Reality and Fantasy

12/12/2014 2 Comments A+ a-

Saya banyak belajar kehidupan dari fantasi dan kenyataan, saya pernah bercerita riilnya di postingan ini. Saya tidak banyak belajar kehidupan dari orang di sekitar saya, karena bagi saya saat itu, orang dewasa di sekitar saya terlalu mengecewakan untuk dijadikan panutan. Dan memang tidak ada yang secara khusus mengajari saya tentang banyak hal. Pelajaran yang paling saya ingat adalah saya dihukum karena melakukan kesalahan yang saya tidak tahu bahwa itu salah, dan bahkan tak ada seorang pun pernah mengatakan pada saya sebelumnya bahwa itu adalah perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan.

Saya lebih banyak belajar dari fantasi. Dunia 2 dimensi dalam anime ataupun komik. Atau yang sedikit lebih canggih, dunia 3 dimensi dalam film dan drama. Dari dunia-dunia fantasi itulah saya belajar: keindahan dunia.

Kemudian, saat saya berhadapan dengan realitas seringkali saya "ditampar" oleh realita di sekitar saya. Bahwa, dunia nyata tidaklah sama dengan dunia fantasi. Dunia fantasi diciptakan oleh manusia, sang pencipta bisa saja membuat semua "faktor" penyelamat datang dan jadi "klop" sesuai dengan ending yang diinginkannya, manusia yang membuatnya sesuai keinginannya.
Tapi kenyataan tidak bisa begitu. Tidak ada keajaiban yang akan tiba-tiba datang menyelamatkan kita. Tidak hal yang akan jadi "klop" dengan mudahnya dan masalah yang bisa terselesaikan begitu saja.

Tapi, berkat tamparan itulah saya belajar. Saya belajar bahwa ada perbedaan antara fantasi dan realitas. Saya belajar bahwa di dalam realitas tidak hanya ada hal yang indah, tetapi juga buruk. Tidak selalu akhir itu bahagia, ada juga yang sedih bahkan tragis. Tapi, ada juga hal yang lebih baik di kenyataan daripada dalam fantasy, paling tidak tidak ada serangan alien,zombie dan robot dalam kenyataan sekarang ini :p

Saya tidak menganggap bahwa kemudian fantasi hanyalah kebohongan belaka tanpa ada manfaat apapun. Ada tujuan tuhan menciptakan kemampuan bagi manusia untuk berfantasi. Salah satunya yang saya tahu setelah membaca kisah Dave Pelzer, adalah bahwa fantasi ini membantumu untuk bertahan di saat-saat terburuk dalam hidupmu. Fantasi ini membuatmu memiliki harapan dan tidak putus asa, sehingga memacu kita untuk terus berusaha.

Memang harapan tidak akan cukup mengubah apapun jika kita tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkannya. Tapi yang ingin saya tekankan disini, adalah bagaimana kita menyikapi fantasi dan harapan tersebut.

Ada kalanya kita begitu tidak ingin putus asa sehingga menganggap bahwa dunia ini harus dan akan menjadi sesempurna dunia fantasi,"semuanya indah". Tapi, kau tahu? Tidak ada hal yang seperti itu di dunia ini. Maka pahami dan terimalah realita ini apa adanya, sehingga anda tidak terjebak dalam fantasi akan dunia yang sempurna. Karena seperti yang saya sampaikan dalam postingan "Sosok Yang Sempurna", kesempurnaan adalah hal yang tidak mungkin dicapai oleh manusia. Titik terjauh yang bisa dicapai manusia adalah "Yang terbaik", mungkin titik yang dekat dengan sempurna. Mungkin sama dengan lagunya letto,"Almost", itulah titik terjauh yang bisa kita capai. Toh, kita juga tidak mungkin bisa mengendalikan freewill seluruh umat manusia untuk menuruti ambisi kita mewujudkan dunia yang sempurna.

