Tentang Kehendak Bebas (Freewill) dan Secuil Tentang Semesta
Beberapa waktu lalu saya menjawab sebuah pertanyaan di grup facebook tentang Kehendak Bebas dan Secuil Tentang Semesta
Saya ingin share jawabannya kesini :3
Jadi, langsung aja ya.....
*****
Manusia punya kehendak bebas. Tapi kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu apa itu kehendak bebas, agar tidak salah mempersepsikan dengan yang lainya. Seperti yang banyak dijelasin orang, kehendak bebas itu kebebasan untuk memilih. Memilih yang seperti apa? Bagaimanakah yang dikatakan memilih itu?
Memilih itu adalah ketika kita dihadapkan pada beberapa PILIHAN lalu kita memilih salah satu di antara pilihan-pilihan tersebut. Maka, memilih itu harus ada pilihannya. Kalau tanpa pilihan berarti ga bisa dikatakan memilih. Tetapi mengadakan-menentukan jadinya (dari yang tidak ada menjadi ada) => dimana manusia tidak memiliki kemampuan ini.
Jadi, manusia memang punya kehendak bebas, tapi kehendak bebas itu adalah memilih di antara hukum-hukum alam manakah yang ia ingin jalani. Pilihannya adalah hukum alam itu tadi. Jadi, memang manusia tidak bisa lepas dari hukum alam. Tapi, soal kepastian, aku masih bingung apa dan bagaimana yang kamu maksud sebagai kepastian hukum alam.
Soal adanya pemerintahan, kehakiman vs kehendak bebas dan kesadaran
Memang manusia punya kesadaran, tapi jangan lupa juga manusia punya emosi dan nafsu. Memang kesadaran bisa digunakan untuk mengendalikan diri manusia, tapi tidak semua manusia bisa begitu. Bahkan kebanyakan tidak berdaya terhadap emosi dan nafsu mereka. Banyak yang tahu dan sadar apa yang dilakukannya salah, tetapi mereka tetap melakukannya meski itu salah. Sejarah kemanusiaan (bahkan sampe sekarang) pun membuktikannya, betapa manusia lebih menyandarkan diri pada emosi dan nafsu daripada menggunakan kesadaran dan akal sehatnya. Hal-hal itulah yang akhirnya membuat manusia berbuat banyak
kerusakan di bumi.
Karena itulah hal semacam pemerintahan dan kehakiman itu ada. Pada hakikatnya kedua hal itu diadakan agar sebisa mungkin membuat keteraturan terhadap masyarakat yang dipimpinnya, sehingga mereka yang tidak bisa mengendalikan diri dapat "dipaksa" melalui aturan yang mereka buat untuk meminimalkan perilaku yang membawa pada kerusakan. Selebihnya, mereka juga berkewajiban untuk memenuhi kepentingan hidup bersama masyarakat tersebut. Tapi dipaksa disini bukan berarti dipaksa dalam artian keras, tetapi dengan cara memberi aturan, pendidikan, sanksi dan reward yang sesuai dengan tindakan rakyatnya, begitu pula (seharusnya menurutku) berlaku sama bagi para pemimpinnya.
Sebenernya soal atur mengatur itu tidak hanya berlaku secara kolektif. Tapi juga individu. Sebagai bukti, kita sendiri pasti punya prinsip, nilai-nilai yang kita pegang dalam hidup kita. Menurutku, itu contoh "pemerintah" versi mikro dalam individu.
Lantas, dengan adanya pemerintahan dan kehakiman apakah kehendak bebas itu cuma ilusi?
Tidak. Kehendak bebas pada hakikatnya adalah gift dari Tuhan. Sehingga, ga bisa juga diambil/ dicuri/ diambil alih oleh manusia lain. Buktinya, mau sebagaimana bagusnya sebuah pemerintahan tetap akan ditemukan ada yang melanggar. Itu karena manusia punya freewill. Mau bagaimana orang berusaha menjajah masyarakat lain, tetap akan ada yang melawan.
