Kritik Bukan Saran#3 - Etis Dalam Kritik

9/25/2016 0 Comments A+ a-

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
  1. Kritik Bukan Saran
  2. Constructive Criticism

Kritik tidak salah, dan rasa sakit hati muncul karena dikritik pun tidak salah. Siapa yang bisa menyalahkan respon perasaan terhadap suatu hal? Siapa yang bisa menyalahkan orang yang merasa sakit hatinya? Kalau perasaan salah, terus jadi sakit mental gitu kalau ngerasa sakit hati karena dikritik? Tentu saja tidak, saya sendiri yang ngomong begini pun masih cukup kesulitan menangani rasa sakit hati akibat dikritik. Tapi tetap saja, keduanya tidak salah dan ga perlu mencari kambing hitam untuk disalahkan. Terus, harus gimana?

Sekalipun perasaan tidak salah, tetapi ada kalanya memang kita lah yang harus mengendalikan dan membuat perasaan kita paham saat memang apa yang disampaikan dalam kritik memang benar dan kita perlu memperbaikinya.

Masalah selanjutnya adalah soal etis dalam menyampaikan kritik. Saya kira etis dalam menyampaikan kritik tidaklah mengharuskan adanya solusi ataupun kata-kata manis. Seperti yang teman saya bilang saat kami berdiskusi bahwa ‘Kritik bukan saran’, dan nyatanya kritik memang isinya paparan kekurangan yang beralasan – kalau berefek menimbulkan sakit hati ya wajar saja. Bahkan kritik yang disampaikan dengan kata-kata manis dan solusi pun masih bisa menimbulkan sakit hati.

Sebagai manusia yang hidup berdampingan, kita punya kewajiban untuk saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Maka, memang dalam mengkritik kita harus sebisa mungkin menjaga perasaan si penerima kritik itu. Tentunya, akan lebih baik jika maksud kritik kita tersampaikan dan bermanfaat bagi si penerima kritik daripada ia jd berbalik menyerang  kita karena penyampaian kita yang buruk.

Tapi itu bukan berarti mengharuskan menggunakan kata-kata manis nan indah. Justru menurut saya pribadi, ada kalanya kata-kata manis nan indah jadi memlintir makna dan malah menyesatkan – yang ke depannya dapat membawa dampak buruk : menyesatkan anak orang lain. Menurut saya, yang terpenting adalah kita tidak dengan sengaja “menembakkan” duri dengan lidah kita alias menggunakan kata-kata yang memang bersifat provokatif dan menyakitkan. Menurut saya, itu sudah memenuhi etis dalam berkomunikasi. Memang,  menjadi kewajiban bagi sesama manusia yang hidup berdampingan untuk saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Dan yang terpenting adalah isi dari kritik itu sendiri didasarkan atas alasan/ sebab yg nyata -bukan yg dibuat-buat/dicari-cariin- dan potensi masalah yang memang nyata cukup besar kemungkinannya terjadi, bukan diada-adakan.

Intinya, soal mengkritik masing-masing pihak punya tanggung jawab. Bagi si pengkritik harus memastikan bahwa isi kritikannya memang berdasarkan kenyataan dan berpotensi menyebabkan masalah – entah sedang terjadi atau belum terjadi dan pendasaran tersebut harus disampaikan pada yang dikritik sebagai bentuk dari tanggung jawab sang pengkritik. Juga akan sangat jauh lebih baik jika kritik tersebuttidak menyampaikannya dengan cara yang sengaja menyakitkan hati si penerima kritik, karena tanpa itu pun si penerima kritik alaminya akan merasakan sakit hati.  Dan bagi si penerima kritik, sakit hati boleh saja tapi bukan berarti kita memperbolehkannya untuk menjadi sopir dalam menyikapi kritik; kendalikan dan buatlah ia mengerti dan kelola lah emosi dan kritik yang anda terima menjadi “berlian” yang berguna dan menguntungkan untuk anda, terlepas dari seberapa besar sakit hati yang ia timbulkan pada diri anda.

Disini, ada seseorang yang menuliskan tema yang sama dengan saya yang menyampaikannya dengan bahasa yang lebih “nendang” mengenai constructive criticism atau bisa langsung lihat artikel lengkapnya di sini (saya hanya membahas 2 kesalahpahaman tentang constructive critics dari 4 yang ia jabarkan dalam artikelnya):

Probably the biggest misconception about "constructive criticism" is that you have to say something positive, either by giving a compliment or by telling the person what to do next, because you can't just tell them what not to do! This is a recipe for a treacly, insincere circle jerk.

Sometimes a person only knows what's wrong. They don't know how to fix it, but they see something wrong that you didn't see, something you can't see until they tell you. Why would you make them sit on it until they can come up with a solution, and let you waste your time going down that wrong path for God knows how long until they can think of one?

If I see a car streaming smoke, I think it's more urgent to tell them that it's streaming smoke than it is to do some research to figure out what could cause it and how to fix it before telling them. If my friend shoots a short film with the punchline being a guy in blackface, I probably want to tell him, "Please don't use blackface," before he takes it to the film festival, even if I can't come up with a replacement joke in time. He's the goddamn filmmaker, he can come up with his own replacement joke.


As far as adding compliments to your critiques? Sure, there's benefits. We're not robots. A person is more likely to want to make a change and move forward instead of curling into a ball and feeling bad if you give them some hope that their work is worth continuing and improving on. But I don't think we should be forced to match every negative criticism with a positive statement. After a while, it becomes obviously forced ("Well, I like your handwriting here"), which is even more demoralizing than anything negative.

Lantas, apakah kita harus selalu menerima kritik, bahkan dalam bentuk ejekan dan hinaan? Lalu, apakah kita tidak berhak untuk membela diri di hadapan kritik? Apakah kita harus selalu mengikuti kritik dari orang lain dan memenuhi ekspektasi mereka terhadap diri kita? Apakah kita tidak berhak untuk menjadi "diri sendiri"?

Tunggu di tulisan selanjutnya.

Mari bercuap-cuap :D