Jika kita tetap bersikeras mewujudkannya tanpa memahami batas diri kita sendiri, suatu saat dimana kita menghadapi kegagalan sekian kalinya untuk mewujudkan dunia yang sempurna. Bahwa sekeras apapun mencoba akan selalu ada cacat yang ditemui, lagi dan lagi. Yang saya khawatirkan adalah kita bisa menjadi sangat muak berusaha keras hanya untuk bertemu kembali dengan kegagalan dan kemudian berubah 180 derajat menjadi orang yang apatis terhadap apapun, seperti seseorang yang pernah saya kenal. Dan saya sangat menyayangkan jika itu terjadi pada banyak orang. Karena mereka sebenarnya adalah orang-orang yang sangat berharga bagi dunia ini.

Saya tidak hendak menjadikan anda pesimis terhadap realita dunia ini. Tapi adalah kenyataan bahwa disamping keindahan dunia, juga ada sisi gelapnya. Dan meskipun manusia diciptakan untuk menjadi "Khalifah Fil Ard", tetapi manusia itu terbatas, sangat terbatas. Hendaknyalah kita menyadari keterbatasan tersebut. Seperti yang pernah saya sebutkan dalam postingan lainnya, menyadari dan menerima keterbatasan bukan berarti kemudian menjadi sama sekali terbatas. Bukan. Tapi dengan kita penerimaan itulah, kita bisa lebih menghargai diri kita sendiri, tidak menuntut berlebihan pada diri sendiri dan menikmati kebahagiaan. Karena bersikap baik terhadap diri sendiri juga amanah dari Tuhan loh. Kita dikasih wadah berupa tubuh ini kan juga harus diperlakukan dengan baik, bukan untuk terus-terusan dituntut dengan hal yang diluar batasnya. 

Saya juga tidak menganggap bahwa dunia ini tidak akan pernah bisa menjadi lebih baik. Saya masih punya harapan untuk itu.Saya pun masih percaya terhadap "fantasi". Hanya saja, akan lebih baik jika kita menyesuaikan impian kita dengan realita. Apa yang dimungkinkan dan yang tidak mungkin. Baru kemudian membangun sebuah "fantasi", impian yang sesuai dengan realitas. Yang mungkin untuk diwujudkan. Yang saya percaya, tempat dimana semua hal akan menjadi sempurna hanyalah 1, yaitu Surga. Bukan di dunia kita saat ini.

Karena, saat kita terlalu tinggi berfantasi, mungkin kita akan terjatuh terlalu keras untuk bisa bangkit lagi saat kita menyadari bahwa kaki kita sudah tidak lagi ada di bumi. Karena itulah, silakan bermimpi setinggi apapun, tapi jangan lupa untuk memijakkan kakimu pada realita.

"Aku belajar tentang Harapan dari Fantasi. Dan aku belajar sejauh mana fantasi dapat terwujud dari dari realita. Realita tempatku mewujudkan Fantasiku. Dan Fantasi tempat aku menyimpan harapan dan 'realita' masa depanku"

K

My Hero(es), My History, My Life

12/09/2014 4 Comments A+ a-

Ini adalah sebuah kisah, tentang sejarah hidupku dan "pahlawanku".

My History, My Life
Dulu, saya sering bertengkar dengan orang tua saya, terutama ibu saya. Sejujurnya, saya tidak merasa sebagai anak durhaka. Saya hanya merasa mereka tidak memahami saya, dan saya ingin dipahami. Saya selalu merasa iri dengan kisah-kisah keluarga harmonis dan ideal yang saya lihat di iklan atau tv. Orang tua yang bisa menerima dan memahami anaknya, dll. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa keluarga saya berbeda dengan mereka? Apa nanti akan berubah menjadi seperti itu?
Hingga sekarang masih tidak.

