Perayaan Bagiku

2/24/2016 0 Comments A+ a-

Jika pada hari-hari perayaan umumnya orang-orang merasa senang dan menikmatinya, saya justru lebih sering merasa hambar dan hampa. Entah sejak kapan ini terjadi. Yang jelas saat ini saya merasakan berbagai perayaan itu kehilangan arti. Entah itu ulang tahun, tahun baru, idul adha, HUT RI bahkan termasuk pula idul fitri. Saya tidak lagi bisa merasakan "kesenangan-kesenangan kecil" yang dulu pernah saya rasakan saat saya masih anak-anak.

Perayaan ulang tahun pertama saya adalah saat saya berumur 5 tahun, saya tidak terlalu ingat perasaan yang saya rasakan saat itu. Tetapi setelahnya saya hanya menggunakan ulang tahun saya sebagai alasan untuk menuntut perhatian dan "traktiran" dari orang tua saya. Memang ada saat dimana ulang tahun saya menjadi cukup istimewa saat sahabat saya, Yen, memberikan saya kejutan hadiah kecil. Tetapi beberapa tahun setelah itu, saya tidak lagi merasakan ada keistimewaan apapun tentang ulang tahun saya, meskipun saya mendapatkan ucapan selamat atau mungkin hadiah. Meski saya tahu ada orang lain berusaha untuk memberikan makna terhadap ulang tahun mereka, saya merasa hal seperti ini tidak akan banyak berarti bagi saya. Karena bagi saya, makna-makna itu baru akan benar-benar terasa saat atau setelah mengalami  peristiwa yang memang istimewa, bukan karena momen yang menjadi istimewa karena itu adalah hari peringatan  tertentu. Ini juga berlaku bagi ulang tahun blog ini dan berbagai pencapaian jumlah postingannya yang pernah dirayakan oleh teman-teman blogger saya terhadap blog milik mereka. Meski blog ini sangat berharga bagi saya, tapi saya tidak merasa ada yang  merayakan ulang tahun blog ini. Saya juga sudah lupa kapan tepatnya saya pertama membuat blog ini.

Perayaan tahun baru seperti yang terjadi baru-baru ini pun tidak terlalu berarti bagi saya. Saya hanya menjalankan aktifitas seperti biasa, bahkan tidak pula saya melaksanakan "ritual" tahun baruan yang biasa saya lakukan di tahun-tahun sebelumnya : liat film sampai "pagi".

Perayaan HUT RI juga tidak lagi begitu spesial di hati saya. Padahal saat anak-anak dulu saya masih ingat saya selalu menanti momen ini, karena di momen ini ada bazar dimana saya bisa jalan-jalan melihat barang dagangan dan mencoba berbagai macam makanan dan minuman, melihat pentas-pentas tarian dan pertunjukan lainnya. Sudah beberapa tahun saya tidak menghadiri bazar yang biasanya diadakan rutin tiap tahun di daerah sekitar rumah saya.

Perayaan idul Adha, meski jelas ada keistimewaan dalam perayaan ini, yaitu menerima daging sapi dan berbagai hiruk pikuk sebelum dan saat Idul Adha juga tetap tidak cukup menjadi alasan bagi saya untuk menjadikan perayaan ini istimewa.

Perayaan Hari Raya Idul Fitri, yang umumnya sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam. Yang saya rasakan saat ini tentang momen ini justru saya merasa "terganggu", karena saya harus berhadapan dengan banyak orang yang tidak begitu saya kenal. Dulu memang perayaan ini punya sedikit keistimewaan, paling tidak saya tidak terlalu stress bertemu banyak orang yang tidak begitu saya kenal, karena masih ada sepupu-sepupu yang seumuran dengan saya yang menemani saya dan kami masih punya "ritual" rutin hari raya : Rujakan. Tapi sayangnya sepupu-sepupu saya udah pada menikah dan punya keluarga sendiri, justru jadi jarang ketemu dan topik pembicaraan juga sudah berbeda (meski biasanya saya hanya menjadi pendengar setia sih). Saya tidak ingin terlalu banyak mengganggu atau membebani mereka untuk menemani saya, karena mereka punya keluarga sendiri yang juga harus ditemani.

