Reality and Fantasy

12/12/2014 2 Comments A+ a-

Saya banyak belajar kehidupan dari fantasi dan kenyataan, saya pernah bercerita riilnya di postingan ini. Saya tidak banyak belajar kehidupan dari orang di sekitar saya, karena bagi saya saat itu, orang dewasa di sekitar saya terlalu mengecewakan untuk dijadikan panutan. Dan memang tidak ada yang secara khusus mengajari saya tentang banyak hal. Pelajaran yang paling saya ingat adalah saya dihukum karena melakukan kesalahan yang saya tidak tahu bahwa itu salah, dan bahkan tak ada seorang pun pernah mengatakan pada saya sebelumnya bahwa itu adalah perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan.

Saya lebih banyak belajar dari fantasi. Dunia 2 dimensi dalam anime ataupun komik. Atau yang sedikit lebih canggih, dunia 3 dimensi dalam film dan drama. Dari dunia-dunia fantasi itulah saya belajar: keindahan dunia.

Kemudian, saat saya berhadapan dengan realitas seringkali saya "ditampar" oleh realita di sekitar saya. Bahwa, dunia nyata tidaklah sama dengan dunia fantasi. Dunia fantasi diciptakan oleh manusia, sang pencipta bisa saja membuat semua "faktor" penyelamat datang dan jadi "klop" sesuai dengan ending yang diinginkannya, manusia yang membuatnya sesuai keinginannya.
Tapi kenyataan tidak bisa begitu. Tidak ada keajaiban yang akan tiba-tiba datang menyelamatkan kita. Tidak hal yang akan jadi "klop" dengan mudahnya dan masalah yang bisa terselesaikan begitu saja.

Tapi, berkat tamparan itulah saya belajar. Saya belajar bahwa ada perbedaan antara fantasi dan realitas. Saya belajar bahwa di dalam realitas tidak hanya ada hal yang indah, tetapi juga buruk. Tidak selalu akhir itu bahagia, ada juga yang sedih bahkan tragis. Tapi, ada juga hal yang lebih baik di kenyataan daripada dalam fantasy, paling tidak tidak ada serangan alien,zombie dan robot dalam kenyataan sekarang ini :p

Saya tidak menganggap bahwa kemudian fantasi hanyalah kebohongan belaka tanpa ada manfaat apapun. Ada tujuan tuhan menciptakan kemampuan bagi manusia untuk berfantasi. Salah satunya yang saya tahu setelah membaca kisah Dave Pelzer, adalah bahwa fantasi ini membantumu untuk bertahan di saat-saat terburuk dalam hidupmu. Fantasi ini membuatmu memiliki harapan dan tidak putus asa, sehingga memacu kita untuk terus berusaha.

Memang harapan tidak akan cukup mengubah apapun jika kita tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkannya. Tapi yang ingin saya tekankan disini, adalah bagaimana kita menyikapi fantasi dan harapan tersebut.

Ada kalanya kita begitu tidak ingin putus asa sehingga menganggap bahwa dunia ini harus dan akan menjadi sesempurna dunia fantasi,"semuanya indah". Tapi, kau tahu? Tidak ada hal yang seperti itu di dunia ini. Maka pahami dan terimalah realita ini apa adanya, sehingga anda tidak terjebak dalam fantasi akan dunia yang sempurna. Karena seperti yang saya sampaikan dalam postingan "Sosok Yang Sempurna", kesempurnaan adalah hal yang tidak mungkin dicapai oleh manusia. Titik terjauh yang bisa dicapai manusia adalah "Yang terbaik", mungkin titik yang dekat dengan sempurna. Mungkin sama dengan lagunya letto,"Almost", itulah titik terjauh yang bisa kita capai. Toh, kita juga tidak mungkin bisa mengendalikan freewill seluruh umat manusia untuk menuruti ambisi kita mewujudkan dunia yang sempurna.

Jika kita tetap bersikeras mewujudkannya tanpa memahami batas diri kita sendiri, suatu saat dimana kita menghadapi kegagalan sekian kalinya untuk mewujudkan dunia yang sempurna. Bahwa sekeras apapun mencoba akan selalu ada cacat yang ditemui, lagi dan lagi. Yang saya khawatirkan adalah kita bisa menjadi sangat muak berusaha keras hanya untuk bertemu kembali dengan kegagalan dan kemudian berubah 180 derajat menjadi orang yang apatis terhadap apapun, seperti seseorang yang pernah saya kenal. Dan saya sangat menyayangkan jika itu terjadi pada banyak orang. Karena mereka sebenarnya adalah orang-orang yang sangat berharga bagi dunia ini.

Saya tidak hendak menjadikan anda pesimis terhadap realita dunia ini. Tapi adalah kenyataan bahwa disamping keindahan dunia, juga ada sisi gelapnya. Dan meskipun manusia diciptakan untuk menjadi "Khalifah Fil Ard", tetapi manusia itu terbatas, sangat terbatas. Hendaknyalah kita menyadari keterbatasan tersebut. Seperti yang pernah saya sebutkan dalam postingan lainnya, menyadari dan menerima keterbatasan bukan berarti kemudian menjadi sama sekali terbatas. Bukan. Tapi dengan kita penerimaan itulah, kita bisa lebih menghargai diri kita sendiri, tidak menuntut berlebihan pada diri sendiri dan menikmati kebahagiaan. Karena bersikap baik terhadap diri sendiri juga amanah dari Tuhan loh. Kita dikasih wadah berupa tubuh ini kan juga harus diperlakukan dengan baik, bukan untuk terus-terusan dituntut dengan hal yang diluar batasnya. 

Saya juga tidak menganggap bahwa dunia ini tidak akan pernah bisa menjadi lebih baik. Saya masih punya harapan untuk itu.Saya pun masih percaya terhadap "fantasi". Hanya saja, akan lebih baik jika kita menyesuaikan impian kita dengan realita. Apa yang dimungkinkan dan yang tidak mungkin. Baru kemudian membangun sebuah "fantasi", impian yang sesuai dengan realitas. Yang mungkin untuk diwujudkan. Yang saya percaya, tempat dimana semua hal akan menjadi sempurna hanyalah 1, yaitu Surga. Bukan di dunia kita saat ini.

Karena, saat kita terlalu tinggi berfantasi, mungkin kita akan terjatuh terlalu keras untuk bisa bangkit lagi saat kita menyadari bahwa kaki kita sudah tidak lagi ada di bumi. Karena itulah, silakan bermimpi setinggi apapun, tapi jangan lupa untuk memijakkan kakimu pada realita.

"Aku belajar tentang Harapan dari Fantasi. Dan aku belajar sejauh mana fantasi dapat terwujud dari dari realita. Realita tempatku mewujudkan Fantasiku. Dan Fantasi tempat aku menyimpan harapan dan 'realita' masa depanku"

K

2 comments

Write comments
14 Januari 2015 pukul 08.44 delete

Menurutku fantasi sbg hiburan..setuju jg klo kdg kita bs dpt contoh dr fantasi

Reply
avatar

Mari bercuap-cuap :D