Sebenarnya kondisi keluarga saya tidak terlalu buruk sih. Mungkin karena memang saya memiliki karakter berbeda dari kebanyakan orang di lingkungan saya, makanya banyak yang kesulitan memahami saya. Stigma "aneh" dan "alien" sepertinya sudah biasa bagi saya, entah di lingkungan keluarga inti, besar, sekolah ataupun teman-teman saya.

Ada kalanya saya bisa menghabiskan waktu dengan orang tua saya dengan menyenangkan, meski biasanya tidak akan lama, mungkin hanya beberapa jam sebelum berakhir menjadi pertengkaran. Ya, seingat saya, hampir setiap hari saya bertengkar dengan ibu saya. Yang sekarang saya ketahui, ternyata memang kami punya kepribadian yang cukup bertolak belakang. Sejak saya SMA kelas 2, hubungan kami membaik. 

Saat kecil, saya sering menghabiskan hari-hari saya di kamar sendirian, merenung, berpikir dan bertanya tentang hal-hal absurd. Saya hidup di masa peralihan reformasi, saya membaca koran dan melihat bagaimana demo yang ada di tv. Saya bertanya-tanya kenapa mereka harus berkonflik jika berujung pada kematian dan kerusakan? Dan saya juga mengamati orang-orang yang ada di sekitar saya. Bahwa, orang-orang dewasa tidaklah sedewasa yang saya lihat di iklan atau acara tv lainnya. Mereka "mengerikan". Hingga saya menyadari bahwa setiap orang pasti memiliki "sisi jahat", dan bahwa di dunia ini penuh dengan hal-hal buruk. 

Kemudian, muncul benih kebencian pada diri saya. Saya membenci dunia. Dan orang yang paling saya benci di dunia, adalah diri saya sendiri. Saya melihat, tapi saya diam. Saya hanya berjibaku dalam diri saya sendiri tanpa bisa melakukan apapun, hanya berusaha melindungi diri saya dari hal-hal yang saya kira buruk.

Saya pun bertanya-tanya, kenapa saya harus merasakan dan memikirkan tentang itu semua? Kenapa saya tidak bisa seperti teman-teman saya yang lainnya saja? Hanya menikmati hidup, tanpa berpikir yang aneh-aneh. Jadi anak penurut, yang dibanggakan oleh orang tuanya. Jadi anak rajin, yang jadi bekal membangun masa depan.

Tumbuh dengan segala perdebatan dalam diri saya, saya menjadi seorang yang sangat pendiam dan tertutup. Tanpa bisa berbagi dengan orang lain...

My Heroes in My Life
Tapi, semua itu berubah sedikit demi sedikit. Sejak saya bertemu, dan menjalin "hubungan" dengan yang akan saya ceritakan di bawah ini. Mereka adalah pahlawan dalam hidupku. Jujur, saya tidak bisa memilih 1, karena masng-masing dari mereka punya peran penting dalam hidup dan diri saya saat ini.

My BestFriends : Y & A
Aku bertemu Y di kelas 2 SMP. Dia anak pindahan dari kota sebelah. Kami sebenarnya berbeda kelas, saya pertama kali bertemu di sebuah rental komik dan menjadi sahabat baik sejak saat itu. Kami sama-sama suka membaca komik dan membahasnya hingga berjam-jam. Kami juga suka mengobrol berbagai topik, ngalor-ngidul (kesana-kemari), selama berjam-jam juga. 

Dia orang yang pertama kali menerima topik "perbincangan"ku. Meski masih butuh waktu beberapa tahun sejak kami bertemu untuk menceritakan isi otakku yang terdalam #halah. Tapi, itu sudah cukup lumayan untuk menyelamatkanku dari "kegilaan"-ku pada saat itu.

Dia orang yang cerdas, saya mengenalnya sebagai seorang yang sangat "reasonable" dalam berbagai hal. Hal itulah yang membuat saya memfigurkan dia. Bahkan secara tidak sadar, saya berusaha mengimitasi dia. Dia punya pengaruh yang cukup besar dalam hidup dan diri saya, beberapa prinsip yang saya miliki juga saya pelajari dari dia.