Karena itulah, saya jarang sekali mengucapkan selamat pada hari-hari perayaan tertentu. Karena saya sendiri tidak merasakan "selamat" itu pada diri saya. Dan saya tidak hendak membohongi diri saya agar merasa "selamat" ataupun turut bahagia dalam momen-momen seperti ini. Jika memang tidak istimewa ya itu tidak istimewa, tidak perlu berbohong pada diri sendiri agar seakan-akan itu menjadi istimewa buat saya. Meski terlihat miris, saya tidak merasa begitu menyesal, miris atau sedih soal ini. Saya tidak merasakan apapun, kecuali kekhawatiran bahwa saya menjadi semakin asosial dan "tidak manusiawi". Well, that's fine for me, itu lebih baik daripada semakin banyak menambah kebohongan pada diri saya sendiri dan semakin tidak bisa membedakan antara realitas dan ilusi saya sendiri. Dan menurut saya, justru akan lebih menyedihkan jika saya berpura-pura merasakan hal yang sama seperti yang orang lain rasakan mengenai perayaan tertentu hanya demi 'menyamarkan' kekhawatiran saya itu.

Rasa Bahagia

2/15/2016 0 Comments A+ a-


Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat postingan “Tentang Bahagia”. Baru-baru ini saya memikirkan kembali tentang makna “bahagia” ini. Tidak, saya tidak hendak mengubah kesimpulan saya saat itu yang menyatakan bahwa bahagia adalah saat dimana kau bisa mensyukuri “keberadaan”-mu di dunia ini, bersyukur bahwa kau telah dilahirkan di tempat dan waktu yang telah kau jalani selama hidupmu. Well, tentu saja rasa bersyukur yang saya maksud ini bukan yang dipaksakan agar tidak menerima karma atau agar tidak jadi orang yang ga tahu bersyukur. Bukan delusi yang kita buat sendiri tentang rasa syukur. Tetapi rasa syukur yang sebenarnya. Saya masih percaya dan mengira bahwa itu adalah hal yang wajar dan seharusnya akan kau lakukan saat kau merasa bahagia. Dan saya masih menggunakan itu sebagai indikator kebahagiaan.

Tapi tampaknya saat itu saya terlalu sok tahu bahwa saya telah dan pernah merasakan bahagia. Paling tidak itulah yang saya rasakan saat ini. Jika memang saya merasakan “rasa bahagia” seperti yang saya tuliskan pada postingan itu, setidaknya saya seharusnya dapat mengingat “rasa” itu bukan? Paling tidak saya pernah merasakan suatu rasa yang disebut “bahagia”. Apakah saya berbohong? Mungkin. Lagipula memang sepertinya sejak kecil saya suka sekali berbohong pada diri sendiri. Sepertinya meski saya berusaha keras untuk melawannya, tetap saja saya tidak bisa bebas dari kebiasaan itu tanpa saya sadari. Mungkin ini sebabnya saya sangat membenci tindakan berbohong pada diri sendiri, sugesti dan semacamnya. Karena saat kebohongan itu menjadi kenyataan bagimu, akan teramat sulit bagimu membedakan antara kebohongan dan kenyataanmu. Dan itu terjadi pada saya. Sekalipun saya berusaha keras untuk lepas darinya, nyatanya saya masih jatuh dalam jeratannya.

Bisa juga sih, saat ini saya lagi down saja, sehingga saya merasa seakan-akan seumur hidup saya tidak pernah merasa bahagia. Entahlah, tapi saya sendiri tidak merasa pernah tahu seperti apa rasanya dan saat-seperti apakah saya merasa bahagia. Memang ada aktifitas-aktifitas yang membuat saya semangat dan senang, tapi biasanya rasa itu juga muncul bersamaan dengan derita. Dan kemudian, kesenangan dan semangat itu akan segera menghilang. Sejauh ini, itulah yang saya rasakan.

