Judge The Book by Its Cover #3 Itu Tidak Bisa Dihindari
Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
Aktifitas menilai adalah hal yang pasti kita lakukan sebagai manusia. Tetapi, bagaimana dengan menilai hanya dari "cover" atau kulit luar? Bukankah itu salah karena rawan menyebabkan salah paham?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimanakah proses kita dalam menilai....
Proses Menilai
Yang terjadi
dalam proses penilaian yakni kita menggali informasi, menghubungkan
informasi-informasi yang kita dapatkan hingga kemudian sampai pada kesimpulan
tertentu. Keakuratan hasil penilaian kita bergantung pada tiap proses yang
dilewati tadi. Apabila informasi-informasi yang digunakan sebagai dasar
penyimpulan lengkap, tepat dan benar, maka penilaiannya pun kemungkinannya
benar selama diikuti dengan proses menghubungkan informasi dan penarikan
kesimpulan yang tepat pula.
Namun, kita tidak
selalu bisa mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penilaian itu
dengan lengkap, tepat dan benar. Nyatanya, dalam proses penilaian terhadap
lingkungan sekitar kita seringkali kita hanya mendapatkan informasi sebatas
“permukaan”. Tidak hanya itu, informasi-informasi yang masih sebatas permukaan
ini pun masih belum jelas pula kebenarannya, dan belum tentu
informasi-informasi yang kita gunakan ini memang tepat untuk digunakan sebagai
pijakan dalam penilaian kita. Ini tentu saja akan menyulitkan si penilai untuk
menghasilkan penilaian yang benar dan tepat.
Sebagai contoh:
misalnya
saat di malam hari si A merasa ada orang yang mengawasinya saat ia sedang
berjalan. Saat ia membalikkan badan, ia melihat sekelebat bayangan orang dan
kemudian ia panic sambil berteriak ada orang yang mau menguntitnya. Ternyata di
tak jauh di belakangnya kebetulan ada orang dengan siluet badan yang terkesan
‘sangar’ sedang duduk di belakang pohon dan asyik memakai earphone mendengarkan
musik. Orang-orang yang ada di sekitarnya kemudian mencurigai orang yang
memakai earphone ini sebagai si penguntit dan kemudian membawa mereka ke kantor
polisi.
Si A disini
melakukan penilaian terhadap bayangan yang ia lihat sebagai orang yang hendak
menguntit dirinya. Sayangnya, informasi
yang ia dapatkan tidak cukup lengkap, dan si A sendiri tidak pula memastikan penilaiannya
benar atau tidak terlebih dahulu sebelum “mengumumkannya” pada khalayak ramai.
Tetapi, apa yang dilakukan si A mungkin dapat sedikit dimaklumi apabila
ternyata memang si A itu sering diikuti oleh penguntit dan selama beberapa hari
sebelumnya ia merasa ada yang mengikutinya, apalagi si A memiliki semacam
gangguan kecemasan yang berlebihan. Maka saya kira menjadi agak “wajar” jika si
A bereaksi demikian, meski tidak bisa dibilang pula bahwa apa yang dilakukan si
A adalah hal yang tepat untuk dilakukan.
Yang ingin saya
sampaikan melalui contoh di atas adalah bahwa kita tidak selalu berada di
situasi dimana kita bisa mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan dengan
lengkap, tepat dan benar. Nyatanya, justru situasi yang penuh dengan
keterbatasan informasi lah yang akan sering kita hadapi dalam keseharian kita.
Ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang baru kita temui, bahkan terhadap
orang yang setiap hari kita temui pun belum tentu kita memiliki informasi yang
lengkap mengenai dirinya hingga bisa membuat penilaian yang 100% pasti tepat.
Rasanya cukup sulit untuk bisa mengikuti seseorang 24 jam penuh agar bisa tahu
informasi yang lengkap tentang dirinya, tidak pula kita bisa mengetahui setiap
pemikiran dan perasaan yang ia miliki dalam tiap momen dalam hidupnya. Maka,
saya rasa informasi yang selengkap itu tentang seseorang sangatlah sulit untuk
didapatkan – kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin.