Kami masih jadi sahabat baik sampai sekarang. Mungkin sudah sekitar 11 tahunan kami bersahabat. Meski sudah jarang bertemu karena kami menempuh jalan yang berbeda dan di media sosial pun kami jarang mengobrol. Tapi, begitu bertemu biasanya ada saja hal yang jadi obrolan. Begitulah Y, dia adalah orang yang pernah aku figurkan, sahabatku, juga pahlawanku. Oh iya, dia juga seorang blogger lho. Tulisannya juga enak dibaca. Kunjungi aja blog nya disini

Berbeda dengan Y, aku bertemu A di SMA. Dan kami baru menjadi sahabat setelah kami lulus SMA. Dia adalah orang kedua yang bisa menerima pemikiranku, yang super aneh dan kadang agak skeptis. Aku belajar untuk lebih memahami perasaan orang lain dari dirinya. Dia juga orang yang mensupportku saat saya sedang dilanda masalah keluarga dan ekonomi beberapa waktu lalu. Dan bisa dibilang biasanya dia adalah orang pertama yang bertanya kondisiku jika aku pasang status BBM yang rada "ngenes". Dan lagi-lagi, saat ini aku sudah jarang bertemu dengan A.

Baik Y dan A, adalah sahabat, sekaligus pahlawan bagiku. Mereka membuatku merasa tidak sendiri di saat gentingku hingga aku bisa bertahan. Memang mereka memiliki cara yang berbeda sebagai sahabat, karena mereka memang bukan orang yang sama. Tapi perbedaan itu justru saya rasa saling melengkapi. Dan saya sangat bersyukur memiliki mereka berdua. Mereka membuktikan pada saya bahwa kisah persahabatan dalam komik dan anime bukan sama sekali tidak mungkin. Mereka ada, dan mereka nyata.

Komik : "Pop Corn"/"Seito Shokun" by Yoko Shoji & "Fruits Basket" by Takaya Natsuki

Hal kedua yang merupakan pahlawan bagiku adalah komik. Oke, mungkin bagi orang lain komik itu bacaannya anak kecil, cuma hiburan dan ga bermakna. Tapi, tidak bagiku. Aku rasa itu adalah pendapat orang yang belum tau seluk-beluk komik yang gimana-gimana aja. Komik memang ada yang untuk anak-anak, dan kisahnya ringan untuk dibaca, macam shincan dan doraemon. Ada juga yang khusus lucu-lucuan, dan kisah heroik atau detektif, dan tidak ketinggalan kisah-kisah cinta yang.... manis (baca: lebay), de el el. Di antara semua itu aku lebih memilih membaca kisah yang menceritakan tentang dinamika kehidupan, yang akan mengajariku satu dan lain hal tentang menghadapi kehidupanku sendiri.

Komik itu bisa dibilang satu-satunya teman yang menemaniku di masa-masa suram. Dari kisah-kisah yang ada di komik, aku menyadari bahwa aku tidak sendirian dengan pikiran-pikiran "aneh" itu. Orang yang berpikiran sama sepertiku ternyata ada. Orang yang mempertanyakan hal yang sama, dan menjawabnya melalui kisah-kisah dalam komik. Meski bisa dibilang bahwa tokoh atau jalan cerita di dalamnya fiktif, paling tidak sang Mangaka memiliki pemikiran yang sama denganku. Atau bahkan, mereka mengajariku dan menunjukkan begitu banyak perspektif dalam kehidupan. Aku bisa bilang bahwa komik mengajariku jauh lebih banyak tentang kehidupan ketimbang orang dewasa manapun yang aku kenal, juga lebih dari sekolah dan orang-orang lainnya. Mereka temanku di kala aku sedang berkonflik dengan orang tuaku. Mereka yang menemaniku di saat aku menghabiskan hariku di kamar. Mereka temanku dalam "bertukar" pikiran. Disini aku akan menceritakan 2 judul komik yang sangat mempengaruhi kehidupanku