Yang jadi masalah, pilihan mana yang mereka pilih, melanggar atau menurut? Melawan atau tunduk? Yang manapun pilihan mereka, itu adalah hasil dari mekanisme freewill mereka.
Lalu, apa yang mendasari kehendak bebas ini?
Banyak hal. Mungkin ada yg terlewat saya sebutkan, tapi saya akan coba sebutkan yang saya ingat (ini menurut pendapat saya) :
Variabel yang mempengaruhi freewill : pengalaman, keinginan, perasaan, pemikiran dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Semuanya berpengaruh-sebagai masukan, input-.Jadi, saya rasa freewill adalah mekanisme tersendiri, mungkin freewill ini merupakan bagian dari jiwa, atau mungkin freewill ini sendirilah jiwa itu.
Tapi, menurut saya freewill berbeda dari variabel yang saya sebutkan di atas, karena setiap orang memiliki kecenderungan yang berbeda dalam membuat pilihan. Ada yang lebih menitikberatkan pada keinginan, perasaan, nilai, pemikiran, dll. Yang itu salah satunya menghasilkan analisa penggolongan (Feeling) dan (Thinking) dalam MBTI.
"Memilihnya" bebas. tapi "pilihan yang hadir" terbatas. misalnya, hanya misalnya, orang yang miskin dan kelaparan. dia kan harus makan. maka apa yang harus dilakukan? 1. ngerampok makanan, 2. nyari bantuan
3. minjem uang dulu, 4. nyari sisa makan
Dia bebas memilih dan berkehendak. tapi cuma bisa memilih 4 pilihan di atas (yeah mungkin ini menyederhanakan, semoga gak berlebihan). Sementara dia gak bisa memilih untuk "pergi ke restoran yang jual makanan enak dan beli makanan disana". pilihan itu enggak "hadir" karena si subjek gak punya akses (uang). Dari contoh diatas keliatan bahwa subjek memilih, tapi pilihan yang ada saja. memilihnya bebas, pilihannya? not so much *ini baru mempertimbangkan sisi material, belum "pengalaman" subjek
Jangan melupakan variabel kreatifitas dalam contoh kasus itu,sehingga pilihannya terbatas jadi cuma 4. Padahal kalo kita bicara riilnya, apa iya pilihan yang tersedia hanya 4 itu saja?
Kita coba cari rumusan masalahnya dulu.
Si A, lapar, tapi tidak punya uang. Maka, apa yang harus dilakukan untuk bisa memenuhi kebutuhan fisik makan dengan kondisi tidak punya uang?
Kita definisikan dulu, makan itu aktifitas apa sih? Makan : aktifitas memasukkan makanan ke mulut untuk dicerna sehingga kita bisa mendapatkan energi dan kandungan-kandungan lainnya dari makanan tersebut untuk beraktifitas dengan baik.
Shg, kita harus mendapatkan makanan yang dapat memberikan energi dan kebutuhan tubuh lainnya.
Selain keempat pilihanmu masih ada pilihan-pilihan lainnya, salah satunya mencari dan mengolah makanan sendiri. Jangan lupa kita makan dari hewan dan tumbuhan, maka selama ada bahan-bahan tersebut, kita masih bisa makan tanpa uang.
Dan ini riil di luar negeri,ada orang yang bereksperimen hidup tanpa uang sepeser pun. cek infonya
disini .
Dan bisa jadi juga masih ada cara lainnya yang masih belum disebutkan, misalnya bisa aja dia kerja dulu : bikin perjanjian sama pemilik resto, dibantu kerja disana dengan bayaran makanan. Atau, nekat aja makan di restoran, terakhir-terakhir bilang aja dompet lupa, terus gantinya kerja "gratis" disitu, atau cari aja pesta nikahan atau org punya gawe/acara, pura2 bawa amplopan terus masuk dan makan deh sepuasnya disana, atau cari acara-acara yang kasih makanan gratisan ikutin deh acaranya, atau cari orang bagi-bagi takjil gratisan, ikut jamaah masjid di mesjid pas ramadhan, de el el. Banyak jalan menuju roma, hanya karena cara yang kita temukan terbatas bukan berarti pilihannya memang benar seterbatas yg ada di pikiran kita
Tapi 1 hal,janganlah membatasi sesuatu yg sesungguhnya tak tak diketahui batasnya.
