukkan “topeng”-nya pada orang lain. Saya tidak berkata bahwa bertopeng ini adalah hal yang buruk, saya kira “bertopeng” termasuk mekanisme alami seseorang untuk beradaptasi/menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya , entah lingkungan masyarakat ataupun alam, yang juga diakibatkan dari mekanisme pertahanan diri. Bahkan personality pun sebenarnya berasal dari suatu kata yang berarti topeng. Tapi saya tidak akan membahasnya panjang lebar dalam postingan ini.

“Buku Yang Tersegel
Seperti halnya buku yang dijual di toko buku, ada buku-buku yang isinya bisa dibaca oleh orang lain karena tidak tersegel, namun ada pula buku-buku yang masih tersegel sehingga untuk memperkirakan kualitas isinya kita hanya bisa menilai dari covernya, atau dari synopsis dan testimony kalau tersedia di covernya. Begitu pula manusia, ada yang benar-benar “menyegel” dirinya dari diketahui oleh orang lain. Akhirnya hanya menyisakan “kemasan/cover” bagi orang-orang yang menilainya. 

Jika memang seperti itu apa ya mau kita salahkan orang yang menilai jika hanya cover saja yang memang kita sediakan bagi mereka untuk dinilai? Apa yang mau dituntut dari mereka? Karena tidak menilai adalah hal yang cukup tidak mungkin, maka penilaian yang benar yang dituntut dari mereka? Darimana mereka bisa menilai yang benar? Haruskah mereka merobek segel dan membukanya dengan paksa sehingga mereka bisa membaca dan menilai “isi” diri orang yang tadinya tersegel ini dengan lebih tepat? Apa kita mau diperlakukan demikian? Nyatanya, orang-orang yang ‘tersegel’ ini biasanya tidak mengizinkan ada orang yang merangsek masuk seenaknya ke dalam dirinya – karena ia akan merasa diserang. Lalu, apa yang diinginkan? Menuntut mereka untuk menilai dengan benar meski kita sama sekali tidak memberikan petunjuk informasi yang pantas agar mereka bisa melakukan itu? Menurut saya, Itu konyol dan egois sekali!

Karena sesungguhnya itu adalah permintaan yang semena-mena, menuntut orang lain tanpa memahami kondisi orang tersebut dan memastikan bahwa tuntutannya itu realistis dilakukan atau tidak. Jika demikian, apakah kemudian kita tidak berhak untuk menuntut orang lain untuk menilai dengan benar tentang diri kita?

Bahkan sebenarnya, tanpa tersegel pun kita akan secara insting akan menilai buku dari covernya terlebih dahulu. Misalnya saja saat kita hendak membaca isi buku tertentu, maka kita akan terlebih dahulu memilih buku yang sekiranya memiliki “penampilan” yang menarik bagi kita. Maka, sebenarnya menilai buku dari covernya, atau dengan kata lain menilai orang lain dari “kulit luar” saja adalah hal yang wajar. Dan menuntut untuk tidak melakukannya merupakan hal yang agaknya tidak mungkin dipenuhi. 


Jadi...
Saya kira adalah hal yang sangat wajar jika seseorang menilai orang lainnya hanya dari sampulnya. Karena justru situasi semacam inilah yang sering kita temui dalam keseharian kita dimana informasi yang lengkap, tepat dan benar tentang seseorang akan sangat sulit kita dapatkan.

Tapi, apa sih yang sebenarnya jadi masalah jika orang lain menilai kita dari "sampul" kita saja? Benarkah menilai orang lain dari "sampul" saja harus dilarang untuk mencegah masalah itu terjadi?
Baca di postingan selanjutnya. 

Judge The Book by Its Cover #2 - "Menilai" Itu Pasti

11/08/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:



“Don’t Judge The Book by Its Cover”



Itulah peribahasa populer yang hendak kita persoalkan dalam seri pembahasan "Judge The Book by Its Cover". Mengapa saya menghilangkan kata "Don't" dalam peribahasa tersebut? Apakah saya justru menyarankan pada orang lain untuk men-judge orang lain dari covernya?

Untuk memahami alasannya, marilah kita membaca penjelasan marathon saya dalam postingan ini dan posting-posting yang selanjutnya.

Menilai dari sudut pandang si penilai
Disini saya akan menggunakan kata ‘menilai’, bukan ‘judge’. Karena saya tidak begitu memahami istilah dalam bahasa inggris yang menggunakan kata ‘judge’ dalam konteks ini yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya lebih condong pada kata ‘menghakimi’, padahal kan peribahasa di atas tadi tidak digunakan dalam konteks pengadilan, dan belum tentu pula ada vonis maupun hukuman yang dijatuhkan semacam yang terjadi dalam pengadilan.

Pada dasarnya, aktivitas menilai bagi manusia merupakan aktivitas yang sangat alami terjadi bagi manusia, bahkan aktivitas ini terus terjadi setiap saat selama manusia itu “sadar”. Aktivitas menilai ini sangat penting karena merupakan bagian dari mekanisme bertahan hidup manusia. Agar seseorang bisa bertahan hidup, ia harus senantiasa menilai, waspada dan tanggap terhadap apa-apa yang ada di sekitarnya. Hasil penilaian ini akan memunculkan sebuah kesimpulan berupa  identifikasi “label” yang membawa bahaya atau kegunaan, membingungkannya, tidak diketahuinya termasuk hal-hal yang ia anggap tidak membawa bahaya maupun kegunaan baginya. Bisa dibilang aktifitas penilaian itu semacam pemetaan lingkungan eksternal bagi manusia. Manusia menggunakan “label-label” hasil pemetaan ini sebagai dasar untuknya memutuskan tindakan yang akan ia ambil. Dan aktifitas penilaian ini tidak hanya dilakukan manusia terhadap benda-benda yang ada di sekitarnya, tetapi juga terhadap manusia-manusia lainnya – dan sebenarnya juga melakukannya terhadap dirinya sendiri, tapi tidak dibahas dalam posting kali ini.