Pop Corn atau judul bahasa jepangnya Seito Shokun. Komik yang terbit di awal tahun 90-an ini menceritakan tentang kehidupan sekelompok anak SMP dan dinamika kehidupan mereka hingga mereka dewasa, dan ada juga tokoh yang mempunyai anak. Disini disajikan begitu banyak permasalahan, dari yang biasa sampai luar biasa. Juga pandangan yang sangat berbeda tentang dunia sekolah dan persahabatan ada disini. Di komik ini pertama kalinya aku tahu, guru dan murid sama-sama mendukung perkelahian 2 siswa. Bukan tanpa sebab, perkelahian itu justru bertujuan agar masing-masingnya bisa saling meluapkan emosi dan membuat masalahnya jadi "clear". Aku juga melihat bagaimana sekelompok anak "badung", yang justru mendapat respect dari guru-gurunya. Mungkin mereka sangat aktif dan cukup "rebellious". Tapi mereka tahu benar tanggung jawab mereka sebagai murid. Kelompok ini diisi dari anak dengan nilai jelek, biasa, sampai siswa paling pintar di kelas, dan siswa "berandal" juga ada. Guru-gurunya pun banyak yang menyenangkan. Mereka bukan guru yang sok tahu, tapi guru yang belajar dari muridnya.
Komik Pop Corn

Komik ini, jujur saja. Membukakan pandanganku tentang banyak hal. Bahwa "kekerasan" tidaklah selalu berakhir dengan buruk. Bahwa, seberapapun sulit kehidupan, tetaplah harus dilalui. Bahwa menjadi "nakal", bukan berarti melupakan tanggung jawab. Bahwa guru tidak selalu benar. Bahwa salah bukan berarti harus direndahkan. Bahwa yang terpenting bukan salah atau tidaknya, tapi berusaha untuk senantiasa melakukan yang terbaik. Bahwa setiap anak, setiap orang memiliki kisahnya sendiri, mereka berjuang dengan kehidupannya. Meski yang terlihat dari luar adalah sikap riangnya, rajinnya, atau "berandal"-nya seseorang. Aku terdorong untuk melihat segala hal dari berbagai perspektif, karena akan ada hal yang tidak terlihat hanya dari permukaannya saja. Aku belajar menghadapi masalahku dan diriku sendiri dari mereka, dan belajar memahami "manusia" juga dari mereka. Bahkan kalau dipikir-pikir ada hal yang aku imitasi dari Nakki, sang tokoh utama. Karena aku sangat kagum padanya, dari caranya menghadapi berbagai cobaan hidup dan belajar darinya. Tapi, jujur sih, kalau dibandingin masih kalah jauh. Dia itu cewek yang keren.

Satu hal lagi, dari komik ini juga aku menyadari bahwa, seberapapun eratnya ikatan persahabatan, perpisahan pasti terjadi. Kita tidak akan selamanya menghabiskan waktu bersama, selalu. Tidak harus terpisah oleh kematian. Tapi, adalah kewajaran jika antar sahabat akan memilih jalan berbeda. Saat itulah kita harus merelakan waktu yang biasanya dihabiskan bersama sepanjang hari, akhirnya berkurang hanya bisa "sekali-kali". Dan kemungkinan akan semakin jarang bertemu seiring dengan kesibukan yang makin bertambah. Aku pun bertanya-tanya apakah aku bisa tetap akrab, saling peduli, saling memahami, saling menjaga dan menjaga hubungan persahabatan seperti mereka? Alhamdulillah, meski jarang bertemu, juga jarang ngobrol via medsos, hubungan saya dan sahabat-sahabat saya masih baik-baik saja. Meski tidak bisa dipungkiri ada kalanya terjadi konflik karena karakter masing-masingnya ada yang berubah, karena berkembang seiring waktu. Tapi, untungnya selama ini masih bisa terlalui.

