Jadi Realistis, Bukan Terperangkap Oleh Realita

2/26/2011 9 Comments A+ a-


Selama ini, kita beranggapan bahwa menjadi “realistis” berarti memiliki target yang sudah pasti akan kita capai. Jika target itu sulit untuk dicapai, atau tidak biasa untuk dicapai, maka akan disebut gak “realistis”, bahkan beberapa mengatakan itu cuma mimpi, gak akan bisa dicapai.Jadi, pilih yang pasti-pasti aja lah, gak usah yang terlalu tinggi. 
Umumnya, orang memilih untuk menjadi “realistis” karena takut kecewa saat apa yang diinginkan tidak tercapai, “semakin tinggi jatuhnya, semakin sakit jadinya”. Itulah paradigma yang sering dipegang, karena itu lebih baik bagi mereka untuk meraih apa-apa yang memang mungkin dicapai oleh orang-orang biasanya. Entah benarkah itu realistis, ataukah itu hanya alih-alih menjadikan orang sama seperti mereka, ataukah “kasihan” pada kita?



 Tapi, apa iya, seperti itu baru yang dinamakan ralistis?Apakah jika kita bermimpi itu maka kita menjadi tidak realistis?Lalu, bagaimana kisah seorang yang sukses di usia muda, 26 tahun, Merry Riana?Bagaimana dengan sang walikota muda Amerika, John Taylor Haymon?Bagaimana dengan aktivis buta,tuli dan bisu,Hellen Keller?Bagaimana dengan sang dokter bedah cilik yang baru berumur 7 tahun,Akrit Jaswal?Seorang ilmuwan terkemuka yang hampir seluruh tubuhnya lumpuh, Stephen Hawking?Pianis handal yang hanya memiliki 4 jari,Hee Ah Lee?Igor Platinov, seorang perenang tanpa tangan?



 Terjebak Pada Realita
Saat kita dihadapkan terhadap realita kehidupan kita yang mungkin “menakutkan”, yang membuat kita down. Seringkali kita terpengaruh oleh pandangan yang ada di sekitar kita. Membuat kita terpaku pada kebiasaan yang ada di sekitar kita. Seringkali sakit hati karena kecewa, membuat kita takut mencoba karena khawatir akan kecewa. Tapi, tidakkah kita merasa bahwa kita saat itu sedang terjebak oleh realita di sekitar kita?Kita terjebak oleh “kebiasaan” yang ada di sekitar kita.Kita dipaksa untuk “mempersempit” pandangan kita hanya pada apa yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk mau dikerangkeng oleh rantai ketakutan akan kekecewaan.Kita terjebak oleh “kemelut realita” yang ada di sekitar kita.
 
Akankah itu membawa kita pada kebahagiaan sejati? Tidak, tentu saja. Sikap kita yang seperti itu memaksa kita untuk memendam keinginan dan impian-impian kita, yang kita anggap tidak “realistis”. Sayangnya, cara kita ini tidak membuat keinginan dan impian2 kita hilang begitu saja, tetapi mereka sedang mengintai di balik alam bawah sadar kita, berusaha untuk keluar ke dalam alam sadar kita. Membuat kita seringkali tiba-tiba menjadi bad mood, merasa hampa, gak bermakna,bosan dengan kehidupan, dll.Sayangnya pula, keinginan dan impian-impian yang dipendam itu tidak pernah berkurang. Semakin hari,semakin bertambah banyak. Karena manusia itu tidak pernah puas, selalu menginginkan yang lebih.

Selain itu, kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu(bukan hanya berarti harta) yang lebih dari orang-orang pada umumnya, kita hanya mendapat “sama” atau kurang dari orang-orang pada umumnya. Kita tidak menjadi  yang “istimewa”. Padahal setiap dari kita pasti berharap untuk menjadi “istimewa”.
Tidak juga kita mendapatkan kemajuan yang signifikan dari diri kita. Karena kita tidak pernah memiliki target yang tinggi, kita tidak pernah mencoba untuk melebihi batas kemampuan kita “saat ini”. Sehingga, yang kita peroleh hanya “ala kadarnya”, seperti target kita yang juga “ala kadar”-nya.