Hanya saja proses penilaian ini tidak selalu dapat tidak sadari karena sudah refleks kita lakukan setiap saat, entah saat kita sedang melangkah, memakai baju, menyetir, makan, dan berbagai aktivitas lainnya akan dipenuhi dengan penilaian kita atas realitas tersebut. Saat kita berjalan, tentu kita akan menilai jalan mana yang akan “aman” kita lewati Dan jika kita menemui selokan di tengah perjalanan kita, maka kita dapat refleks menghindar berkat adanya mekanisme penilaian bahwa selokan tersebut akan membawa “bahaya” bagi kita; proses yang sama juga terjadi dalam setiap aktivitas lain yang kita lakukan. Justru  tanpa aktifitas penilaian semacam ini tentu kita tidak akan bisa waspada dan menghindar dari apa-apa yang sekiranya akan membawa bahaya bagi kita, bahkan mungkin kita tidak akan bisa merespon apapun karena tidak tahu “apa” yang sedang kita hadapi.


Dengan alasan yang sama, aktifitas menilai orang lain pun akan senantiasa kita lakukan, entah disadari atau tidak disadari. Mungkin hal ini bisa terlihat bagaimana kita akan refleks menghindar dari orang yang kita rasa berbahaya bagi kita. Perasaan waspada terhadap orang yang semacam itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita senantiasa menilai orang lain, hanya saja saat kita menilai bahwa orang yang ada di sekitar kita ini “baik-baik saja” maka biasanya hasil penilaian tersebut tidak terlalu muncul ke permukaan saat kita sadar dan membiarkannya berlalu begitu saja. 



Sehingga, saya rasa tidak manusiawi jika kita melarang orang lain untuk menilai hanya karena kita tidak ingin salah dinilai tidak sesuai dengan diri kita yang sebenarnya. Dan sebenarnya itu adalah hal yang juga tidak mungkin dilakukan.



Jika memang tidak boleh melarang orang lain untuk menilai diri kita, lalu bagaimana dengan penilaian yang didasarkan hanya dari "kulit luar, "kemasan" atau "cover" ? Apa masih ga boleh juga? Atau boleh?



Penjelasannya akan kita jawab dalam posting yang selanjutnya. 


Judge The Book By Its Cover #1

11/05/2016 0 Comments A+ a-

A: “Maaf, atas sikapku yang dulu, saat itu aku tak tahu apa yang sebenarnya kamu alami.”
B: “Bukan salahmu. Aku lah yang salah karena aku lah yang tidak pernah mengatakan apa-apa padamu. Maka sangat wajar saat itu kamu sama sekali tidak mengerti apa yang aku alami.”

Kira-kira dialog yang semacam di atas yang pernah saya baca dalam komik “Moonlight Night” lebih dari 10 tahun yang lalu. Dialog kecil inilah yang memulai perjalanan saya untuk berpikir tentang apa yang dikatakan si B.

Jadi, si A dan si kawan-kawannya ini punya prasangka buruk pada si B karena si B bersikap tidak sama dengan orang pada umumnya dan tidak sesuai dengan “harapan” mereka. Saat itu saya tidak mengerti, bagi saya saat itu harusnya A dan teman-temannya lah yang salah. Harusnya mereka tidak serta merta men-judge si B, padahal mereka tidak tahu apapun tentangnya selain dugaan-dugaan mereka yang tak berdasar. Tapi, kenapa si B malah meminta maaf? Memang sih, respon B itu sama sekali bukan respon yang buruk, pasti banyak orang bilang itu sangat baik. Hanya saja saya tidak mengerti kenapa B bisa merespon demikian.

Butuh waktu yang sangat lama buat saya memahami arti dari kata-kata yang disampaikan si B dan kenapa dia berkata demikian. Mungkin respon saya yang terlalu rumit memikirkan dialog di komik semacam ini bakal terasa aneh bagi sebagian orang, karena B cuman tokoh fiksi yang kata-katanya bisa dikarang oleh si pengarang sesuka hatinya. Bisa dibilang saya termasuk orang yang sering merasa disalahpahami oleh orang lain. Mungkin karena itulah saya jadi berempati pada si B. Dan bagi saya, si pengarang pun pasti punya pendapat tertentu yang ia ingin tunjukkan lewat respon si B. Karena itulah, saya ingin mengerti mengapa si pengarang membuat si B merespon demikian terhadap orang-orang yang dulunya telah salah paham padanya.

Tapi, berbeda dengan si B, dulu saya justru merasa saya sama sekali tidak salah atas kesalahpahaman itu. Bagi saya saat itu, kesalahpahaman itu adalah salah orang lain yang cenderung membuat dugaan-dugaan tak berdasar dan liar layaknya kebenaran daripada bertanya dan berusaha memahami orang yang bersangkutan.  

 “Don’t Judge The Book by Its Cover”

Itu adalah peribahasa populer yang sering kita dengar. Dulu, saya sangat sepakat dengan peribahasa di atas. Karena bagi saya perbuatan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang terlihat adalah salah, karena penilaian yang demikian sudah hampir tentu hanya menghasilkan kesimpulan dini – yang biasanya memang terlalu dini. Dan sebagai orang yang juga sering mendapat penilaian yang demikian, saya sangat kesal saat ada orang yang menilai orang hanya dari “sampulnya” saja.