Justru kebanyakan
orang tidak akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya begitu saja dan lebih
memilih untuk menunjukkan “topeng”-nya pada orang lain. Saya tidak berkata
bahwa bertopeng ini adalah hal yang buruk, saya kira “bertopeng” termasuk
mekanisme alami seseorang untuk beradaptasi/menyesuaikan diri dengan lingkungan
di sekitarnya , entah lingkungan masyarakat ataupun alam, yang juga diakibatkan
dari mekanisme pertahanan diri. Bahkan personality pun sebenarnya berasal dari
suatu kata yang berarti topeng. Tapi saya tidak akan membahasnya panjang lebar
dalam postingan ini.
“Buku Yang Tersegel
Seperti halnya
buku yang dijual di toko buku, ada buku-buku yang isinya bisa dibaca oleh orang
lain karena tidak tersegel, namun ada pula buku-buku yang masih tersegel
sehingga untuk memperkirakan kualitas isinya kita hanya bisa menilai dari
covernya, atau dari synopsis dan testimony kalau tersedia di covernya. Begitu
pula manusia, ada yang benar-benar “menyegel” dirinya dari diketahui oleh orang
lain. Akhirnya hanya menyisakan “kemasan/cover” bagi orang-orang yang menilainya.
Jika memang seperti itu apa ya mau kita salahkan orang yang menilai jika hanya
cover saja yang memang kita sediakan bagi mereka untuk dinilai? Apa yang mau dituntut
dari mereka? Karena tidak menilai adalah hal yang cukup tidak mungkin, maka
penilaian yang benar yang dituntut dari mereka? Darimana mereka bisa menilai
yang benar? Haruskah mereka merobek segel dan membukanya dengan paksa sehingga
mereka bisa membaca dan menilai “isi” diri orang yang tadinya tersegel ini dengan
lebih tepat? Apa kita mau diperlakukan demikian? Nyatanya, orang-orang yang ‘tersegel’
ini biasanya tidak mengizinkan ada orang yang merangsek masuk seenaknya ke
dalam dirinya – karena ia akan merasa diserang. Lalu, apa yang diinginkan?
Menuntut mereka untuk menilai dengan benar meski kita sama sekali tidak
memberikan petunjuk informasi yang pantas agar mereka bisa melakukan itu?
Menurut saya, Itu konyol dan egois sekali!
Karena
sesungguhnya itu adalah permintaan yang semena-mena, menuntut orang lain tanpa
memahami kondisi orang tersebut dan memastikan bahwa tuntutannya itu realistis dilakukan
atau tidak. Jika demikian, apakah kemudian kita tidak berhak untuk menuntut
orang lain untuk menilai dengan benar tentang diri kita?
Bahkan sebenarnya, tanpa tersegel pun kita akan secara
insting akan menilai buku dari covernya terlebih dahulu. Misalnya saja saat
kita hendak membaca isi buku tertentu, maka kita akan terlebih dahulu memilih
buku yang sekiranya memiliki “penampilan” yang menarik bagi kita. Maka,
sebenarnya menilai buku dari covernya, atau dengan kata lain menilai orang lain
dari “kulit luar” saja adalah hal yang wajar. Dan menuntut untuk tidak
melakukannya merupakan hal yang agaknya tidak mungkin dipenuhi.
Jadi...
Saya kira adalah hal yang sangat wajar jika seseorang menilai orang lainnya
hanya dari sampulnya. Karena justru situasi semacam inilah yang sering kita temui
dalam keseharian kita dimana informasi yang lengkap, tepat dan benar tentang seseorang
akan sangat sulit kita dapatkan.
Tapi, apa sih yang sebenarnya jadi masalah jika orang lain menilai kita dari "sampul" kita saja? Benarkah menilai orang lain dari "sampul" saja harus dilarang untuk mencegah masalah itu terjadi?
Baca di postingan selanjutnya.
Tapi, apa sih yang sebenarnya jadi masalah jika orang lain menilai kita dari "sampul" kita saja? Benarkah menilai orang lain dari "sampul" saja harus dilarang untuk mencegah masalah itu terjadi?
Baca di postingan selanjutnya.
Mari bercuap-cuap :D