"Peace" #2

1/25/2012 0 Comments A+ a-


Entah kenapa, rasanya hari ini mood-ku lagi jelek deh. Udah gitu, dari pagi mata berasa panas gitu. Apa mau sakit yah? Tapi, rasanya badan juga gak lemes. Jadi rasa-rasanya jadi pingin nangis teruz. Padahal ini lagi di tempat kerja. Gak biasa banget deh perasaanku gak jelas puol kayak gini. Udah gitu, akhir-akhir ini bener-bener kehilangan nafsu makan lagi. Sehari bisa-bisa Cuma makan nasi sekali doank, itu pun Cuma ngabisin nasinya adek ato mamaku. Haiihhh…..What happen with me nie????

Ok, udah dulu sekilas curhatnya.Sekarang, aku pingin melanjutkan postinganku yang sebelumnya tentang damai, di sini.

Apa sih damai itu? Kenapa sejak jaman pra sejarah, sampe sekarang masih saja belum tercapai. Apakah damai berarti : 
tanpa konflik. Tapi,mungkinkah kita hidup bersana tanpa konflik sama sekali?? Bukankah sebuah kewajaran saat terjadi gesekan? Dan, bukankah berkat konflik itu juga kita bisa saling memahami satu sama lain lebih baik lagi? 
  • tanpa masalah. Tapi, mungkinkah kita hidup tanpa masalah? Bukankah tidak ada seorang pun di dunia ini yang seumur hidupnya tidak memiliki masalah?? Dan, bukankah dengan melalui masalah-maslaah itulah kita bisa belajar menjadi lebih baik, memperbaiki kesalahan, dan menjadi dewasa?
  • Saling mengasihi. Seperti kita tahu, saat hidup bersama, tidak mungkin tidak terjadi gesekan dan konflik, lalu apa salahnya jika kita berkonflik dengan orang lain? Mungkinkah memaksa orang-orang yang berkonflik itu untuk saling mengasihi, dan mengingkari perasaan mereka sendiri? Bukankah pemaksaan seperti itu sama saja dengan tidak saling mengasihi? Dan, tidak mungkin kita pungkiri, pasti ada hal-hal yang tidak kita sukai, lalu haruskah kita memaksa diri kita untuk menyukai hal-hal itu sebagai aplikasi dari rasa kasih itu?
  • Saling memahami satu sama lain. Tetapi, kita tidak mungkin bisa memahami semua orang di dunia ini,kan? Pun, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu saling memahami, atau memahami kita terus menerus.
  • Tidak mencampuri urusan orang lain, hanya mengurusi urusannya masing-masing. Tapi, bagaimana mungkin kita tidak “mencampuri urusan orang lain”? Bukankah yang namanya hidup bersama berarti juga menerima resiko untuk dicampuri dan harus mencampuri urusan orang lain? Bukankah kita adalah makhluk social yang pasti membutuhkan yang lainnya untuk hidup??

Jadi, apakah damai itu? Benarkah damai itu memang tidak mungkin terwujud? Atau bagaimanakah hidup damai yang sebenarnya?? Apakah damai itu hanyalah harapan dan fantasi kosong kita belaka?

“Peace” #1

1/18/2012 0 Comments A+ a-


Kedamaian, itu adalah isu yang sejak jaman dulu diperjuangkan. Entah sudah berapa puluh, ratus, atau bahkan ribuan tahun isu itu terus-terusan dikobarkan. Namun, adakah kedamaian itu pernah tercapai? Adakah saat dimana semua orang di dunia ini mengalaminya?? Kenapa yang ada justru perang yang bersahut-sahutan terus terjadi. Tak peduli, seberapapun orang-orang berteriak atas nama kedamaian, tetap saja perang masih terjadi di belahan bumi lainnya. Tak peduli, seberapapun nyawa yang telah hilang, kedamaian tetap tidak pernah tercapai. Dan, tetap saja perang masih bersahutan terjadi.

Apakah kedamaian hanyalah sebuah ide utopis, yang tidak akan pernah mungkin terjadi?? Lalu, untuk apakah selama ini kita berjuang, berkorban untuk sebuah ide yang gak akan pernah kita capai?? Apakah semua perjuangan dan pengorbanan itu hanya sia-sia?? Hanyakah mimpi semua itu? Lalu, untuk apa kita masih mengharapkan kedamaian??

Namun, benarkah perdamaian itu hanyalah impian kosong?? Benarkah segala hasrat, keinginan yang kita miliki tentang perdamaian ini hanyalah khayalan, fantasi kita belaka?? Benarkah, apa yang perasaan kita tentang kedamaian ini hanyalah fatamorgana??