Saat itu saya hanya memandang masalah ini dari sudut pandang saya, orang yang merasa dinilai oleh orang lain hanya dari “sampulnya” saja. Saya sama sekali tidak memandang pernyataan ini dari sisi penilai, karena mungkin bagi saya saat itu sudah cukup karena kata-kata ini telah membuat saya nyaman dengan diri saya dan puas karena adanya kesalahpahaman yang semacam itu bukanlah salah saya.

Tapi saat saya memikirkan kembali tentang hal ini dan memahami konsekuensi dari tuntutan saya terhadap orang yang menilai saya, saya menyadari bahwa tuntutan saya sebenarnya adalah tuntutan yang tidak realistis, bahkan sebenarnya itu menunjukkan keegoisan saya. Padahal saya tidak suka saat saya menuntut hal yang egois, apalagi itu adalah tuntutan yang tidak realistis untuk dilakukan. Berkat kesadaran ini, saya jadi memandang permasalahan soal "judge" ini lebih luas dan belajar untuk bertanggung jawab terhadap diri saya sendiri, atau paling tidak lebih konsekuen terhadap pilihan saya yang terkait dengan masalah ini.

Setelah memahami permasalahan ini lebih dalam, saya jadi paham mengapa si B berkata demikian. Saya kira, si B paham betul konsekuensi dari apa yang dilakukannya terdahulu dan ia rela menanggungnya karena telah memilih apa yang telah ia lakukan.

Penyadaran itulah yang menuntun saya untuk menuliskan posting tentang "Judge The Book by Its Cover" ini, kalimat yang justru bermakna kebalikan dari peribahasa populer. Mengapa saya justru menuliskan demikian? Apakah ini artinya saya menyarankan agar orang-orang men-judge dari cover?

Alasannya akan kita bahas dalam postingan selanjutnya.

Kritik Bukan Saran #6 - Cara Saya Menghadapi Kritik

10/16/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
Di postingan sebelumnya saya berjanji akan berbagi tentang cara saya menghadapi kritik. Sebenarnya postingan ini juga bermaksud ingin curhat dan menjelaskan mengapa saya bersikap demikian saat dikritik. Karena saya kira tidak jarang ada orang yang salah paham tentang cara saya merespon kritik-kritik dari mereka.

Disini saya tidak beranggapan bahwa cara yang saya gunakanlah yang paling benar dan diikuti oleh semua orang. Cara yang saya pilih ini merupakan cara yang bagi saya, saya nilai sebagai yang terbaik yang dampaknya saya harapkan dan konsekuensinya mampu saya tangani.

Sebelum melangkah lebih jauh tentang penjelasan cara saya, ada hal yang harus dipahami mengenai apa yang saya harapkan dari diri saya sebagai bagian dari konsep diri saya. Saya berkeinginan untuk menjadi seseorang yang selalu berusaha menjaga untuk tetap berperilaku sesuai dengan yang seharusnya dengan apa yang saya miliki (tapi, saya yang sekarang masih sangat jauh dari harapan saya ini). Dari sini, saya menentukan sikap terhadap 2 macam kritik, yakni :

  • · Kritik dalam bentuknya kritik
Umumnya, orang yang menyampaikan kritik semacam ini dapat diajak untuk berdialog lebih dalam mengenai kritik yang ia sampaikan. Karena itulah, saya akan cenderung kritis terhadap sebab, tujuan dan pendasaran dari kritik yang ia sampaikan. Jika perlu, saya akan memberikan pendasaran mengenai penyikapan atau rupa karya saya. Kemudian, apabila masih dirasa perlu untuk diperbaiki maka saya akan menanyakan alasannya.  Jika memang saya tidak lagi punya pendasaran yang memang layak digunakan maka barulah saya akan mempertimbangkan untuk berubah.

Itu saya lakukan agar saya paham betul maksud dari kritiknya, memastikan bahwa tidak ada salah paham di antara kami #halah, dan juga sebagai obat sakit hati saya karena kritik tersebut. Maksudnya, dengan mengetahui bahwa kritik itu memang layak untuk diikuti dan saya butuh untuk benar-benar paham bahwa kritik itu memang benar untuk bisa menaklukkan ego saya.

Well, memang ribet dan sepertinya saya terlalu cerewet terhadap orang yang sudah berniat baik untuk memberikan kritik pada saya. Tetapi bagi saya, saat kita mengkritik kita haruslah bertanggung jawab dan pendasaran-pendasaran yang saya tuntut dari mereka lah bentuk dari tanggung jawab kritik tersebut. Jadi saya kira adalah hal yang wajar meminta pertanggungjawaban ini dari pernyataan mereka. 

Sebenarnya tidak hanya soal kritik, tanggung jawab itu juga harus ada dalam setiap pernyataan yang kita keluarkan. Tanggung jawab di sini adalah soal pendasaran dari apa yang kita sampaikan dan konsekuensinya. Sehingga, tidak seharusnya kita asbun terus sembunyi apabila ternyata pernyataan kita menimbulkan masalah.

  • · Kritik dalam bentuk ejekan
Berbeda dengan sebelumnya, biasanya orang yang mengkritik dalam bentuk ejekan tidak memiliki niat yang cukup baik hingga mau untuk berbagi pendasaran atas kritiknya. Tapi satu hal yang agaknya cukup jelas dari ejekan itu bahwa ada kekurangan yang ia lihat dari diri kita hingga ia bisa memanfaatkan celah tersebut untuk mengejek kita. Karena itulah, saya akan berusaha berempati dengan perspektif-nya dalam melihat saya sebisa mungkin. Kemudian mencari tahu apa yang ia lihat hingga ia mengejek saya demikian, setelahnya baru saya mencari tahu sebab ia memandang saya demikian agar tahu motifnya mengkritik saya – apakah hanya sekedar ungkapan dari kekesalan yang memuncak atau hendak menjatuhkan saya. 

