Kritik Bukan Saran#3 - Etis Dalam Kritik
Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya :
Kritik tidak salah, dan rasa sakit hati muncul karena dikritik pun tidak salah. Siapa yang bisa menyalahkan respon perasaan terhadap suatu hal? Siapa yang bisa menyalahkan orang yang merasa sakit hatinya? Kalau perasaan salah, terus jadi sakit mental gitu kalau ngerasa sakit hati karena dikritik? Tentu saja tidak, saya sendiri yang ngomong begini pun masih cukup kesulitan menangani rasa sakit hati akibat dikritik. Tapi tetap saja, keduanya tidak salah dan ga perlu mencari kambing hitam untuk disalahkan. Terus, harus gimana?
Kritik tidak salah, dan rasa sakit hati muncul karena dikritik pun tidak salah. Siapa yang bisa menyalahkan respon perasaan terhadap suatu hal? Siapa yang bisa menyalahkan orang yang merasa sakit hatinya? Kalau perasaan salah, terus jadi sakit mental gitu kalau ngerasa sakit hati karena dikritik? Tentu saja tidak, saya sendiri yang ngomong begini pun masih cukup kesulitan menangani rasa sakit hati akibat dikritik. Tapi tetap saja, keduanya tidak salah dan ga perlu mencari kambing hitam untuk disalahkan. Terus, harus gimana?
Sekalipun perasaan tidak salah, tetapi ada kalanya memang kita lah
yang harus mengendalikan dan membuat perasaan kita paham saat memang apa yang
disampaikan dalam kritik memang benar dan kita perlu memperbaikinya.
Masalah selanjutnya adalah soal etis dalam menyampaikan kritik. Saya
kira etis dalam menyampaikan kritik tidaklah mengharuskan adanya solusi ataupun
kata-kata manis. Seperti yang teman saya bilang saat kami berdiskusi bahwa ‘Kritik
bukan saran’, dan nyatanya kritik memang isinya paparan kekurangan yang
beralasan – kalau berefek menimbulkan sakit hati ya wajar saja.
Bahkan kritik yang disampaikan dengan kata-kata manis dan solusi pun masih bisa
menimbulkan sakit hati.
Sebagai manusia yang hidup berdampingan, kita punya kewajiban untuk
saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Maka, memang dalam
mengkritik kita harus sebisa mungkin menjaga perasaan si penerima kritik
itu. Tentunya, akan lebih baik jika maksud kritik kita tersampaikan dan
bermanfaat bagi si penerima kritik daripada ia jd berbalik menyerang kita karena
penyampaian kita yang buruk.
Tapi itu bukan berarti mengharuskan menggunakan kata-kata manis nan
indah. Justru menurut saya pribadi, ada kalanya kata-kata manis nan indah jadi
memlintir makna dan malah menyesatkan – yang ke depannya dapat membawa dampak
buruk : menyesatkan anak orang lain. Menurut saya, yang terpenting adalah kita tidak dengan sengaja
“menembakkan” duri dengan lidah kita alias menggunakan kata-kata yang memang
bersifat provokatif dan menyakitkan. Menurut saya, itu sudah memenuhi etis dalam berkomunikasi. Memang, menjadi kewajiban bagi sesama manusia yang hidup berdampingan untuk
saling menjaga satu sama lain, termasuk soal perasaan. Dan yang terpenting
adalah isi dari kritik itu sendiri didasarkan atas alasan/ sebab yg nyata -bukan yg dibuat-buat/dicari-cariin- dan potensi
masalah yang memang nyata cukup besar kemungkinannya terjadi, bukan
diada-adakan.
Intinya, soal mengkritik masing-masing pihak punya tanggung jawab.
Bagi si pengkritik harus memastikan bahwa isi kritikannya memang berdasarkan
kenyataan dan berpotensi menyebabkan masalah – entah sedang terjadi atau belum
terjadi dan pendasaran tersebut harus disampaikan pada yang dikritik sebagai bentuk dari tanggung jawab sang pengkritik. Juga akan sangat jauh lebih baik jika kritik tersebuttidak menyampaikannya dengan cara yang sengaja menyakitkan hati si penerima
kritik, karena tanpa itu pun si penerima kritik alaminya akan merasakan sakit
hati. Dan bagi si penerima kritik, sakit
hati boleh saja tapi bukan berarti kita memperbolehkannya untuk menjadi sopir
dalam menyikapi kritik; kendalikan dan buatlah ia mengerti dan kelola lah emosi
dan kritik yang anda terima menjadi “berlian” yang berguna dan menguntungkan
untuk anda, terlepas dari seberapa besar sakit hati yang ia timbulkan pada diri
anda.
Disini, ada seseorang yang menuliskan tema yang sama dengan saya yang
menyampaikannya dengan bahasa yang lebih “nendang” mengenai constructive criticism atau bisa langsung lihat
artikel lengkapnya di sini
(saya hanya membahas 2 kesalahpahaman tentang constructive critics dari 4 yang
ia jabarkan dalam artikelnya):
“Probably the biggest misconception about "constructive criticism" is
that you have to say something positive, either by giving a compliment or by
telling the person what to do next, because you can't just tell them what not
to do! This is a recipe for a treacly, insincere circle jerk.
Sometimes a person only knows what's wrong. They don't know how to fix
it, but they see something wrong that you didn't see, something you can't see
until they tell you. Why would you make them sit on it until they can come up
with a solution, and let you waste your time going down that wrong path for God
knows how long until they can think of one?
If I see a car streaming smoke, I think it's more urgent to tell them
that it's streaming smoke than it is to do some research to figure out what
could cause it and how to fix it before telling them. If my friend shoots a
short film with the punchline being a guy in blackface, I probably want to tell
him, "Please don't use blackface," before he takes it to the film
festival, even if I can't come up with a replacement joke in time. He's the
goddamn filmmaker, he can come up with his own replacement joke.
As far as adding compliments to your critiques? Sure, there's
benefits. We're not robots. A person is more likely to want to make a change
and move forward instead of curling into a ball and feeling bad if you give
them some hope that their work is worth continuing and improving on. But I
don't think we should be forced to match every negative criticism with a
positive statement. After a while, it becomes obviously forced ("Well, I
like your handwriting here"), which is even more demoralizing than anything
negative.”
Lantas, apakah kita harus selalu menerima kritik, bahkan dalam bentuk ejekan dan hinaan? Lalu, apakah kita tidak berhak untuk membela diri di hadapan kritik? Apakah kita harus selalu mengikuti kritik dari orang lain dan memenuhi ekspektasi mereka terhadap diri kita? Apakah kita tidak berhak untuk menjadi "diri sendiri"?
Tunggu di tulisan selanjutnya.
Lantas, apakah kita harus selalu menerima kritik, bahkan dalam bentuk ejekan dan hinaan? Lalu, apakah kita tidak berhak untuk membela diri di hadapan kritik? Apakah kita harus selalu mengikuti kritik dari orang lain dan memenuhi ekspektasi mereka terhadap diri kita? Apakah kita tidak berhak untuk menjadi "diri sendiri"?
Tunggu di tulisan selanjutnya.