My Pride=My Dreams ^^
Kali ini, bisa bikin posting karena ada dorongan yang "spesial" nih ^^ Ada GA yang tema-nya menarik, hadiah-nya juga. Jadi mumpung pas nih tema-nya, jadi harus ikut donk :D
GA ini diadakan Smartfren dan Noura Books
Nah, langsung aja bahas soal judul di atas itu
Ini adalah ceritaku soal kebanggaan.
Setelah pengumuman kelulusan SMA, saatnya kita harus mulai melangkah ke dunia baru, dunia perkuliahan atau dunia kerja. Saat itu, saya memilih untuk melangkah ke dunia perkuliahan. Saya yang saat itu gagal ujian masuk perguruan tinggi "A" yang saya target dan juga gagal di SPMB, akhirnya malah tergesa-gesa memilih perguruan tinggi swasta "S". Berhubung dulu itu saya itu lumayan kuper yah, jadi asal pilih perguruan tinggi yang saya temuin melalui search di internet. Setelah bayar biaya pendaftaran dan ikut tes psikologi, akhirnya saya diterima di Perguruan Tinggi "S", dengan perasaan ragu.
Oh iya, sebelum menetapkan pilihan di perguruan tinggi "S", saya sempat ada cekcok dengan orang tua. Awalnya saya bermaksud untuk "nganggur" sambil nunggu tes tahun depan. Tapi, ternyata ortu nggak setuju alasannya kalau aku nganggur selama 1 tahun otaknya bisa-bisa beku. Bener sih emang kata ortu itu. Akhirnya deh, harus berpacu dengan waktu untuk mencari perguruan tinggi baru. Nah, ortu yang tahu kalau perguruan tinggi "S" ini itu sekolah yang cukup elit dan bagus jadi deh ortu benar-benar berharap aku bisa menjadi lulusan dari perguruan tinggi itu.
Padahal, sebelumnya saya dan ortu udah ada perjanjian saya memilih perguruan tinggi ini hanya untuk 1 tahun saja, setelah itu saya akan ikut tes untuk masuk perguruan tinggi A lagi. Ortu bilang,"Kamu itu nggak tau. Ntar kamu bakalan bangga kalau sudah ngerasain lulus dari perguruan tinggi 'A' ini. Ntar kamu cari kerja juga enak" Kurang lebih itulah yang dikatakan ayah padaku. Aku yang merasa tidak begitu berminat menyelesaikan studi di perguruan tinggi "A" menjawab,"Nggak, nggak". Tapi, saat itu saya nggak bisa menjelaskan lebih jauh. Saya cuma tahu, saya ga akan bangga lulus dari perguruan tinggi itu. Apa boleh buat, karena uang terlanjur melayang untuk biaya pendaftaran dan nama saya juga terpampang di daftar calon mahasiswa baru perguruan tinggi itu, jadilah saya harus menjalani studi disana.
Saya menuruti keinginan ortu, dengan syarat setelah lulus saya bisa mengambil studi sesuai dengan yang saya inginkan, jika apa yang dikatakan ortu saya tidak terbukti. Ortu pun menyampaikan harapannya seandainya saya bisa bekerja, meski hanya 1 tahun.
Singkat cerita, 3 tahun sudah berlalu sejak cekcok saya dengan orang tua saya. Saya di-wisuda, artinya saya sudah lulus dari perguruan tinggi itu. Dan anda tahu apa yang saya rasakan? "Nothing". Ya, saya tidak ada merasa ada sesuatu apapun yang spesial dari kelulusan ini, kecuali : akhirnya tunai sudah tuntutan orang tua saya. Jadi saya bisa segera memenuhi keinginan saya untuk menjalani studi di Perguruan Tinggi “A”.
Saya bersikeras untuk ber-studi di Perguruan Tinggi “A”, karena bidang yang dipelajari mendukung saya dalam mencapai impian saya, selain itu juga sistem-nya cukup bagus meskipun perguruan ini masih belum terkenal.
Benar saja, baru masa OSPEK dan saya sangat bersemangat mengikutinya bahkan saya men-targetkan untuk jadi Maba terbaik. Meskipun harus bolak-balik dari rumah ke kampus selama 2 jam dan membagi waktu untuk mengerjakan tugas yang bejibun (baik tugas personal dan tugas kelompok OSPEK), saya bisa mengerjakan semuanya dengan cukup baik. Bahkan di luar ekspektasi saya. Soalnya, saya itu termasuk orang yang fisiknya lemah, dan sepanjang hari terlihat “lemah-lesu”. Apalagi waktu tidur saya Cuma 2-3 jam. Ga percuma, usaha saya sepertinya akan berbuah cukup manis. Soalnya, selama beberapa hari berturut-turut saya menempati urutan pertama di kategori “Maba Terbaik”
Ga disangka dan dinyana, saat penutupan ospek, saya dan kelompok OSPEK saya malah memenangkan penghargaan “Tim Terbaik”. Padahal di awal-awal kelompok kami terlihat sama sekali nggak bisa diandalkan, lho. Itu merupakan buah dari usaha kami bersama. Namun, saya justru gagal untuk menyabet gelar “Maba Terbaik”-nya :p. Sebabnya, di hari terakhir OSPEK saya terlambat karena harus mempersiapkan bahan-bahan untuk kompetisi kelompok. Kecewa sih, tapi tetep bangga luar biasa.