Dan jangan lupa untuk memastikan apakah ejekan tersebut memang cukup beralasan atau hanya dibuat-buat. Jika memang itu cukup alasan dan saya mampu dan memang harus mengubahnya maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri atau karya saya.

***

Hal yang selanjutnya yang mungkin diperlukan untuk bisa benar-benar menerima dan menindaklanjuti sebuah kritik adalah waktu. Tidak bisa dipungkiri, ada kalanya sekalipun sebuah kritikan itu memang benar adanya, tetapi saya masih saja berusaha untuk membela dan membenarkan diri saya.Ada kalanya memang saya tidak bisa menahan dorongan untuk membenarkan diri sendiri. Tapi bagi saya sendiri, tidak peduli apakah pada saat berkomunikasi saya menerima atau menolak sebuah kritikan, tetap saja saya harus memikirkan kembali kritik yang saya terima tersebut. Karena biasanya saat saya awal kali berhadapan dengan kritik, emosi juga turut campur mempengaruhi respon saya terhadap kritik itu. Karena itulah, saya perlu kembali memproses kritik tersebut di saat emosi saya sudah tenang. Dengan begitu, saya akan bisa menilai kritik itu dengan lebih netral. Memang sih, saya seringkali jarang menyampaikan hasil penerimaan saya ini secara langsung pada si pengkritik, karena saya tidak tahu juga apakah hal seperti ini cukup penting untuk diulas lagi.

Meski begitu, menerima dan menindaklanjuti kritik saya kira memang sama sekali bukan hal yang mudah. Biasanya, sekalipun saya membenarkan kritik dari orang lain, sangat sulit untuk menundukkan ego saya untuk benar-benar menindaklanjuti kritik tersebut dan tidak membiarkannya sebagai angin lalu saja. Biasanya saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk itu. Karena saya perlu berdebat dulu dengan "ego-ego" saya dan membuat mereka mengerti bahwa perubahan itu harus dilakukan. Tidak hanya itu, biasanya juga saya harus mencapai dan menyiapkan mekanisme "kompensasi" bagi ego saya. Karena tanpa "kompensasi" tersebut biasanya perubahan yang saya paksakan akan membawa efek balik yang lebih buruk dari sebelumnya. Kompensasi yang saya maksud disini bukan semacam "guilty pleasure", melainkan lebih pada penyaluran dorongan-dorongan dalam diri saya, sehingga dorongan tersebut tidak tertekan semakin di dalam karena saya menilainya sebagai sesuatu yang buruk tetapi saya berusaha untuk tetap menyalurkannya dalam bentuk yang lain. Contohnya, saat kesal saya cenderung menuliskan apa yang saya rasakan untuk menyalurkan emosi saya itu.

Singkat kata, sekalipun menerima dan menindaklanjuti memang bukan selalu hal yang mudah untuk dilakukan, tapi itu jauh lebih mudah daripada harus menanggung dampaknya jika kita tidak mengindahkan kritik tersebut. 

Kritik Bukan Saran #5 - Menyeleksi Kritik

10/10/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism
  3. Etis Dalam Kritik
  4. Perlunya Selektif Mengikuti Kritik

Menurut saya, beberapa hal utama yang harus dimiliki yakni pemahaman mengenai konsep diri yang jelas dan pemahaman terhadap kapasitas diri kita serta manusia pada umumnya – itu jika kritik yang kita terima adalah tentang konsep atau pembawaan diri kita. Hal ini diperlukan agar kita paham perubahan yang seperti apakah yang mampu kita tangani, sehingga kita tidak terlalu memaksakan diri untuk berubah yang justru tidak jarang malah membawa pada dampak yang buruk. Jika hanya menilai kapasitas diri menurut pendapat kita saja, tidak jarang malah berakhir jadi sekedar alasan untuk menghindar dari perubahan yang tidak kita sukai. Karena itulah, kita juga perlu memahami secara umum dan membandingkan kapasitas kita sebagai individu dan sebagai manusia pada umumnya sejauh apa kita berpotensi untuk mengubah diri kita. Dan jangan lupa untuk mengukur sejauh dan seberat apakah konsekuensi yang menanti kita dibalik setiap pilihan dan perhitungkan pula bagaimana kita nanti akan menanggung, menjalani dan mengelola konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut.

Akan menjadi sangat lebih baik lagi jika ditambah dengan cita-cita atau tujuan atau konsep hidup yang jelas tentang bagaimana kita ingin menjalani dan memanfaatkan hidup kita. Dengan begitu, kita dapat mengukur mana kritik yang harus kita ikuti karena mengarahkan pada tercapainya cita-cita kita, atau mana kritik yang tidak harus atau bahkan tidak boleh kita ikuti karena akan menjauhkan kita dari tujuan, cita-cita dan konsep hidup yang ingin kita jalani.

Lain masalahnya jika yang menjadi topik kritik adalah hal lain di luar diri kita, maka kita harus paham betul tentang apa yang sebenarnya sedang kita lakukan. Hal minimal yang perlu kita paham disini adalah mengenai kenapa dan untuk apa kita melakukannya dan memilih cara tersebut untuk melakukannya.

