Addicted to Pain

2/04/2016 0 Comments A+ a-

Suatu hari, seseorang pernah menunjukkan foto anggota tubuhnya yang masih mengeluarkan darah karena ia menyilet-nyilet tubuhnya. Maaf, tapi saya tidak bisa menunjukkan foto itu, karena itu foto pribadi dia. Dan lagipula foto itu sepertinya turut hilang bersama dengan hape saya yang hilang.

Saat itu, saya jelas merasa bahwa apa yang ia perbuat adalah salah, tidak seharusnya seperti itu. Tapi hanya itu saja yang dapat saya katakan padanya. Karena saya sendiri cukup bisa mengerti alasan ia melakukan itu.

Ia berkata pada saya, ia melakukan hal itu untuk meringankan rasa sakit lain yang ia rasakan. Rasa sakit ini bukan rasa sakit fisik, meski begitu rasanya lebih menyakitkan daripada rasa sakit fisik, mungkin. Buktinya ia justru menggunakan rasa sakit fisik untuk meringankan rasa sakitnya. Saya memang pernah membaca di komik-komik dan mengerti bahwa dengan memberikan rasa sakit pada tubuhnya sendiri, seseorang dapat mengalihkan fokus rasa sakit yang lain yang lebih parah.

Saya akui, saya sendiri sepertinya memang bukan orang yang sehat wal afiat dalam hal mental. Bukan, maksud saya bukan gila atau yang semacamnya. Hanya saja cara saya dalam menghadapi tekanan saat menghadapi masalah bukan dengan cara yang positif.  Ini mungkin tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh orang itu. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa saya tidak bisa menunjukkan alasan kenapa orang itu tidak boleh menyakiti dirinya sendiri. Meski dengan alasan dan cara yang berbeda, saya bisa mengira apa yang ia rasakan.

Berbeda dengan dia yang menyilet-nyilet tubuhnya, saya melakukannya dengan menahan aktifitas makan saya. Alasannya pun berbeda, saya sering melakukan ini sebagai "hukuman" terhadap diri saya. Biasanya, rasa bersalah dan krisis eksistensi (biar keren, pake istilah yang agak tinggian) yang mendorong saya, entah bagaimana, untuk membuat diri saya jadi "tidak mau" makan. Ada kalanya di saat itu saya masih merasa lapar dan ingin makan sesuatu, hanya saja saya "tidak mau". Ini mungkin terdengar cukup aneh, mau tapi tidak mau. Tapi memang seperti itulah yang sering saya alami. Memang ini bisa saja hanya karena nafsu makan saya yang sedang turun karena sedang ada masalah, tapi saya rasa ada perbedaan antara kehilangan nafsu makan dan saat "addicted to pain" versi saya lagi kumat.

Sebenarnya, dorongan untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang itu juga berkali-kali datang pada saya. Rasanya, melakukan hal seperti itu juga akan sangat melegakan. Godaan untuk melakukannya terkadang sangat kuat. Tapi saya hanya membatasi diri saya untuk memperbolehkan memenuhi dorongan itu hanya dalam sebatas imajinasi, atau maksimal mencubit dan memukul-mukul diri saya sendiri. Well, mungkin saja itu hanya karena saya yang pengecut terhadap rasa sakit sih.

Hanya saja, menurut saya dorongan seperti itu tidak seharusnya dipenuhi. Tapi, memang kenyataannya saya sering tidak berdaya menghadapi dorongan semacam ini. Rasanya, jika saya tidak melakukan hal tersebut mungkin saya akan benar-benar kehilangan akal sehat saya. Dan saya tak tahu cara lainnya yang bisa sukses, lebih baik dan mampu menggantikan cara ini. Tapi, saya tidak ingin kelewatan memanjakan diri saya dengan menuruti semua dorongan itu. Karena entah mengapa, tapi saya rasa saat saya memenuhi semua dorongan itu sepertinya saya tidak akan mampu bangkit lagi bertahan di jalan yang saya pilih, dan saya tidak lagi akan mampu menjadi diri saya yang saya kehendaki. Makanya saya membuat batasan, sejauh manakah saya boleh memenuhi dorongan "addicted to pain" yang saya miliki.

Tapi mungkin cara seperti ini sebenarnya dapat menimbulkan dampak yang lebih parah daripada cara yang digunakan oleh orang itu. Soalnya, kalau luka silet kan kalau udah sembuh selesai, paling-paling ada bekas luka. Bisa parah sih, kalau perawatan luka dan alat yang dipakai ga steril. Tapi, kalau menahan untuk makan dampaknya sebenernya bisa jangka panjang. Misalnya saja seperti Mag saya yang makin waktu makin parah. Meski sepertinya saya bisa memperlambatnya dengan "strategi-strategi" pencegahan dan penanganan tertentu, tapi tetap saja tidak bisa mencegah jangka panjang. Memang sih, dibandingkan dengan teman-teman saya yang Mag-nya parah sampai masuk RS, saya masih belum pernah sih meski tiap hari gejala Mag semacam kelebihan gas lambung saya alami. Oleh sebab itu, sebenarnya saya sendiri tidak benar-benar yakin apakah cara yang saya lakukan ini benar-benar lebih baik dari cara orang itu, atau saya sebenarnya hanya sedang memanjakan diri saya dengan cara lainnya.

Hm... Tapi, untuk saat ini saya masih bisa menekan dorongan ini selama masih belum dalam batas parah pake banget dan saya masih merasa "berarti" untuk tetap hidup.

Mari bercuap-cuap :D