Misalnya saja, saat ada orang yang berkomentar di blog ini, bertukar pikiran dengan orang lain, berdebat, menyampaikan ide dan pendapat saya; selalu saja ada rasa khawatir, bimbang, takut, dan bahkan ga jarang disertai dengan sakit perut yang teramat sangat. Saya masih ingat, saat saya berdebat atau bertukar pikiran dengan seseorang di internet, saya mengetiknya sambil menahan rasa sakit perut yang ga keru-keruan. Makanya kadang saya agak kesal saat orang lain beranggapan saya hanya ingin dibenarkan dan tidak menghargai pendapat mereka karena berbuat seperti ini. Seakan-akan saya menikmati “rasa mereka yang merasa direndahkan”. Padahal dalam setiap kata yang saya ketikkan saya harus menahan penderitaan baik fisik dan perasaan.

Tapi, selain itu saya juga tidak bisa menafikkan ada kesenangan yang saya rasakan saat itu. Rasa semangat dan senang ada yang mau menemani saya berdialog, selain monolog-monolog yang biasanya saya lakukan sendiri dalam pikiran saya. Ya, saya memang merasa senang, sangat senang. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kesenangan itu diiringi dengan penderitaan dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti bahagia yang silih berganti dengan penderitaan atau hukum sebab akibat antara bahagia dan penderitaan (aka pengorbanan).

Itukah yang dinamakan kebahagiaan?

Saya sendiri selama ini hanya menamakan rasa-rasa seperti itu dengan “kesenangan”/ “pleasure”, bukan “kebahagiaan”/”happiness”. Karena setahu saya, setidaknya saat membaca buku atau menonton film, yang dinamakan kebahagiaan sepertinya lebih dari itu. Rasanya kebahagiaan digambarkan seakan-akan penderitaan tidak lagi menjadi masalah, seakan “rasa menderita” itu telah terhapus oleh kebahagiaan.

Terkadang saya merasa mungkin saja gambaran bahagia yang ada dalam buku dan film itu hanyalah ilusi. Mungkinkah hal seperti itu ada?

Lalu, apakah itu artinya tidak seharusnya kita mengharapkan adanya kebahagiaan di dunia ini?

Ataukah memang apa yang saya sebut dengan kesenangan itu sebenarnya sama dengan kebahagiaan? Cuma saya saja yang sok “berpikir mendalam” dan membeda-bedakannya? Entahlah. Tapi jika memang itu benar, maka sepertinya sesuatu yang bernama kebahagiaan tidaklah se-“Wah” dan “mewah” yang selama ini digambarkan oleh orang-orang. Dan, sekali lagi, itu juga berarti gambaran yang terdapat dalam film dan buku hanyalah ilusi yang dibuat manusia semata. Atau mungkin saya saja yang terlalu tinggi harapannya dalam memaknai kebahagiaan dari buku dan film yang saya baca dan lihat.

Addicted to Pain

2/04/2016 0 Comments A+ a-

Suatu hari, seseorang pernah menunjukkan foto anggota tubuhnya yang masih mengeluarkan darah karena ia menyilet-nyilet tubuhnya. Maaf, tapi saya tidak bisa menunjukkan foto itu, karena itu foto pribadi dia. Dan lagipula foto itu sepertinya turut hilang bersama dengan hape saya yang hilang.

Saat itu, saya jelas merasa bahwa apa yang ia perbuat adalah salah, tidak seharusnya seperti itu. Tapi hanya itu saja yang dapat saya katakan padanya. Karena saya sendiri cukup bisa mengerti alasan ia melakukan itu.

Ia berkata pada saya, ia melakukan hal itu untuk meringankan rasa sakit lain yang ia rasakan. Rasa sakit ini bukan rasa sakit fisik, meski begitu rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit fisik, mungkin. Buktinya ia justru menggunakan rasa sakit fisik untuk meringankan rasa sakitnya. Saya memang pernah membaca di komik-komik dan mengerti bahwa dengan memberikan rasa sakit pada tubuhnya sendiri, seseorang dapat mengalihkan fokus rasa sakit yang lain yang lebih parah.