Misalnya saja dalam kisah si ayah, anak dan keledainya di posting sebelumnya, seharusnya mereka paham betul alasan di balik keputusan mereka untuk membawa keledai tersebut dan pilihan mereka di awal perjalanan agar si keledai ditunggangi oleh si ayah. Apabila sebenarnya memang mereka membawa si keledai untuk meringankan perjalanan mereka berdua, akan tetapi keledai yang mereka miliki hanya 1 dan berukuran kecil sehingga hanya mampu membawa 1 orang, saya kira keledai itu dapat digunakan secara bergantian, terlepas apa yang dikatakan orang-orang di sekitar mereka, selama yang melakukannya tidak keberatan dan memang itu dapat menyelesaikan masalah mereka, mengapa tidak? Toh, mereka bukannya tidak mempertimbangkan pertimbangan yang diutarakan oleh orang-orang tersebut. Tapi orang-orang itulah yang tidak memahami pertimbangan kedua orang ini memilih untuk bertindak demikian.  Karena pada dasarnya dengan cara yang demikian, baik sang ayah yang tua maupun anaknya yang masih kecil dapat berbagi beban; tidak semua bagian yang sulit dikerjakan satu orang seperti yang dipikir oleh orang-orang di sekitarnya; pun tidak pula terlalu memberatkan si keledai dengan membebankan lebih dari yang batasan yang bisa dipikul oleh si keledai kecil itu. Dan tidak pula membawa serta keledai tersebut menjadi hal yang sia-sia dan malah membebani kita hanya karena kita berusaha memenuhi semua keinginan orang lain tanpa paham dan teguh terhadap apa yang kita lakukan adalah memang benar.

Sekiranya kedua orang ini ingin agar orang-orang yang melihat mereka tidak salah paham, maka saya kira tidak salah si bapak dan anak menjelaskan sebab dari apa yang mereka lakukan pada orang–orang tersebut. Dengan begitu, orang-orang tersebut akan lebih memahami pertimbangan di balik tindakan kedua orang ini dan (mungkin) tidak lagi menggunjingkan mereka, selebihnya bisa jadi orang-orang ini bisa memberi kritik dan mungkin akan muncul pula solusi yang lebih baik, siapa tahu saja ada yang mau meminjamkan tunggangan untuk mereka agar masing-masing mendapatkan tunggangan secara adil.

Meski memang tidak bisa dipungkiri bahwa pendapat kita atas diri  dan konsep hidup kita tidak selalu benar, ada kalanya masih dikritik pula oleh orang lain dan perlu diperbaiki, terutama jika memang nyatanya kritik tersebut benar dan sangat dibutuhkan demi kebaikan diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita. Sekalipun begitu, saya kira memiliki hal-hal tersebut tetap sangat penting dan dapat meminimalisir resiko seperti yang terjadi pada si bapak, anak dan keledainya pada kisah sebelumnya.

Di postingan selanjutnya, saya akan berbagi bagaimana cara saya menghadapi kritik. Tapi itu bukan berarti cara yang saya pilih adalah yang terbaik bagi semua orang di antara semua cara yang ada. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, soal cara adalah hak masing-masing orang untuk memilih dan "memodifikasi"-nya.

Kritik Bukan Saran #4 - Perlunya Selektif Mengikuti Kritik

10/07/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya :
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism
  3. Etis Dalam Kritik

Sekalipun dalam posting-posting sebelumnya saya menyatakan bawa setiap kritik -termasuk yang dalam bentuk ejekan pun- dapat kita memanfaatkan untuk perbaikan, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kritik tidak selamanya benar, baik yang datangnya dari orang lain maupun dari diri kita sendiri. Karena itulah, sekalipun memang idealnya kita menerima setiap kritik, tetapi tidak semua kritik harus diikuti. Makna menerima adalah mendengarkan, memahami dan mempertimbangkan dengan serius setiap kritik yang kita terima; sedangkan mengikuti kritik berarti berusaha untuk tidak melakukan setiap hal yang dikritik, atau berusaha untuk melakukan tiap saran yang dimasukkan dalam kritik.

Di samping itu, setiap orang memiliki pendapat, paradigma masing-masing mengenai bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Perbedaan ini tentu dapat membuat kita bingung yang mana yang harus kita ikuti, karena tiap kritik yang kita terima bisa jadi berbeda dan saling bertentangan. Dan pada akhirnya kritik-kritik itu bisa berakibat membuat kita semakin “tersesat” seperti dalam kisa ayah, anak dan keledainya berikut ini:

Ada seorang lelaki tua bersama anaknya yang masih kecil yang baru saja membeli seekor keledai. Lalu, dia bersama anaknya segera membawa pulang ke rumahnya.
Awalnya, Sang bapak menaiki keledai itu, sementara anaknya berjalan kaki sambil menuntun keledainya dari samping menyusuri jalan kampung yang ramai. Namun baru beberapa langkah keledai itu berjalan, ada seseorang yang berkata : Betapa teganya orang tua ini. Dia naik keledai sementara anaknya yang masih kecil dibiarkan berjalan kaki.

Setelah mendengar ucapan itu, sang bapak turun kemudian meminta anaknya menaiki keledai itu, sementara sang bapak berjalan sambil menuntun keledai itu. Sesampainya di kampung lain ada yang berkata lagi : “Alangkah tidak sopannya anak ini, dia enak-enakan naik keledai, sementara ayahnya hanya berjalan kaki.”

Karena itulah, sang bapak berkata kepada anaknya : “ Turunlah nak, kita berdua berjalan kaki saja “. Kemudian mereka berdua berjalan kaki sambil sang bapak menuntun keledainya. Namun ketika mereka melewati kampung yang lain , ada orang yang berkata lagi : “Mengapa kalian berdua tidak memanfaatkan keledai itu, untuk apa kalian berjalan kaki jika ada keledai yang bisa kalian naiki.”

Sang bapak kemudian menghentikan keledainya setelah mendengar perkataan orang itu dan berkata kepada anaknya : ” Apa yang telah kita lakukan salah lagi kita nak. Ya sudah, kita naiki saja berdua “. Kemudian mereka berdua menaiki keledai itu bersama-sama. Namun sesampainya di kampung yang lain , tetap saja ada orang yang protes dan berkata : “Kasihan, keledai sekecil itu dinaiki oleh dua orang.”