Drama Seito Shokun saa Nakki jadi guru

Oh iya, Seito Shokun juga ada anime dan dramanya lho. Tapi aku kalau drama yang menceritakan masa SMP itu drama yang jadul banget, menurutku sih masih kurang bagus. Tapi, ada drama yang menceritakan saat Nakki jadi guru. Itu keren banget. Lebih dari GTO dah kerennya. Tapi, karena yang jadi fokus cuma Nakki aja, jadi kurang puas. Soalnya kalau aku sih pingin lihat sohib-sohibnya juga.


Komik ini bisa dibilang ceritanya agak berat dan suram. Tapi, ada juga humornya kok. Malah kalau baca komik ini tuh, bisa jadi terbawa dari awalnya ketawa-ketiwi gak lama yang trenyuh sedih karena jalan ceritanya. Keren dah. Recommended pokoknya.
Fruits Basket atau nama lainnya adalah Furuba

Tapi bukan itu yang bikin komik ini jadi favoritku. Melainkan, dinamika pemikiran dan konflik yang ada di dalamnya. Mulai dari konflik internal masing-masing tokoh, sampai konflik antar tokoh. Di komik ini diperlihatkan bahwa setiap manusia pasti memiliki sisi buruk, juga sisi baik. Ditunjukkan pula bagaimana kedua sisi tersebut "bertarung" dalam diri manusia. Bagaimana lingkungan, luka masa lalu, dan trauma masing-masing tokoh dan cara mereka menghadapinya. Bagaimana mereka berusaha "berdeal" dengan diri dan takdir mereka, juga dengan orang lain. Disini aku belajar tentang penerimaan, penerimaan diri sendiri dan orang lain. Disini aku belajar, bahwa jatuh, gagal, dan tersesat itu adalah biasa. Bahwa semua tidak harus sama baik atau buruknya. Bahwa kehidupan terus berjalan, akhir cerita tidaklah harus sempurna, ada kalanya masih ada yang buruk tapi membuka peluang terhadap yang lebih baik. Bahwa cinta tidaklah selalu benar, juga menyenangkan. Ada kalanya jadi menyesatkan dan menyakitkan  (bukan hanya cinta cowo-cewe loh, yang diceritakan justru cinta dalam keluarga anak dan orang tua). Mungkin, hal yang paling aku sukai adalah "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi, itu tak mengapa.", penerimaan akan ketidaksempurnaan.

Gara-gara komik ini sekarang aku jadi nge fans sama Takaya Natsuki, Mangakanya, Dan jadi satu-satunya mangaka yang daftar komiknya aku usahain untuk baca-soalnya sekarang udah ga baca komik lagi sih karena kesibukan dan budget yang minim. Dan ga ketinggalan, aku pernah mencoba meniru karakter tokoh utama, tapi sepertinya memang itu bukan aku. Yah, beda karakter dah pokoknya. Cuma ya, memang ceritanya yang paling luar biasa buat aku. 

Oh iya, sebenarnya komik juga yang mengajariku "cara berekspresi", bercanda (kalo yang ini digabung sama belajar dari Y), juga berteman dengan orang lain. Aneh memang bagi orang lain, tapi ya begitulah. Aku dulunya itu orang yang super suram dan pendiam. Tapi, berkat kisah yang aku baca, dan tingkah (+ekspresi) tokoh-tokoh yang ada di dalamnya aku jadi bisa belajar. 

Ini adalah 2 orang tokoh yang paling aku figurkan. Dan membuatku jadi orang yang mau "lebih kerja keras" dan "lebih pantang menyerah" dari aku yang sebelumnya. Mereka adalah "Deokman" dan Dave Pelzer.