Saya bangga terhadap diri sendiri bukan karena penghargaannya. Tapi, lebih karena saya telah membuktikan diri saya, ternyata saya pun mampu berusaha sekeras itu. Pembuktian ini penting bagi saya, karena dulu saya adalah orang yang minder banget, dan saat itu (hingga sekarang) saya sedang berperang dengan sisi minder saya itu. Gak Cuma itu, saya juga bangga bahwa dengan berusaha sebaik mungkin, maka hasilnya tidak akan mengecewakan. Saya bangga saat itu saya telah berusaha sebaik yang saya bisa. Itu menjadi bekal semangat bagi saya, bahwa saya pun bisa mengejar ketertinggalan saya dengan teman-teman seangkatan saya yang lain yang sudah lebih dulu meniti karirnya.
Dari perjalanan itu, saya akhirnya memahami alasan jawaban saya terhadap pernyataan ayah saya. Ya, saya tidak akan merasa bangga karena memang bukan itulah yang saya inginkan. Karena belajar di perguruan tinggi “A” tidak sejalan dengan cita-cita saya, cita-cita yang saya putuskan akan menjadi arti hidup saya. Oleh karena itu juga, saya pun tidak pernah benar-benar mengeluarkan usaha terbaik saya di perguruan tinggi “A”
Jadi, arti kebanggan buat saya adalah saat kita berusaha sebaik mungkin yang kita bisa untuk hal-hal yang kita inginkan, hal-hal yang membuat hidup kita lebih berarti. Kebanggan atas pencapaian diri, pencapaian yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya. Berbangga berarti juga kita telah menghargai usaha kita yang terbaik itu, bahkan meski tanpa mendapatkan penghargaan sekalipun. Kebanggan akan memberikan semangat baru untuk kita terus berjalan maju :)
Setelah pengumuman kelulusan SMA, saatnya kita harus mulai melangkah ke dunia baru, dunia perkuliahan atau dunia kerja. Saat itu, saya memilih untuk melangkah ke dunia perkuliahan. Saya yang saat itu gagal ujian masuk perguruan tinggi "A" yang saya target dan juga gagal di SPMB, akhirnya malah tergesa-gesa memilih perguruan tinggi swasta "S". Berhubung dulu itu saya itu lumayan kuper yah, jadi asal pilih perguruan tinggi yang saya temuin melalui search di internet. Setelah bayar biaya pendaftaran dan ikut tes psikologi, akhirnya saya diterima di Perguruan Tinggi "S", dengan perasaan ragu.
Oh iya, sebelum menetapkan pilihan di perguruan tinggi "S", saya sempat ada cekcok dengan orang tua. Awalnya saya bermaksud untuk "nganggur" sambil nunggu tes tahun depan. Tapi, ternyata ortu nggak setuju alasannya kalau aku nganggur selama 1 tahun otaknya bisa-bisa beku. Bener sih emang kata ortu itu. Akhirnya deh, harus berpacu dengan waktu untuk mencari perguruan tinggi baru. Nah, ortu yang tahu kalau perguruan tinggi "S" ini itu sekolah yang cukup elit dan bagus jadi deh ortu benar-benar berharap aku bisa menjadi lulusan dari perguruan tinggi itu.
Padahal, sebelumnya saya dan ortu udah ada perjanjian saya memilih perguruan tinggi ini hanya untuk 1 tahun saja, setelah itu saya akan ikut tes untuk masuk perguruan tinggi A lagi. Ortu bilang,"Kamu itu nggak tau. Ntar kamu bakalan bangga kalau sudah ngerasain lulus dari perguruan tinggi 'A' ini. Ntar kamu cari kerja juga enak" Kurang lebih itulah yang dikatakan ayah padaku. Aku yang merasa tidak begitu berminat menyelesaikan studi di perguruan tinggi "A" menjawab,"Nggak, nggak". Tapi, saat itu saya nggak bisa menjelaskan lebih jauh. Saya cuma tahu, saya ga akan bangga lulus dari perguruan tinggi itu. Apa boleh buat, karena uang terlanjur melayang untuk biaya pendaftaran dan nama saya juga terpampang di daftar calon mahasiswa baru perguruan tinggi itu, jadilah saya harus menjalani studi disana.