Benarkah Tidak Realistis? 
Mempertimbangkan sesuatu realistis atau tidak itu, adalah dengan memperhitungkan apakah sesuatu itu bisa dicapai atau tidak,kan? Sesuatu yang belum pasti akan  tercapai, belum tentu tidak bisa dicapai kan?Karena itu, realistis bukanlah meraih yang “pasti-pasti aja”, melainkan meraih apa yang memang bisa kita capai.Bagaimana sih agar kita bisa bisa berhasil mencapai sesuatu itu?

Melalui usaha, strategi, dan pembelajaran yang sepadan dengan yang diperlukan tentunya. Dengan bekerja keras,selalu mencoba, selalu belajar menjadi lebih baik, memikirkan cara seperti apakah yang akan dapat membuat kita meraih tujuan kita.

Seorang Hellen Keller, dalam hidupnya, ia tidak pernah memandang bahwa menjadi aktivis maupun menulis sebuah buku, adalah hal yang tidak mungkin bagi dirinya. Ia hanya berusaha menemukan “caranya” sendiri untuk mengatasi berbagai tantangan dalam hidup dan cita-citanya.

Seorang Stephen Hawking, tidak memutuskan bahwa kelumpuhan akan mengakhiri karir dan dedikasinya pada sains hanya karena kelumpuhannya. Ia tidak menganggap menjadi ilmuwan, dengan tubuh yang seperti itu cuma mimpi. Ia membuktikannya, ia mewujudkannya. Ia pun, mungkin memiliki “cara” yang berbeda dengan ilmuwan lainnya. Ia mengoptimalkan segala yang dimilikinya, yang masih berfungsi dengan baik, otaknya.
 
Begitu pula dengan seorang Hee Ah Lee,  dan Igor Platinov, mereka tidak menjadikan kekurangan mereka itu halangan. Mereka hanya perlu menemukan “cara”-nya sendiri. Tidak perlu sempurna, hanya untuk mencapai tujuan, dan merasakan kebahagiaan kebermaknaan hidup. Begitu pula dengan Merry Riana dan John Tyler Haymons, mereka tidak menjadikan faktor umur menjadi masalah yang berarti. Mereka menciptakan peluang, dengan cara mereka sendiri.

Yang menjadi halangan bukanlah keadaan kita saat ini, bukan pula kekurangan-kekurangan dan batasan-batasan kita saat ini. Semua itu sebenarnya bisa di atasi ,  tetapi mampukah kita melawan pikiran-pikiran kita dan “godaan” dari luar diri kita?Mampukah kita tetap menjaga motivasi kita tetap tinggi untuk dapat konsisten berjuang?

Pada dasarnya, skill dan peluang itu bisa kita perbesar dengan usaha, strategi dan pembelajaran yang kita lakukan. Gak peduli seperti apapun keterbatasan itu, pasti akan selalu ada jalan untuk meraihnya. Karena Tuhan pun gak akan menguji umatNya melebihi kemampuan umat tersebut.

Mungkin bukan dengan cara yang sama dengan cara yang biasa, tapi jalan keluar itu akan selalu ada. Mungkin cara itu membutuhkan usaha yang lebih, mungkin dengan cara itu tidak persis seperti keinginan kita.  Tetapi, akan selalu ada cara,  yang juga membuat kita merasa bahagia dan bermakna.

Yang penting bukanlah presentase keberhasilan yang 100% ataupun yang harus hampir 100%. Tetapi agar tujuan kita tercapai, agar kita merasakan makna dari impian kita, agar kita menjadi benar-benar bahagia dan merasakan “kebermaknaan” dalam hidup ini. Tidak hanya kita seorang yang bahagia, tetapi juga orang-orang di sekitar kita. Selain itu, kita pun dapat menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita, kita menjadi “istimewa”. Dan, kita pun akan mendapatkan “skill” yang lebih, karena kita berusaha lebih keras, untuk mewujudkan impian kita yang besar.

Apapun dapat kita raih, asal kita benar-benar berjuang untuk mendapatkannya. Karena itu, menjadi realistis itu bukan berapa persentase keberhasilan yang ada dengan keadaan kita saat ini, melainkan berapakah presentase keberhasilan yang berhasil kita tingkatkan dengan usaha, strategi dan pembelajaran yang kita lakukan?

