Judge The Book by Its Cover #6 - Menilai Sesuai Kadar

11/16/2016 0 Comments A+ a-

Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
4. Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer
5. Judge The Book by Its Cover #5 - Tanggung Jawab Pihak Yang Dinilai

Meski sepanjang postingan Judge The Book by Its Cover ini saya lebih banyak menekankan bahwa melarang orang lain untuk menilai diri kita dari "sampul" saja  adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan karena sesungguhnya sebagian tanggung jawab dari hasil penilaian orang lain terhadap kita juga ada pada diri kita sendiri. Tapi itu bukan berarti pihak yang menilai boleh bebas menilai kita tanpa berhati-hati dengan penilaiannya sendiri.

Aktivitas menilai orang lain dari “kulit luar” memang hal yang tidak bisa dihindari, tapi bukan berarti semua orang bebas menilai sesuka hatinya. Saya kira hal yang seringkali kita lalaikan saat menilai adalah kesadaran kita terhadap proses penilaian yang kita lakukan, apakah setiap proses yang kita lewati memang merupakan hasil penilaian yang tepat atau ternyata kita telah menjadi korban keteledoran pikiran dan perasaan kita sendiri. Karena itulah, sangat penting untuk menjaga agar tetap bersikap sesuai "kadar"-nya, baik dalam proses menilai maupun memutuskan respon kita terhadap hasil penilaian tersebut.

Berikut ini hal-hal yang menurut saya harus diperhatikan saat menilai, terutama yang dibahas dalam kasus ini adalah dalam hal menilai orang lain:

ü  Melabeli opini sebagai fakta
Ada kalanya kita menyatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan hasil pikir kita sebagai fakta. Seperti misalnya dalam contoh kasus berikut ini:

Si A sedang tidak sengaja melihat si B memegang pisau yang berlumuran darah. Sedangkan, di samping si B terdapat si C yang terbujur kaku bermandikan darah. Si C yang mengetahui ini kemudian bercerita pada si D, E, F, dan seterusnya bahwa ia menyaksikan bahwa si B membunuh sih C.

Cerita di atas adalah contoh dimana si A menganggap opininya sebagai fakta. Sebenarnya, yang disaksikan si C bukanlah adegan dimana si B membunuh si C, melainkan si B memegang pisau yang berlumuran darah sedangkan si C terbujur kaku juga berlumuran darah di samping B. Anggapan si B yang membunuh si C merupakan kesimpulan si A dari melihat situasi yang demikian. Sebenarnya yang menjadi fakta disini bukanlah kesimpulan A atas situasi tersebut, melainkan situasi itu sendirilah yang menjadi faktanya.

Saya kira dalam situasi yang demikian seharusnya si A menyebutkan terlebih dahulu fakta yang benar-benar ia lihat, setelah itu barulah ia menyampaikan pendapatnya mengenai fakta yang baru saja ia lihat.

Kita harus membiasakan untuk benar-benar ketat dalam membedakan manakah yang benar-benar fakta dan yang mana yang merupakan kesimpulan yang kita tarik dari fakta tersebut atau dengan kata lain : opini kita.

ü  Menyimpulkan berlebihan dari apa yang bahan baku penilaian yang tersedia.
Tidak hanya membedakan fakta dan opini, kita juga seringkali lalai dalam menarik kesimpulan dari informasi yang kita miliki tentang sesuatu hal. Seringkali kita menganggap sesuatu hal sudah pasti, padahal sesungguhnya hal tersebut masih berupa kemungkinan. Ada kalanya pula kita menganggap semua orang adalah sama hanya berdasar penilaian kita terhadap orang-orang yang ada dalam lingkungan pergaulan tertentu, padahal di seluruh dunia ini ada berbagai macam orang dengan berbagai karakternya yang sangat mungkin berbeda dengan yang kita kenal selama ini.

Dalam contoh kasus sebelumnya misalnya, saya kira tidak cukup jika si A hanya menyatakan langsung bahwa menurut pendapatnya si B adalah orang yang membunuh si C. Seharusnya, si A mengukur apakah informasi dan bukti yang ia miliki cukup lengkap untuk menyimpulkan bahwa si B adalah pembunuh si C. Ini untuk mengukur kualitas kepastian dan kevalidan dari hasil penilaian kita tersebut. Sehingga jika ini diterapkan dalam kasus A, B, C, D, E dan F tadi, maka berdasarkan data yang dimiliki si A, maka kesimpulan yang layak ditarik adalah “menurut saya (si A), ada KEMUNGKINAN si B adalah pembunuh si C”.

Dalam permisalan lainnya, ada kalanya kita seringkali menarik berbagai prediksi dan perkiraan liar hanya dari beberapa fakta atau opini yang ada. Semisal ada si D bilang bahwa si E itu lelaki yang sikapnya lembut, eh ternyata si F bilangnya : ga Cuma lembut tetapi menurutnya si E itu kecewek-cewekan lah, sapa tau dia itu sebenarnya jiwanya perempuan, eh terus bilang mungkin dia lebih baik jadi transgender terus bilang lagi kalau dia sukanya ama sesama berjenis kelamin laki-laki! Serius, penarikan kesimpulan yang semacam ini bahaya. Salah-salah bisa jadi fitnah yang menghancurkan hidup seseorang! Kasihan kan kalau si E nanti jadi dijauhin cewek karena dikira ga minat dengan mereka (contohnya ga bermaksud menyinggung siapapun ya... hanya permisalan....)

Karena itulah, sangat penting untuk menekankan pada diri kita sendiri mana yang merupakan kesimpulan yang valid dan mana yang merupakan kesimpulan tak berdasar serta seberapakah kadar kepastiannya agar penilaian kita tidak menjadi malapetaka bagi yang kita nilai dan tidak pula menambah dosa kita karena menyampaikan berita yang sesungguhnya tidak berdasar, melainkan hanya diakibatkan dari “angan” kita yang berlebihan. Padahal sebenarnya kita juga punya tanggung jawab yang besar lho dalam setiap perkataan kita.

***

Sejauh ini, saya kira mungkin 2 poin di atas cukup mewakili yang saya sebut dengan menilai sesuai dengan kadar. Tetapi, apakah hanya dengan menilai dengan kadar saja sudah cukup untuk bisa menghasilkan penilaian yang tepat?

Kita bahas dalam postingan selanjutnya.

Mari bercuap-cuap :D