Saya menuruti keinginan ortu, dengan syarat setelah lulus saya bisa mengambil studi sesuai dengan yang saya inginkan, jika apa yang dikatakan ortu saya tidak terbukti. Ortu pun menyampaikan harapannya seandainya saya bisa bekerja, meski hanya 1 tahun.
Singkat cerita, 3 tahun sudah berlalu sejak cekcok saya dengan orang tua saya. Saya di-wisuda, artinya saya sudah lulus dari perguruan tinggi itu. Dan anda tahu apa yang saya rasakan? "Nothing". Ya, saya tidak ada merasa ada sesuatu apapun yang spesial dari kelulusan ini, kecuali : akhirnya tunai sudah tuntutan orang tua saya. Jadi saya bisa segera memenuhi keinginan saya untuk menjalani studi di Perguruan Tinggi “A”.
Saya bersikeras untuk ber-studi di Perguruan Tinggi “A”, karena bidang yang dipelajari mendukung saya dalam mencapai impian saya, selain itu juga sistem-nya cukup bagus meskipun perguruan ini masih belum terkenal.
Benar saja, baru masa OSPEK dan saya sangat bersemangat mengikutinya bahkan saya men-targetkan untuk jadi Maba terbaik. Meskipun harus bolak-balik dari rumah ke kampus selama 2 jam dan membagi waktu untuk mengerjakan tugas yang bejibun (baik tugas personal dan tugas kelompok OSPEK), saya bisa mengerjakan semuanya dengan cukup baik. Bahkan di luar ekspektasi saya. Soalnya, saya itu termasuk orang yang fisiknya lemah, dan sepanjang hari terlihat “lemah-lesu”. Apalagi waktu tidur saya Cuma 2-3 jam. Ga percuma, usaha saya sepertinya akan berbuah cukup manis. Soalnya, selama beberapa hari berturut-turut saya menempati urutan pertama di kategori “Maba Terbaik”
Ga disangka dan dinyana, saat penutupan ospek, saya dan kelompok OSPEK saya malah memenangkan penghargaan “Tim Terbaik”. Padahal di awal-awal kelompok kami terlihat sama sekali nggak bisa diandalkan, lho. Itu merupakan buah dari usaha kami bersama. Namun, saya justru gagal untuk menyabet gelar “Maba Terbaik”-nya :p. Sebabnya, di hari terakhir OSPEK saya terlambat karena harus mempersiapkan bahan-bahan untuk kompetisi kelompok. Kecewa sih, tapi tetep bangga luar biasa.
Saya bangga terhadap diri sendiri bukan karena penghargaannya. Tapi, lebih karena saya telah membuktikan diri saya, ternyata saya pun mampu berusaha sekeras itu. Pembuktian ini penting bagi saya, karena dulu saya adalah orang yang minder banget, dan saat itu (hingga sekarang) saya sedang berperang dengan sisi minder saya itu. Gak Cuma itu, saya juga bangga bahwa dengan berusaha sebaik mungkin, maka hasilnya tidak akan mengecewakan. Saya bangga saat itu saya telah berusaha sebaik yang saya bisa. Itu menjadi bekal semangat bagi saya, bahwa saya pun bisa mengejar ketertinggalan saya dengan teman-teman seangkatan saya yang lain yang sudah lebih dulu meniti karirnya.
Dari perjalanan itu, saya akhirnya memahami alasan jawaban saya terhadap pernyataan ayah saya. Ya, saya tidak akan merasa bangga karena memang bukan itulah yang saya inginkan. Karena belajar di perguruan tinggi “A” tidak sejalan dengan cita-cita saya, cita-cita yang saya putuskan akan menjadi arti hidup saya. Oleh karena itu juga, saya pun tidak pernah benar-benar mengeluarkan usaha terbaik saya di perguruan tinggi “A”
Jadi, arti kebanggan buat saya adalah saat kita berusaha sebaik mungkin yang kita bisa untuk hal-hal yang kita inginkan, hal-hal yang membuat hidup kita lebih berarti. Kebanggan atas pencapaian diri, pencapaian yang mungkin tidak pernah kita duga sebelumnya. Berbangga berarti juga kita telah menghargai usaha kita yang terbaik itu, bahkan meski tanpa mendapatkan penghargaan sekalipun. Kebanggan akan memberikan semangat baru untuk kita terus berjalan maju :)
CineUs Book Trailer
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Artikel CineUs Book Trailer bersama Smartfrens dan Noura Books
1 comments:
Write commentsTeruslah semangat. Semangat itu dipupuk dari dalam diri, persis seperti kebanggaan :)
ReplyMari bercuap-cuap :D