Jadi?
Jadi, Realistis bukanlah mengambil langkah yang pasti-pasti aja. Melainkan, melakukan sesuatu yang membuatnya menjadi realistis untuk dicapai. Sekalipun membutuhkan "bayaran" yang lebih. Memiliki impian, bukan tidak realistis. Yang menjadikannya realistis atau tidak adalah "upaya" kita untuk mewujudkannya. Realistis atau tidak bukanlah batasan, tetapi tantangan.

9 comments

Write comments
M. Hudatullah
AUTHOR
26 Februari 2011 pukul 21.32 delete

I do like it!

menjadi realistis bukan berarti terjebak pada realita. Apalagi kalau pertanyaan diteruskan lagi: realitas siapa??

kadang, dalam realitas kita, kita melihat kemungkinan2 yang belum tentu dilihat orang lain dalam realitas mereka. saat kita dituntut bersikap realistis, akhirnya kita malah terjebak dalam realitas mereka (melihat dunia dan kesempatan dari cara mereka).

ah, segitu aja deh, sebelum saya curcol lebih jauh lagi, hehehe.

betewe, kayanya per paragrafnya perlu dikasi space deh. jangan dimpetin...biar enak bacanya

(ga apa2 kalau panjang2, but ada jaraknya aja si/biar satu baris ga sampai kebaca dua kali, hehehe)

Reply
avatar
kacho
AUTHOR
26 Februari 2011 pukul 21.38 delete

Yah, pada dasarnya cara berpikir tiap orang berbeda sih,sudut pandang juga berbeda. Seringnya orang itu langsung nge judge dari sudut pandangnya aja sih. Padahal belum tentu memang begitu "realitas"-nya.

Lho, gak ada spasinya ya?Tadi rasanya udah diatur deh.Ntar Qatur lagi deh.

Reply
avatar
Yus Yulianto
AUTHOR
26 Februari 2011 pukul 22.29 delete

oia stephen hawkings, saya ngefans banget sama ilmuan yang satu ini. Fisiknya lumpuh tapi ngga membuatnya patah semangat buat jadi ilmuan. Dia hebat banget, bayangin aja, tanpa coret-coretan, dia ngitung (rumus-rumus) semuanya langsung dari otaknya (dibayangin), saya rasa kalo stephen hawkings ngga lumpuh, dia bakal ngalahin kejeniusannya albert einstein... bener-bener menginspirasi...

Reply
avatar
moonlite!
AUTHOR
27 Februari 2011 pukul 11.29 delete

bagus postingnya. ngasih inspirasi ke saya ;D lagipula hidup itu kan punya karakter. dan setiap orang punya trik buat ngejalaninnya. yang penting realistis tapi juga ga takut bermimpi :D

Reply
avatar
kacho
AUTHOR
27 Februari 2011 pukul 16.38 delete

@Eks : iya,aq juga salut banget ma dia. Pasti deh daya imajinasinya kuat banget.Trz, semangat n motivasinya dia pasti juga tinggi banget

@nonanoto : makasih. Seneng bisa menginspirasi, hehehe... :D

Reply
avatar
moonlite!
AUTHOR
28 Februari 2011 pukul 07.40 delete

aduh hurufnya susah dibaca loh ini *,*

Reply
avatar
kacho
AUTHOR
28 Februari 2011 pukul 11.06 delete

wah, gitu ya?Aq ganti dulu deh

Reply
avatar
rabest
AUTHOR
1 Maret 2011 pukul 12.51 delete

"Apapun dapat kita raih, asal kita benar-benar berjuang untuk mendapatkannya. Karena itu, menjadi realistis itu bukan berapa persentase keberhasilan yang ada dengan keadaan kita saat ini, melainkan berapakah presentase keberhasilan yang berhasil kita tingkatkan dengan usaha, strategi dan pembelajaran yang kita lakukan?"

I like it!! :)

Reply
avatar
kacho
AUTHOR
1 Maret 2011 pukul 16.00 delete

@Bestari : Thanks ^^

Reply
avatar

Mari bercuap-cuap :D