Saya akui, saya sendiri sepertinya memang bukan orang yang sehat wal afiat dalam hal mental. Bukan, maksud saya bukan gila atau yang semacamnya. Hanya saja cara saya dalam menghadapi tekanan saat menghadapi masalah bukan dengan cara yang positif.  Ini mungkin tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh orang itu. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa saya tidak bisa menunjukkan alasan kenapa orang itu tidak boleh menyakiti dirinya sendiri. Meski dengan alasan dan cara yang berbeda, saya bisa mengira apa yang ia rasakan.

Berbeda dengan dia yang menyilet-nyilet tubuhnya, saya melakukannya dengan menahan aktifitas makan saya. Alasannya pun berbeda, saya sering melakukan ini sebagai "hukuman" terhadap diri saya. Biasanya, rasa bersalah dan krisis eksistensi (biar keren, pake istilah yang agak tinggian) yang mendorong saya, entah bagaimana, untuk membuat diri saya jadi "tidak mau" makan. Ada kalanya di saat itu saya masih merasa lapar dan ingin makan sesuatu, hanya saja saya "tidak mau". Ini mungkin terdengar cukup aneh, mau tapi tidak mau. Tapi memang seperti itulah yang sering saya alami. Memang ini bisa saja hanya karena nafsu makan saya yang sedang turun karena sedang ada masalah, tapi saya rasa ada perbedaan antara kehilangan nafsu makan dan saat "addicted to pain" versi saya lagi kumat.

Sebenarnya, dorongan untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang itu juga berkali-kali datang pada saya. Rasanya, melakukan hal seperti itu juga akan sangat melegakan. Godaan untuk melakukannya terkadang sangat kuat. Tapi saya hanya membatasi diri saya untuk memperbolehkan memenuhi dorongan itu hanya dalam sebatas imajinasi, atau maksimal mencubit dan memukul-mukul diri saya sendiri. Well, mungkin saja itu hanya karena saya yang pengecut terhadap rasa sakit sih.

Hanya saja, menurut saya dorongan seperti itu tidak seharusnya dipenuhi. Tapi, memang kenyataannya saya sering tidak berdaya menghadapi dorongan semacam ini. Rasanya, jika saya tidak melakukan hal tersebut mungkin saya akan benar-benar kehilangan akal sehat saya. Dan saya tak tahu cara lainnya yang bisa sukses, lebih baik dan mampu menggantikan cara ini. Tapi, saya tidak ingin kelewatan memanjakan diri saya dengan menuruti semua dorongan itu. Karena entah mengapa, tapi saya rasa saat saya memenuhi semua dorongan itu sepertinya saya tidak akan mampu bangkit lagi bertahan di jalan yang saya pilih, dan saya tidak lagi akan mampu menjadi diri saya yang saya kehendaki. Makanya saya membuat batasan, sejauh manakah saya boleh memenuhi dorongan "addicted to pain" yang saya miliki.

Tapi mungkin cara seperti ini sebenarnya dapat menimbulkan dampak yang lebih parah daripada cara yang digunakan oleh orang itu. Soalnya, kalau luka silet kan kalau udah sembuh selesai, paling-paling ada bekas luka. Bisa parah sih, kalau perawatan luka dan alat yang dipakai ga steril. Tapi, kalau menahan untuk makan dampaknya sebenernya bisa jangka panjang. Misalnya saja seperti Mag saya yang makin waktu makin parah. Meski sepertinya saya bisa memperlambatnya dengan "strategi-strategi" pencegahan dan penanganan tertentu, tapi tetap saja tidak bisa mencegah jangka panjang. Memang sih, dibandingkan dengan teman-teman saya yang Mag-nya parah sampai masuk RS, saya masih belum pernah sih meski tiap hari gejala Mag semacam kelebihan gas lambung saya alami. Oleh sebab itu, sebenarnya saya sendiri tidak benar-benar yakin apakah cara yang saya lakukan ini benar-benar lebih baik dari cara orang itu, atau saya sebenarnya hanya sedang memanjakan diri saya dengan cara lainnya.

Hm... Tapi, untuk saat ini saya masih bisa menekan dorongan ini selama masih belum dalam batas parah pake banget dan saya masih merasa "berarti" untuk tetap hidup.