Tanyakan pada diri anda, apakah anda sedang pura-pura merasakan sakit, menderita, saat melihat orang-orang dibantai di depan mata anda? Apakah anda sedang berpura-pura saat orang-orang yang dengan gilanya sedang saling membunuh? Apakah anda sedang berpura-pura saat anda menginginkan hidup aman dan nyaman? Apakah anda sedang pura-pura merasakan sakit , saat anda menjadi korban dari semua itu? Apakah rasa terganggu yang kita rasakan terhadap segala pertengkaran itu hanya kepura-puraan saja? Apakah segala perasaan sedih, marah, sakit, dan lain sebagainya yang anda rasakan itu hanyalah kepura-puraan, fatamorgana saja??

Ataukah…….

Selama ini, kita masih belum benar-benar menemukan makna kedamaian itu?? Apa sih damai itu?? Seperti apakah hidup damai itu?? Apakah damai itu berarti hidup ayem tenterem, tanpa konflik. Lalu, bukankah berarti kita sudah pernah mencapainya pada masa orde baru? Bukankah kehidupan saat itu sudah mencapai semua itu? Lalu, kenapa justru kita sendiri yang merasa tidak puas dan merusaknya??

Lalu, seperti apakah damai itu sebenarnya??

“Acceptance” #1

1/16/2012 3 Comments A+ a-


Apa sih sebenernya “acceptance” itu? Banyak yang selalu berbicara agar kita bisa menerima diri kita apa adanya, orang lain apa adanya, menerima masa lalu kita, menerima kenyataan, dan menerima yang lain-lainnya (?). Namun, bagaimana kita harus menerima segalanya seperti itu? Apakah “acceptance” itu berarti :
  •  Menyukai apapun itu, baik ataupun buruk. Namun, mampukah kita benar-benar menyukai dan menikmati keburukan? Adakah di antara kita yang mampu bertahan seumur hidup dengan kesengsaraan? Adakah yang tahan dengan menanggung segala “hukuman” hidup atas keburukan, baik “keburukan” yang ada di dalam diri kita sendiri, maupun orang lain?? 
  • Jangan melihat keburukan. Mungkin memang dengan begitu kita tidak akan terganggu dengan keburukan yang ada. Anggap saja semuanya ada sisi baiknya. Tapi, bagaimana jika kita mau tidak mau berhadapan dengan keburukan itu?? Apakah kita akan lari meninggalkan, atau bahkan tidak menganggap keburukan itu ada? Apakah itu tidak sama saja dengan individualisme, hanya memperhatikan apa-apa yang kita inginkan, yang sekiranya tidak menyakiti diri kita sendiri. Apakah pada akhirnya, kata-kata indah macam “acceptance” itu cuma kiasan, bahasa halus unttuk melegalkan, mengindahkan egoisme, sisi individualisme kita?
  • Menutupi kekurangan. Kenapa keburukan itu harus kita tutupi? Apakah dengan begitu keburukan itu akan berubah menjadi kebaikan? Apakah kita malu akan keburukan yang ada? Apakah malu, itu arti dari “acceptance”?? Sebegitu dangkalnya kah apa yang disebut sebagai “acceptance”?? Apakah “acceptance” itu tidak lebih dari kata lain untuk mengindahkan “hal-hal yang memalukan”??
  • Pasrah. Haruskah kita pasrah dengan keburukan yang ada? Pasrah, mengikuti arus, berarti juga rela jika segalanya menjadi semakin buruk. Padahal tidak akan ada yang berubah, jika kita tidak mengubah nasib kita sendiri. Dan, pada akhirnya dipertanyakan kembali, mampukah kita bertahan hidup, mengikuti arus, dari keburukan yang ada??
  • Melengkapi. Kita harus saling melengkapi keburukan dan kelebihan yang ada. Tetapi, bagaimana jika di sekitar kita tidak ada yang bisa melengkapi keburukan itu? Haruskah kita paksa untuk melengkapi, meskipun pada dasarnya tidak bisa melengkapi?? Haruskah kita juga memaksa orang lain untuk melengkapi kekurangan kita?? Memangnya, siapa kita hingga harus memaksanya untuk melengkapi kita?  Bukankah itu hanya ungkapan egois kita sendiri yang ingin menjadi sempurna?? Hingga harus memaksakan orang lain, atau sesuatu yang lain untuk melengkapi keburukan kita??

Jadi, yang manakah, yang seperti apakah yang disebut acceptance?
 

Hanya Curhat

1/03/2012 0 Comments A+ a-

Seorang yang mengira dirinya berilmu seringkali lupa bahwa ilmunya pun masih belum meliputi seluruh alam. Tapi,seringkali ia mengira ia tau dan selalu benar. Sehingga menganggap orang lain terlalu bodoh untuk memahami apa yang dipahaminya, dan karenanya tidak pantas mempelajarinya. Padahal, yang terjadi adalah cara pemahaman dan asumsi yang berbeda, karena dengan asumsi yang berbeda pula. Sayangnya,orang seperti itu terlalu sombong meng-crosscheck-anx dengan pmhman orang lain, agar ia lebih paham secara holistik.
#Hanya Curhat