Beliau adalah penulis buku trilogi : "A Child Called 'It' ", "The Lost Child" dan "A Man Named Dave", serta beberapa buku lainnya. Seri trilogi tersebut merupakan kisah hidupnya, bagaimana perjuangannya dalam bertahan hidup di tengah siksaan ibu kandungnya, perjuangannya menjadi anak di panti asuhan, serta perjuangannya membangun kehidupan yang baru di atas trauma dan luka masa lalunya.
Ini yang namanya Dave Pelzer

Dave Pelzer adalah orang pertama yang menunjukkan padaku betapa kerasnya perjuangan hidup, secara "nyata". Sebelum membaca bukunya, saya hanya mengenal tokoh yang bekerja keras hanya sebatas fiksi. Tapi, saat aku membaca buku ini aku sadar bahwa orang yang berjuang begitu keras dan pantang menyerah hanya demi bertahan hidup itu memang ada. Jujur saja, saat saya membaca kisahnya saya sedikit merasa malu. Karena dengan kehidupan saya yang tidak seburuk Dave Pelzer, begitu mudahnya saya menyerah, begitu mudahnya saya mengeluh tentang segala hal tanpa usaha apapun. Padahal di luar sana ada yang sedang berjuang begitu keras hanya untuk bisa hidup. Tanpa bisa mengeluh, atau "menyerah".

Karena itulah, saya jadi belajar untuk jadi lebih pantang menyerah. Dan dari kisahnya bangkit dari keterpurukan, membangun kehidupan baru yang jauh dari kondisinya di masa lalu, juga cita-cita dan usahanya yang luar biasa untuk mencapainya. Saya jadi lebih memahami apa arti berjuang, juga kegagalan dan semangat untuk selalu bangkit. Dari kisahnya pula saya percaya bahwa jika seseorang berusaha sekuat tenaganya, peka terhadap setiap "peluang" di lingkungan sekitarnya, maka ia pasti bisa meraih cita-citanya. Selama apa yang kita citakan adalah benar, meski dalam perjalanannya ditentang oleh banyak orang, cita-cita itu sangat berharga untuk dicita-citakan. Dan karenanya tak akan sia-sia apapun yang kita korbankan, selama kita juga tidak menyia-nyiakannya.
Ini trilogi bukunya. Tapi yang ini sih kayaknya cover untuk terbitan yang di luar Indo.
Soalnya beda sama yang pernah aku punya

Saya sih punya keinginan, suatu saat di masa depan nanti saya dapat bertemu dan berdiskusi dengannya, kalau bisa jadi partner bertukar pikiran malah lebih baik. Hehe... *ngarep*

Deokman aka The Great Queen Seondeok
Deokman adalah nama kecil dari Queen Seondeok, seorang ratu dari kerajaan Sila di korea. Tokoh ini nyata ada. Tapi, yang lebih saya kagumi adalah versi fiksi dari deokman.Karena setelah saya mencari tahu tentang sosok Queen Seondeok yang sebenarnya, ternyata mereka menjalani jalan hidup yang berbeda. Dan yang saya kagumi adalah sosok Queen Seondeok versi dramanya.
Yang pake mahkota besar itu yang jadi Queen Seondeok aka Deokman

Tidak jauh berbeda dengan Dave, Deokman aka Queen Seondeok juga banyak mengajarkan saya tentang semangat pantang menyerah. Tapi, lebih jauh, Deokman mengajarkan saya arti totalitas pengabdian terhadap cita-cita. Berbeda dengan Dave Pelzer, hingga akhir hayatnya Deokman tidak bisa merasakan buah dari perjuangan hidupnya. Tergolong tragis malah. Selain itu, bagaimana proses jatuh bangun dan caranya menghadapi ketakutannya membuat saya belajar untuk menghadapi rasa takut saya sendiri, dalam menghadapi musuh ataupun takdirnya. Tapi, jujur sih, saya belum bisa sepenuhnya jadi berani seperti dia.