Sang bapak berkata lagi kepada anaknya : “ Kita dikatakan salah lagi nak. Kalau begitu harus kita apakan keledai ini?”. Sang bapak kemudian berkata lagi : “ Sudahlah nak, apapun yang akan kita lakukan pasti akan tetap salah menurut mereka. Sekarang kita pikul saja keledai ini dan biarkan nanti kalau ada orang yang mau berkata apa, terserah dan jangan kita dengarkan lagi “. Akhirnya mereka seperti orang gila, karena keledainya mereka pikul bersama. (sumber)

Kira-kira akan jadi seperti itulah jika kita berusaha mengikuti semua kritik yang kita terima. Bukan menjadi lebih baik, melainkan semakin banyak kesulitan lah yang kita dapatkan tanpa mendapatkan asil yang diharapkan. Karena itulah, menyeleksi kritik sebelum menerimanya menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dari kemampuan kita untuk mengelola sebuah kritik menjadi poin untuk membangun diri dan karya kita menjadi lebih baik.


Meski demikian penting, saya kira setiap orang berhak menentukan caranya sendiri untuk menyeleksi kritik yang seperti apa yang harusnya diikuti yang dapat membuat kita dan karya kita menjadi lebih baik. Sebelum menyeleksi, kita perlu memiliki acuan untuk memfilter kritik mana yang layak kita terima dan mana yang tidak. Hal tersebut akan kita bahas dalam posting selanjutnya

Kritik Bukan Saran#3 - Etis Dalam Kritik

9/25/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism

Kritik tidak salah, dan rasa sakit hati muncul karena dikritik pun tidak salah. Siapa yang bisa menyalahkan respon perasaan terhadap suatu hal? Siapa yang bisa menyalahkan orang yang merasa sakit hatinya? Kalau perasaan salah, terus jadi sakit mental gitu kalau ngerasa sakit hati karena dikritik? Tentu saja tidak, saya sendiri yang ngomong begini pun masih cukup kesulitan menangani rasa sakit hati akibat dikritik. Tapi tetap saja, keduanya tidak salah dan ga perlu mencari kambing hitam untuk disalahkan. Terus, harus gimana?

Sekalipun perasaan tidak salah, tetapi ada kalanya memang kita lah yang harus mengendalikan dan membuat perasaan kita paham saat memang apa yang disampaikan dalam kritik memang benar dan kita perlu memperbaikinya.

Masalah selanjutnya adalah soal etis dalam menyampaikan kritik. Saya kira etis dalam menyampaikan kritik tidaklah mengharuskan adanya solusi ataupun kata-kata manis. Seperti yang teman saya bilang saat kami berdiskusi bahwa ‘Kritik bukan saran’, dan nyatanya kritik memang isinya paparan kekurangan yang beralasan – kalau berefek menimbulkan sakit hati ya wajar saja. Bahkan kritik yang disampaikan dengan kata-kata manis dan solusi pun masih bisa menimbulkan sakit hati.

Sebagai manusia yang hidup berdampingan, kita punya kewajiban untuk saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Maka, memang dalam mengkritik kita harus sebisa mungkin menjaga perasaan si penerima kritik itu. Tentunya, akan lebih baik jika maksud kritik kita tersampaikan dan bermanfaat bagi si penerima kritik daripada ia jd berbalik menyerang  kita karena penyampaian kita yang buruk.

Tapi itu bukan berarti mengharuskan menggunakan kata-kata manis nan indah. Justru menurut saya pribadi, ada kalanya kata-kata manis nan indah jadi memlintir makna dan malah menyesatkan – yang ke depannya dapat membawa dampak buruk : menyesatkan anak orang lain. Menurut saya, yang terpenting adalah kita tidak dengan sengaja “menembakkan” duri dengan lidah kita alias menggunakan kata-kata yang memang bersifat provokatif dan menyakitkan. Menurut saya, itu sudah memenuhi etis dalam berkomunikasi. Memang,  menjadi kewajiban bagi sesama manusia yang hidup berdampingan untuk saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Dan yang terpenting adalah isi dari kritik itu sendiri didasarkan atas alasan/ sebab yg nyata -bukan yg dibuat-buat/dicari-cariin- dan potensi masalah yang memang nyata cukup besar kemungkinannya terjadi, bukan diada-adakan.

Intinya, soal mengkritik masing-masing pihak punya tanggung jawab. Bagi si pengkritik harus memastikan bahwa isi kritikannya memang berdasarkan kenyataan dan berpotensi menyebabkan masalah – entah sedang terjadi atau belum terjadi dan pendasaran tersebut harus disampaikan pada yang dikritik sebagai bentuk dari tanggung jawab sang pengkritik. Juga akan sangat jauh lebih baik jika kritik tersebuttidak menyampaikannya dengan cara yang sengaja menyakitkan hati si penerima kritik, karena tanpa itu pun si penerima kritik alaminya akan merasakan sakit hati.  Dan bagi si penerima kritik, sakit hati boleh saja tapi bukan berarti kita memperbolehkannya untuk menjadi sopir dalam menyikapi kritik; kendalikan dan buatlah ia mengerti dan kelola lah emosi dan kritik yang anda terima menjadi “berlian” yang berguna dan menguntungkan untuk anda, terlepas dari seberapa besar sakit hati yang ia timbulkan pada diri anda.

Disini, ada seseorang yang menuliskan tema yang sama dengan saya yang menyampaikannya dengan bahasa yang lebih “nendang” mengenai constructive criticism atau bisa langsung lihat artikel lengkapnya di sini (saya hanya membahas 2 kesalahpahaman tentang constructive critics dari 4 yang ia jabarkan dalam artikelnya):

Probably the biggest misconception about "constructive criticism" is that you have to say something positive, either by giving a compliment or by telling the person what to do next, because you can't just tell them what not to do! This is a recipe for a treacly, insincere circle jerk.