Soal makan di restoran yang jual makanan enak. Itu beda lagi rumusan masalahnya. Rumusan masalahnya bukan lagi bagaimana aku bisa makan. Tapi bagaimana aku bisa makan di restoran yang makanannya enak? Jujur aja sebenernya saya bingung, Yang jadi masalah disini: restorannya atau makanan enaknya? Klo makanannya, saya rasa makanan enak ga harus di resto, dan ga harus mahal juga. Bikin sendiri juga bisa. Atau coba cara-cara yg aku sebutkan di atas juga bisa dapet makanan enak.
Kalo' masalahnya adalah ingin makan di restoran, bisa pake salah 1 cara yg udah aku sebutin di atas. Sebenernya, makan di restoran adalah pilihan lanjutan dari makan: saya butuh makan. Makan yang bagaimana? Makan yang enak di restoran. Maka, untuk memenuhinya kita harus menjalani konsekuensinya. Jangan lupa kita hidup dalam dimensi ruang dan waktu bersama dengan alam dan manusia lainnya, dan jangan lupa juga untuk memperhitungkan variabel dari diri sendiri. Seperti yang kubilang bahwa pilihan itu tidak bebas konsekuensi, maka jika memilih suatu opsi kita juga harus mau menjalani konsekuensinya, yang bisa jadi butuh waktu, butuh usaha, de el el. Sehingga jika tidak mau, tidak bisa atau kondisi tidak memungkinkan untuk memilih cara yang aku sebutkan di atas tadi, maka perhitungkan potensi diri kita saat ini, realistis atau engga. Kalau engga, jangan lupa kita juga hidup di dimensi waktu, kalo' gak bisa sekarang maka kamu bisa cari cara ngrencanain suatu saat bisa makan di restoran itu. Lama? Ribet? Itu konsekuensi. Kalo' ga mau ya udah ga usah milih itu. Tapi sebenernya, Anything is possible, isn't?
Dalam komen sebelumnya, aku sempat menyebutkan keteraturan yang dinamis. Ini adalah salah satu wujud sistem keteraturan dinamis yang ada di alam ini. Pernah denger kata-kata,"manusia itu lemah. Lihat dia tidak punya bulu utk menghangatkan diri, dia bahkan tak punya cakar dan taring untuk melindungi dirinya sendiri." Itu dari kartun tarzan. Tapi, kau tahu, si makhluk yang terlihat lemah itu, yang terlihat lebih lemah dari hewan yang punya sistem pertahanan diri kini telah mendominasi bumi, berada di rantai "makanan teratas".
Tidak selamanya keterbatasan itu hanya berarti terbatas dan tidak berdaya, selesai. Bisa jadi keterbatasan itulah yang memunculkan "ketidakterbatasan". Justru karena manusia itu "lemah", karena itulah dia berusaha bertahan dengan segala yang dia miliki, apa itu? Akal, ia brpikir keras untuk melawan keterbatasannya dengan memanfaaatkan apa yang ada di sekitarnya untuk menggantikan apa-apa yang tidak ia miliki dibanding makhluk lain. Dan kini pencapaian manusia dalam hal teknologi banyak yang sudah melampaui apa-apa yang ia jadikan inspirasi. Manusia memang makhluk serba terbatas. Tapi tuhan telah membekalinya dengan mekanisme tidak terlihat, apa itu? Freewill dan segala perangkatnya yang saya sebut sebagai variabel dalam bagian yang sebelumnya.