Deokman punya cita-cita untuk memajukan rakyatnya dan menyatukan 3 kerajaan di tanah Korea. Hingga akhir hayatnya, hanya dasar untuk meujudkan cita-cita itu saja yang bisa dicapainya. Ia tidak sempat melihat 3 kerajaan itu bersatu, begitu pula kemajuan yang dicapai rakyatnya karena ia meninggal sebelum semua itu tercapai. Tapi, berkat dasar kuat yang ia bangun lah, kerajaannya mampu mencapai itu semua.

Meskipun begitu ia tetap menjalaninya. Ia adalah orang yang rela begadang demi mencari jawaban makna penguasa bagi rakyatnya, mempertaruhkan kedudukannya sebagai putri demi "mendidik" pemikiran masyarakatnya agar terbebas dari pola pikir "pekerja", mempertaruhkan "kekuasaannya" terhadap rakyatnya saat ia menjadi ratu, agar rakyatnya dapat berpikir maju, memiliki ilmu pengetahuan yang sama dengan keluarga kerajaan dan bangsa-bangsa lainnya di luar kerajaannya. Bahkan juga termasuk orang yang dicintainya, demi rakyatnya agar tidak dipimpin oleh pihak yang akan menyesatkan rakyatnya. Ia juga merupakan orang yang senantiasa belajar dari kesalahannya, saya belajar darinya bahwa kegagalan apapun tidak akan sia-sia jika belajar hikmahnya dan memperbaikinya (dulu saya orangnya takut salah lho, gara-gara ini saya sadar apa kedudukan kesalahan dan bagaimana saya harus menghadapinya)

Mungkin berkat Deokman pula saya jadi menyadari betul betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin itu sebenarnya. Saya jadi ingin menjadi seperti Deokman. Bukan, bukan untuk menjadi seorang pemimpin. Tapi jadi orang yang meletakkan dasar-dasar kemajuan bagi orang-orang di sekitarnya dengan menjadi ilmuwan sosial (Amiiinn, masih berusaha sampai sekarang). Deokman pula yang meyakinkan saya bahwa meskipun umur kita mungkin tidak mencukupi untuk merasakan buah dari usaha kita, tapi jika kita mampu menguatkan dasar untuk mewujudkannya, maka itu tidak akan sia-sia. Karena seluruh hidup dan usaha kita akan ada yang melanjutkannya hingga tercapai. Oh iya, yang paling seru dari drama ini adalah pertarungan strategi dari "dedengkot" antagonisnya dengan deokman. Jujur sih, keren banget pertarungan strateginya.

Mungkin, sama seperti beberapa ilmuwan-ilmuwan sosial (Karl Marx, Auguste Comte) yang butuh bertahun-tahun setelah kematianny baru teorinya dirasa berguna. Saya hanya berharap ilmu saya nanti tidak akan menyesatkan orang lain. Karena itulah, saya mencoba mencari jawabannya dulu dari segi agama dan ketuhanan yang membuat saya mengambil kuliah di jurusan yang berbau keagamaan, mungkin aneh bagi beberapa orang lain kenapa saya memulainya dari sana. Tapi, memang sejak dulu saya merasa ada "missing link" dalam hal tersebut. Eh, OOT (Out Of Topic), mari kita langsung menuju kesimpulan saja.

Kesimpulannya...
Makna kepahlawanan bagi saya adalah, sosok yang kita anggap berjasa dalam hidup kita, yang dengan kisahnya, tindakan, atapun pemikirannya teah membantu kita untuk keluar dari titik-titik gelap dalam sejarah hidup kita. Mereka itulah yang kita jadika seorang figur tauladan dan pemicu semangat di kala kita dalam titik terendah kita, entah dalam kegagalan, ketidakpastian ataupun saat menghadapi tantangan yang luar biasa.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, Deokman telah mengajarkan saya bahwa sejarah, bukanlah sekedar rangkaian cerita yang telah lalu. Sejarah ada untuk dipelajari sebagai "hikmah" dalam membangun kehidupan di masa depan.