Sometimes a person only knows what's wrong. They don't know how to fix it, but they see something wrong that you didn't see, something you can't see until they tell you. Why would you make them sit on it until they can come up with a solution, and let you waste your time going down that wrong path for God knows how long until they can think of one?

If I see a car streaming smoke, I think it's more urgent to tell them that it's streaming smoke than it is to do some research to figure out what could cause it and how to fix it before telling them. If my friend shoots a short film with the punchline being a guy in blackface, I probably want to tell him, "Please don't use blackface," before he takes it to the film festival, even if I can't come up with a replacement joke in time. He's the goddamn filmmaker, he can come up with his own replacement joke.


As far as adding compliments to your critiques? Sure, there's benefits. We're not robots. A person is more likely to want to make a change and move forward instead of curling into a ball and feeling bad if you give them some hope that their work is worth continuing and improving on. But I don't think we should be forced to match every negative criticism with a positive statement. After a while, it becomes obviously forced ("Well, I like your handwriting here"), which is even more demoralizing than anything negative.

Lantas, apakah kita harus selalu menerima kritik, bahkan dalam bentuk ejekan dan hinaan? Lalu, apakah kita tidak berhak untuk membela diri di hadapan kritik? Apakah kita harus selalu mengikuti kritik dari orang lain dan memenuhi ekspektasi mereka terhadap diri kita? Apakah kita tidak berhak untuk menjadi "diri sendiri"?

Tunggu di tulisan selanjutnya.

Kritik Bukan Saran #2 - Constructive Criticism

9/23/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : Kritik bukan Saran

Kritik yang Membangun a.k.a. Constructive Criticism
Dengan cara yang sama dengan memahami tentang kritik kita akan mencoba memahami kritik yang membangun dari bahasa asalnya. Karena sudah membahas tentang criticism, maka yang perlu kita bahas adalah tentang constructive-nya.

Constructive: Having or intended to have a useful or beneficial purpose (memiliki atau bermaksud untuk memiliki tujuan yang berguna atau menguntungkan) [sumber]

Dari definisi di atas, dapat ditarik prinsip bahwa sesuatu yang “constructive” atau “membangun” haruslah sesuatu yang mengandung kegunaan atau keuntungan. Saya rasa kita tidak perlu membahas lebih panjang tentang kritik yang memang dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang demikian karena sudah jelas kritik semacam itu masuk ke dalam kategori constructive criticism. Yang kita bahas lebih panjang adalah tentang kritik yang “mengandung” kegunaan atau keuntungan.

Apa sih makna dari kata mengandung disini? Yang jelas, sebuah kritik haruslah mengandung unsur yang dapat menguntungkan atau berguna bagi si penerima kritik. Tetapi, bergantung pada siapakah apa yang dikandung di dalam sebuah pernyataan kritik  dapat berguna atau menguntungkan? Jawabannya : si penerima kritik itu sendiri.

Kenapa? Mari kita lihat dalam analogi berikut ini :
Ada seseorang yang lapar, dia menerima jagung dari orang yang di sebelahnya. Seperti yang kita ketahui bersama jagung mengandung kegunaan dan keuntungan bagi manusia bisa mengurangi lapar dan menjadi salah satu sumber nutrisi yang sehat bagi manusia. Itu kalau orang itu bisa “mengolah” jagung sampai bisa membawa manfaat baginya berupa kandungan nutrisi dan menghilangkan rasa laparnya. Tapi kalau orang itu hanya diam tidak melakukan apapun karena baginya jagung itu keras dan karenanya merasa itu tidak bisa dimakan? Jawabannya jelas, jagung tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun baginya.

Dari analogi di atas jelas bahwa yang bisa menjadikan sesuatu berguna atau menguntungkan bergantung pada orang yang memegang atau menerima hal tersebut. Terlepas bisa atau tidaknya si pemegang jagung ini memanfaatkan jagungnya, si jagung tetaplah mengandung hal yang dapat bermanfaat atau menguntungkan bagi dia.

Hal yang sama berlaku untuk kritik. Membangun atau tidaknya sebuah kritik sebenarnya tidak bergantung pada si pelontar kritik, tapi bergantung pada orang yang menerimanya. Bahkan, kritik dalam bentuk olokan pun dapat menjadi kritik yang membangun jika si penerima mampu mengelola kritik tersebut dengan baik. Dan ini bukanlah hal yang jarang terjadi. Bisa atau tidaknya si penerima mengelola kritik tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa sebuah kritik mengandung unsur yang dapat digunakan untuk membangun, selama kritik itu memang didasarkan atas kenyataan dan cukup beralasan untuk dianggap  cukup berpotensi menimbulkan masalah, bukan merupakan sesuatu yang dibuat-buat semata. Karena sebuah kritik jika kita "menerima"-nya, akan membawa kita pada proses awal untuk dapat membuat diri kita atau karya kita menjadi lebih baik, yaitu kesadaran bahwa ada kesalahan yang perlu diperbaiki. Tanpa adanya kesadaran ini, kita tidak akan bergerak untuk mengubah diri kita dengan baik sesuai dengan masalah yang sebenarnya kita hadapi.

Saya kira adalah hal yang salah jika meletakkan tanggung jawab membangun atau tidaknya sebuah kritik kepada si penyampai kritik, karena si penyampai kritik ga bisa melakukan apapun agar kritiknya bisa “membangun” sampai si penerima sendiri yang bergerak dan mengolahnya menjadi sesuatu yang “membangun”. Dan bukankah tidak adil jika menyalahkan seorang pengkritik atas kritik yang kita rasa tidak bersifat “membangun” padahal kita lah yang tidak mampu membuatnya menjadi bersifat membangun alias membawa kegunaan dan keuntungan bagi kita? Bukankah itu terasa seperti mengkambinghitamkan si pengkritik atas ketidakberdayaan kita mengelola kritik itu?

