Judge The Book by Its Cover #2 - "Menilai" Itu Pasti
Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
“Don’t Judge The Book by Its Cover”
Itulah peribahasa populer yang hendak kita persoalkan dalam seri pembahasan "Judge The Book by Its Cover". Mengapa saya menghilangkan kata "Don't" dalam peribahasa tersebut? Apakah saya justru menyarankan pada orang lain untuk men-judge orang lain dari covernya?
Untuk memahami alasannya, marilah kita membaca penjelasan marathon saya dalam postingan ini dan posting-posting yang selanjutnya.
Menilai dari sudut
pandang si penilai
Disini saya akan
menggunakan kata ‘menilai’, bukan ‘judge’. Karena saya tidak begitu memahami
istilah dalam bahasa inggris yang menggunakan kata ‘judge’ dalam konteks ini
yang dalam bahasa Indonesia sebenarnya lebih condong pada kata ‘menghakimi’,
padahal kan peribahasa di atas tadi tidak digunakan dalam konteks pengadilan,
dan belum tentu pula ada vonis maupun hukuman yang dijatuhkan semacam yang
terjadi dalam pengadilan.
Pada dasarnya,
aktivitas menilai bagi manusia merupakan aktivitas yang sangat alami terjadi
bagi manusia, bahkan aktivitas ini terus terjadi setiap saat selama manusia itu
“sadar”. Aktivitas menilai ini sangat penting karena merupakan bagian dari
mekanisme bertahan hidup manusia. Agar seseorang bisa bertahan hidup, ia harus
senantiasa menilai, waspada dan tanggap terhadap apa-apa yang ada di
sekitarnya. Hasil penilaian ini akan memunculkan sebuah kesimpulan berupa identifikasi “label” yang membawa bahaya atau
kegunaan, membingungkannya, tidak diketahuinya termasuk hal-hal yang ia anggap
tidak membawa bahaya maupun kegunaan baginya. Bisa dibilang aktifitas penilaian
itu semacam pemetaan lingkungan eksternal bagi manusia. Manusia menggunakan “label-label”
hasil pemetaan ini sebagai dasar untuknya memutuskan tindakan yang akan ia
ambil. Dan aktifitas penilaian ini tidak hanya dilakukan manusia terhadap
benda-benda yang ada di sekitarnya, tetapi juga terhadap manusia-manusia lainnya
– dan sebenarnya juga melakukannya terhadap dirinya sendiri, tapi tidak dibahas
dalam posting kali ini.
Hanya saja proses
penilaian ini tidak selalu dapat tidak sadari karena sudah refleks kita lakukan
setiap saat, entah saat kita sedang melangkah, memakai baju, menyetir, makan,
dan berbagai aktivitas lainnya akan dipenuhi dengan penilaian kita atas
realitas tersebut. Saat kita berjalan, tentu kita akan menilai jalan mana yang
akan “aman” kita lewati Dan jika kita menemui selokan di tengah perjalanan
kita, maka kita dapat refleks menghindar berkat adanya mekanisme penilaian
bahwa selokan tersebut akan membawa “bahaya” bagi kita; proses yang sama juga terjadi
dalam setiap aktivitas lain yang kita lakukan. Justru tanpa aktifitas penilaian semacam ini tentu
kita tidak akan bisa waspada dan menghindar dari apa-apa yang sekiranya akan
membawa bahaya bagi kita, bahkan mungkin kita tidak akan bisa merespon apapun
karena tidak tahu “apa” yang sedang kita hadapi.
Dengan alasan yang sama, aktifitas menilai orang lain
pun akan senantiasa kita lakukan, entah disadari atau tidak disadari. Mungkin
hal ini bisa terlihat bagaimana kita akan refleks menghindar dari orang yang
kita rasa berbahaya bagi kita. Perasaan waspada terhadap orang yang semacam itu
sebenarnya menunjukkan bahwa kita senantiasa menilai orang lain, hanya saja saat
kita menilai bahwa orang yang ada di sekitar kita ini “baik-baik saja” maka
biasanya hasil penilaian tersebut tidak terlalu muncul ke permukaan saat kita
sadar dan membiarkannya berlalu begitu saja.
Sehingga, saya rasa tidak manusiawi jika kita melarang orang lain untuk menilai hanya karena kita tidak ingin salah dinilai tidak sesuai dengan diri kita yang sebenarnya. Dan sebenarnya itu adalah hal yang juga tidak mungkin dilakukan.
Jika memang tidak boleh melarang orang lain untuk menilai diri kita, lalu bagaimana dengan penilaian yang didasarkan hanya dari "kulit luar, "kemasan" atau "cover" ? Apa masih ga boleh juga? Atau boleh?
Penjelasannya akan kita jawab dalam posting yang selanjutnya.
Mari bercuap-cuap :D