Dalam membahas freewill, kita gak bisa membahasnya secara terpisah dari perangkatnya. Misal, kita bahas motor, cuma dengan mengambil analogi dengan mesinnya tapi kita berharap motor itu bisa jalan tanpa roda? Ya jelas gak bisa jalan lah. Sama dengan freewill, dia bukan entitas yang bekerja secara mandiri, tapi dia bisa bekerja karena ada dukungan dari perangkat lainnya. Karena mereka adalah satu kesatuan. Kreativitas yang saya sebutkan di atas adalah hasil dari proses akal, pengetahuan dan pengalaman, mungkin juga "perasaan".
Dan perangkat-perangkat itulah yang membuat freewill bersifat terbatas sekaligus tidak terbatas. Terbatas, karena sifat kita sebagai manusia yang diciptakan adalah terbatas. Tidak trbatas, karena kombinasi antara freewill, perangkatnya dan mekanisme alam ini telah menciptakan potensi pilihan-pilihan, jalan, cara yg tak seorang pun tau seberapa banyakkah batasnya, dan jumlahnya selalu berkembang.
Secara pribadi, saya berpendapat salah satu batasan freewill manusia adalah menjadi atau setara dengan Tuhan. Tapi selebihnya soal cara hidup, itu tidak terbatas, selama kita mempertimbangkan variabelnya dengan baik, menggunakan perangkat-perangkatnya dengan baik, dan mau menjalani konsekuensinya, pilihan itu bisa jadi "tidak terbatas".
Jika kita membatasi pilihan, maka kita tidak akan pernah merasakan terbang di udara. Menjelajah luar angkasa. Mencapai jarak jauh dalam waktu sebentar, menikmati teknologi. Karena pada saat itu, tidak ada orang yang akan menemukan hal yang baru. Para penemu itu sukses karena mereka tidak membatasi pilihan, "Karena aku tidak punya sayap maka aku tidak bisa terbang", mereka tidak brpikir bgtu. Yang mereka pikirkan adalah "Aku tidak punya sayap, apa yang membuat sayap burung bisa membawa burung itu terbang? Jika aq memahami cara kerjanya, bisakah aku membuat sayapku sendiri dan terbang seperti mereka? Sekarang memang aku belum bisa terbang, tapi itu konsekuensi. Aku butuh waktu untuk mampu melakukan itu semua. Maka akan kujalani itu dan kubuktikan terbang itu mgkn, bukan tidak mungkin."
Dan sekarang kita telah menemukan banyak cara untuk "terbang" :)
Secuil Tentang Semesta
Menurut saya, alam semesta ini tidak hanya terdiri dari materi tapi juga imateri. adanya fenomena perasaan, logika, nilai, keinginan dan freewill tadi itu adalah bukti adanya hal-hal yang bersifat imateri.
Lalu, bagaimana dan dimana keberadaan yang imateri ini? Saya tidak tahu. Karena namanya juga imateri, kalau kita mempertanyakan dimana keberadaan, maka sama seperti memaksakan yang imateri menjadi materi. Dan sejauh ini, saya juga tidak tahu bagaimana memverifikasi dimana keberadaannya, dalam bentuk yang bisa diindera seperti alam kita.
Yang saya tahu hanya yang imateri ini kebanyakan adalah mekanisme. Dimana materi merupakan wadah dari mekanisme tersebut, dengan kata lain alatnya.
Pertanyaan : apakah keteraturan itu berarti tetap tidak bisa berubah? Bagaimana jika aturan yang "disetting" itu memang sudah disettingkan bersifat dinamis?
Kalau soal kriminal, seperti yang aku bilang, dia melakukan itu karena freewill-nya. Memang ada hukum sebab-akibat, tetapi hukum sebab-akibat manakah yang ia pilih untuk dijalani? Yang menuju pada kebaikan, atau pada kerusakan? Itu pilihannya. Manusia selalu punya pilihan yang terbaik. Tetapi, apakah ia juga mau menjalani konsekuensi dari pilihan tersebut. Itu masalahnya. Kebanyakan tidak kuat dengan konsekuensi lantas jadi menyalahkan keadaan. Padahal bisa jadi itu hanya pikirannya, atau dia yang tidak mau untuk berkorban yang setara dengan yang diinginkannya.