Lantas, apa itu artinya kita boleh menyampaikan kritik seperti apapun sesuka hati kita meski dalam bentuk hinaan dan sumpah serapah?

Masalah Sebenarnya dari Kritik yang (dianggap) Tidak Membangun
Selama ini yang kita kenal sebagai kritik yang membangun adalah yang disampaikan dengan kata-kata “manis” yang tidak menyakitkan hati atau yang mengandung solusi atas apa yang dikritiknya. Jika demikian, apa karena tanpa solusi dan hanya membuat sakit hati maka kritik-kritik itu harus dihilangkan?? Demi mencegah dari rasa sakit hati dan konflik yang tidak perlu, maka pengetahuan akan adanya kesalahan dapat dieliminasi daripada menimbulkan konflik baru??

Hm...itu benar sih kalau kesalahan itu jika dibiarkan tidak menimbulkan masalah yang makin parah atau malah membawa pada masalah-masalah baru. Sayangnya, tidak semua kesalahan dapat ditolerir sehingga kita akan tetap baik-baik saja meski kesalahan itu dibiarkan karena kita khawatir akan menimbulkan rasa sakit hati dan konflik baru. Lebih seringnya, kalau dibiarkan kesalahan itu akan jadi perangkap besar yang sewaktu-waktu bisa menjerat kita.

Lalu, bagaimana jika ternyata kesalahan tersebut memang terlalu rumit dan untuk menemukan solusinya tersebut perlu didiskusikan bersama? Bagaimana dengan kritik yang meski dilontarkan oleh orang yang minim pengetahuan dan keahlian dalam bidangnya, tetapi kesalahan itu memang nyata dan penting untuk diperbaiki sedangkan orang yang mengkritik tadi memang ga bisa memberi solusi karena keterbatasannya tadi, apa harus juga dia mengacuhkan temuannya itu? Haruskah orang-orang yang “tampaknya” cuma bisa mengkritik tanpa solusi ini diam dan menunggu entah sampai kapan, entah bisa atau tidak, menemukan solusinya??

Contohnya, salahkah jika seorang customer yang tak mengetahui apapun tentang pembuatan produk complain terhadap kualitas produk yang ia rasakan buruk meski ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki produk yang telah dibelinya itu agar sesuai dengan  yang ia inginkan? Haruskah ia diam dan belajar terlebih dahulu cara membuat produk dan menjadi sama terampilnya dengan produsen terlebih dahulu dalam membuat produk tersebut, kemudian baru dia mencari solusi dari keluhannya sendiri baru dia boleh menyampaikan kritik alias complain pada pihak produsen? Dan jika si customer tidak mau melaksanakannya maka harusnya dia diam saja?? Well, kalau itu cuma kritiknya cuma pada hal-hal yang memang remeh sih dan terjadi sebelum produk itu merugikan banyak customer lainnya dan kemudian bikin si produsen gulung tikar sih, mungkin gapapa.
Paling-paling dia Cuma kehilangan kesempatan untuk meningkatkan keuntungannya, itu kalau ga ada pesaing yang ternyata produknya mampu mengatasi dan menguntungkan lebih banyak customer  dan akhirnya bikin produk si produsen ini ga laku.

Sejujurnya, saya rasa itu bodoh! Tidak ada yang salah dengan menyampaikan kesalahan a.k.a. kritik tanpa solusi karena dasarnya kritik memang bukan solusi dan kritik tidak mengharuskan mengandung unsur solusi. Yang mengandung unsur solusi adalah saran atau masukan (terserah mau pake istilah yang mana). Dan ga perlu kita menghilangkan potensi yang mampu mencegah kita dari semakin parahnya masalah atau munculnya masalah-masalah baru hanya karena kritik itu disampaikan tidak dengan cara yang kita harapkan dan tidak pula mengikutsertakan solusi di dalamnya.

Jelas bahwa yang jadi masalah sebenarnya dari kritik yang (dianggap) tidak membangun adalah perasaan manusia yang mudah sakit hati, entah dari tindakan yang memang punya niat baik atau buruk, termasuk kritik. Saat dikritik, sangat wajar jika kita merasa ego dan harga diri kita tersakiti. Well, karena ternyata apa yang selama ini kita anggap benar dan mungkin kita banggakan ternyata salah, atau hal yang selama ini kita harap orang lain tidak mengetahuinya kemudian diketahui dan diungkapkan oleh orang lain. Apalagi nih kalau yang mengkritik bilangnya pakai kata-kata yang menusuk hati dan ga ada solusi pula. Berasa kayak diinjak-injak terus dicampakkan!

Tapi, saya kira adalah kesalahan dan kerugian besar jika kita menghilangkan kritik hanya karena ego dan harga diri kita yang ga mau tersakiti serta karena keengganan kita bersusah payah memperbaiki kesalahan tersebut. Sejujurnya menurut saya, harga diri, ego dan rasa enggan adalah bayaran yang murah dibanding hidup kita hancur hanya karena ga mau menerima kritik. Dan sedikit konyol rasanya jika kita rela mempertahankan diri kita untuk kemudian menyambut kehancuran - yang jujur menurut saya akan membuat harga diri kita nantinya bakal terjun bebas jauh lebih dalam daripada menerima kritik dan memperbaiki kesalahan kita.

Lalu? Apa tidak boleh merasa sakit hati akibat kritik? Meskipun memang nyatanya dikritik tuh sakitnya disini?? *nunjuk dada*


Itu yang akan jadi topik dalam pembahasan kita yang selanjutnya, disini.