Rasa Bahagia

2/15/2016 0 Comments A+ a-


Beberapa tahun yang lalu, saya pernah membuat postingan “Tentang Bahagia”. Baru-baru ini saya memikirkan kembali tentang makna “bahagia” ini. Tidak, saya tidak hendak mengubah kesimpulan saya saat itu yang menyatakan bahwa bahagia adalah saat dimana kau bisa mensyukuri “keberadaan”-mu di dunia ini, bersyukur bahwa kau telah dilahirkan di tempat dan waktu yang telah kau jalani selama hidupmu. Well, tentu saja rasa bersyukur yang saya maksud ini bukan yang dipaksakan agar tidak menerima karma atau agar tidak jadi orang yang ga tahu bersyukur. Bukan delusi yang kita buat sendiri tentang rasa syukur. Tetapi rasa syukur yang sebenarnya. Saya masih percaya dan mengira bahwa itu adalah hal yang wajar dan seharusnya akan kau lakukan saat kau merasa bahagia. Dan saya masih menggunakan itu sebagai indikator kebahagiaan.

Tapi tampaknya saat itu saya terlalu sok tahu bahwa saya telah dan pernah merasakan bahagia. Paling tidak itulah yang saya rasakan saat ini. Jika memang saya merasakan “rasa bahagia” seperti yang saya tuliskan pada postingan itu, setidaknya saya seharusnya dapat mengingat “rasa” itu bukan? Paling tidak saya pernah merasakan suatu rasa yang disebut “bahagia”. Apakah saya berbohong? Mungkin. Lagipula memang sepertinya sejak kecil saya suka sekali berbohong pada diri sendiri. Sepertinya meski saya berusaha keras untuk melawannya, tetap saja saya tidak bisa bebas dari kebiasaan itu tanpa saya sadari. Mungkin ini sebabnya saya sangat membenci tindakan berbohong pada diri sendiri, sugesti dan semacamnya. Karena saat kebohongan itu menjadi kenyataan bagimu, akan teramat sulit bagimu membedakan antara kebohongan dan kenyataanmu. Dan itu terjadi pada saya. Sekalipun saya berusaha keras untuk lepas darinya, nyatanya saya masih jatuh dalam jeratannya.

Bisa juga sih, saat ini saya lagi down saja, sehingga saya merasa seakan-akan seumur hidup saya tidak pernah merasa bahagia. Entahlah, tapi saya sendiri tidak merasa pernah tahu seperti apa rasanya dan saat-seperti apakah saya merasa bahagia. Memang ada aktifitas-aktifitas yang membuat saya semangat dan senang, tapi biasanya rasa itu juga muncul bersamaan dengan derita. Dan kemudian, kesenangan dan semangat itu akan segera menghilang. Sejauh ini, itulah yang saya rasakan.

Misalnya saja, saat ada orang yang berkomentar di blog ini, bertukar pikiran dengan orang lain, berdebat, menyampaikan ide dan pendapat saya; selalu saja ada rasa khawatir, bimbang, takut, dan bahkan ga jarang disertai dengan sakit perut yang teramat sangat. Saya masih ingat, saat saya berdebat atau bertukar pikiran dengan seseorang di internet, saya mengetiknya sambil menahan rasa sakit perut yang ga keru-keruan. Makanya kadang saya agak kesal saat orang lain beranggapan saya hanya ingin dibenarkan dan tidak menghargai pendapat mereka karena berbuat seperti ini. Seakan-akan saya menikmati “rasa mereka yang merasa direndahkan”. Padahal dalam setiap kata yang saya ketikkan saya harus menahan penderitaan baik fisik dan perasaan.

Tapi, selain itu saya juga tidak bisa menafikkan ada kesenangan yang saya rasakan saat itu. Rasa semangat dan senang ada yang mau menemani saya berdialog, selain monolog-monolog yang biasanya saya lakukan sendiri dalam pikiran saya. Ya, saya memang merasa senang, sangat senang. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa kesenangan itu diiringi dengan penderitaan dalam arti yang sebenarnya, bukan dalam arti bahagia yang silih berganti dengan penderitaan atau hukum sebab akibat antara bahagia dan penderitaan (aka pengorbanan).

Itukah yang dinamakan kebahagiaan?

Saya sendiri selama ini hanya menamakan rasa-rasa seperti itu dengan “kesenangan”/ “pleasure”, bukan “kebahagiaan”/”happiness”. Karena setahu saya, setidaknya saat membaca buku atau menonton film, yang dinamakan kebahagiaan sepertinya lebih dari itu. Rasanya kebahagiaan digambarkan seakan-akan penderitaan tidak lagi menjadi masalah, seakan “rasa menderita” itu telah terhapus oleh kebahagiaan.

Terkadang saya merasa mungkin saja gambaran bahagia yang ada dalam buku dan film itu hanyalah ilusi. Mungkinkah hal seperti itu ada?

Lalu, apakah itu artinya tidak seharusnya kita mengharapkan adanya kebahagiaan di dunia ini?

Ataukah memang apa yang saya sebut dengan kesenangan itu sebenarnya sama dengan kebahagiaan? Cuma saya saja yang sok “berpikir mendalam” dan membeda-bedakannya? Entahlah. Tapi jika memang itu benar, maka sepertinya sesuatu yang bernama kebahagiaan tidaklah se-“Wah” dan “mewah” yang selama ini digambarkan oleh orang-orang. Dan, sekali lagi, itu juga berarti gambaran yang terdapat dalam film dan buku hanyalah ilusi yang dibuat manusia semata. Atau mungkin saya saja yang terlalu tinggi harapannya dalam memaknai kebahagiaan dari buku dan film yang saya baca dan lihat.

Mari bercuap-cuap :D