Dalam kehidupan, bahkan alam, tidak ada yang bersifat seperti garis lurus. Bahwa sebab a pasti berimplikasi akibat b. Bahkan dalam hukum alam sekalipun. Ada asap, belum tentu ada api. Air belum tentu selalu jatuh ke bawah. Hukum alam berlaku dengan hukum Jika... Maka... . Jika semua variabel terjadinya suatu kondisi A terpenuhi, maka A akan terjadi. Jika tidak, maka yang terjadi mungkin A'. Jika ditarik oleh gravitasi bumi, maka air akan jatuh ke bawah. Tapi, air tidak selalu jatuh ke bawah. Tapi, kondisi di alam ini tidak selalu sama/tetap. Karena itulah, teori yang sempurna dalam pernyataan tidak selalu berjalan mulus ketika dipraktekkan dalam kenyataan, bahkan bisa jadi malah gagal.
Soal alam aja begitu. Dimana, alam tidak punya freewill, melainkan mekanisme alam, hukum alam. Apalagi manusia yang punya freewill? Konsekuensi punya freewill, dia punya kemampuan lain : manipulasi. Dengan memanipulasi hukum alam, manusia bisa mencapai peradabannya sekarang. Dengan kata lain, manusia bisa memilih pilihan di luar "yang umum" dari masyarakatnya saat itu. "Yang umum" ini bisa berarti positif maupun negatif. Tapi, tetap saja yang namanya manipulasi tidak bisa melampaui hukum alam yang telah ada, dengan kata lain mengubah hukum alam itu sendiri. Memanipulasi itu lebih pada memanfaatkan mekanisme hukum alam. Bukankah itulah cara kita selama ini membangun peradaban, mempelajari hukum alam dan memanfaatkannya?
Jadi, menurut saya kalau ada yang bilang, "sudah takdir atau nasibnya", itu cuma pembelaan atas ketidakberdayaannya, atas ketidakmauannya berjuang melawan ketidakberdayaannya sendiri. Masalahnya adalah berjuang itu bisa menjadi lebih sulit dari sekedar bertahan dengan bilang "sudah takdir atau nasibnya", karena itulah tidak semua orang mau memilih itu, meski apa yang menunggu di ujung perjuangan bisa jadi jauh lebuh manis dari apa yang didapatkan saat ini. Karena ada yang bisa keluar dari apa yang dikatakan "sudah takdir atau nasibnya" itu. Lalu kenapa dia tidak?
Dan saya rasa, setiap manusia siapapun itu punya kesadaran, akal, dan perasaan. Masalahnya, apa dia mau menggunakannya sesuai fungsinya? Kembali tergantung bagaimana freewill-nya memilih. Yang manakah yang lebih dia pilih. Dan kembali lagi itu menjadi tanggung jawabnya untuk menggunakannya dengan baik, atau tidak sama sekali. Bukan tidak bisa dipersalahkan.
Sehingga, tidak ada yang namanya pilihan tidak ada sama sekali kehendak bebas. Karena hakikatnya manusia punya kehendak bebas, bahkan mereka yang memiliki kekurangan mental pun punya. Yang ada mungkin hanyalah orang yang memilih untuk tunduk pada suatu hal, termasuk penderitaan. Tapi, ia memilih itu atas freewillnya. Apa mungkin ada orang yang memilih untuk menderita? Ada. Beberapa mungkin mereka yang sering menggunakan pembelaan,"sudah nasib,sudah takdir..." Kecuali, jika suatu saat hal seperti yang terjadi di film-film zombie jadi kenyataan, maka mungkin akan berubah. Tapi, saya rasa tanpa freewill maka akan dipertanyakan pula apakah mereka itu masih bisa disebut manusia atau tidak.