Judge The Book by Its Cover #5 - Tanggung Jawab Pihak Yang Dinilai
Agar tidak salah paham, lebih baik membaca utuh seri posting ini:
4. Judge The Book by Its Cover #4 - Menyoal Peribahasa Populer
Aktifitas menilai
hanya dari cover seringkali tidak bisa dihindari, Menuntut orang lain untuk
senantiasa menilai kita dengan hasil yang benar juga merupakan permintaan yang
berlebihan, dan menilai orang hanya dari “kulit luar”-nya pun merupakan hal
yang salah. Lalu, kita harus bagaimana? Sepertinya apapun yang kita lakukan dan
harapkan adalah hal yang salah kalau berurusan dengan soal nilai-menilai ini.
Itu tidak sepenuhnya benar. Dalam hal nilai-menilai, baik pihak yang dinilai maupun pihak yang menilai keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab. Sebagai pihak penilai, hendaklah mendasarkan penilaiannya pada "kadar" yang tepat (akan kita bahas dalam posting selanjutnya). Sedangkan, sebagai pihak yang dinilai, hendaknya kita menyadari betul keinginan dan tuntutan kita terhadap orang lain tentang sejauh mana mereka harus memahami atau minimal tidak salah paham terhadap diri kita.
Mungkin senada dengan pesan yang sering diucapkan oleh Bang Napi bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tetapi juga ada kesempatan. Maka soal kesalahan dalam penilaian ini pun tidak hanya bisa terjadi karena si penilai yang berniat buruk pada kita, atau karena keteledoran mereka saja, tetapi bisa juga jadi terjadi karena kita lah yang memberi orang lain "kesempatan" untuk melakukannya. Dengan demikian, sekalipun yang melakukan tindakan menilai adalah orang lain, jangan lupa bahwa kita juga punya porsi tanggung jawab terhadap keinginan dan tuntutan kita pada orang lain tersebut. Seperti apakah yang saya sebut dengan bertanggung jawab terhadap keinginan dan tuntutan kita sendiri dalam tulisan ini?
Tanggung Jawab sebagai pihak yang dinilai
Kita tidak bisa melarang orang lain untuk menilai hanya dari kulit luarnya
saja, tidak pula kita bisa menuntut mereka untuk bisa langsung selalu menilai
dengan benar diri kita hanya dari kulit luarnya saja. Apalagi untuk orang-orang yang
“tersegel” sehingga sumber informasi yang didapatkan tentang mereka sangat
terbatas, tentu bukan menjadi hal yang aneh jika ada yang salah menilai
mereka. Tidak ada cara bagi orang lain untuk bisa mengetahui
diri kita sebenarnya kecuali jika ia menguntit kita 24 jam dan mampu membaca
tiap pikiran dan perasaan kita – yang saya kira adalah hal yang justru makin
bikin kita ga nyaman dan itu juga merupakan hal yang cukup tidak mungkin.
Karena itulah, kita sebagai pihak yang dinilai juga berbagi tanggung jawab
dengan para penilai jika kita ingin mereka menilai diri kita dengan lebih tepat dan
benar. Tanggung jawab ini berupa menampilkan “cover” yang sesuai dengan apa
yang membuat mereka tidak salah paham terhadap kita. Semisal jikalau kita tidak
ingin dinilai sebagai orang gila dan sejatinya kita memang bukan orang gila, maka janganlah berpakaian dan berperilaku sama dengan
orang gila kecuali jika kita sudah siap menanggung konsekuensi dinilai
orang lain sebagai orang gila.
Jikalau kita masih bersikeras
untuk menampilkan “cover” yang tidak sesuai dengan sejatinya diri kita, maka
jangan hanya menyalahkan mereka jika mereka jadi salah paham terhadap kita. Karena
sebenarnya kita juga berbagi kesalahan dengan mereka karena “menyodorkan”
informasi yang tidak tepat kepada mereka sebagai bahan baku penilaian mereka.
Jangan pula menuntut mereka untuk memperlakukan kita sesuai dengan yang
seharusnya - yang sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, karena penilaian mereka bukan didasarkan atas informasi yang tidak menggambarkan diri kita yang sesungguhnya. Sudah sewajarnya perlakuan yang tepat lahir dari penilaian
yang tepat pula. Sedangkan penilaian yang tidak tepat juga sewajarnya akan
menghasilkan perlakuan yang tidak tepat
Sejujurnya bagi saya, butuh
waktu yang cukup lama bagi saya sendiri untuk menerima fakta bahwa saya juga berbagi
tanggung jawab tentang penilaian orang lain terhadap diri saya. Karena
sebelumnya saya selalu berlindung di balik peribahasa “Don’t Judge The Book
From Its Cover”, sangat sulit rasanya berbagi tanggung jawab atas kesalahan
penilaian orang lain dengan saya (yang merasa) sebagai korban. Tapi dalam interaksi
antar manusia, dalam setiap aktivitasnya, masing-masing manusia yang terlibat
juga berbagi tanggung jawab dan tidak adil jika melimpahkan tanggung jawab tersebut pada salah satu pihak saja. Saat menyadari hal itu, saya harus mengakui kesalahan dalam pemikiran saya dan berusaha bersikap adil pada mereka – yaitu dengan menempatkan tanggung jawab sesuai kadarnya dan menyalahkan pun sesuai dengan kadar kesalahan masing-masing bukan melimpahkan kesalahan pada orang lain hanya karena saya tidak ingin menjadi pihak yang salah. Meski butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk menerima itu, setelah saya berusaha mencari pembelaan bahwa saya tidak salah, bahwa ini adalah sepenuhnya tanggung
jawab si penilai. Karena itulah, saya mau tidak mau menerima kenyataan bahwa saya juga harus
bertanggung jawab atas “cover” yang saya sodorkan sebagai bahan penilaian untuk
orang lain, atau setidaknya mau menanggung konsekuensi dan resiko apabila saya
tetap kekeuh tidak mau menyodorkan “cover” yang "tepat" dan membuat orang lain
menilai saya dengan salah.
Yang Harus Tanggung Jawab Tidak Melulu Hanya Sang Pelaku
Mungkin pendapat saya tentang berbagi tanggung jawab ini terkesan agak aneh. Karena seakan-akan kita juga turut bertanggung jawab terhadap perilaku orang lain terhadap kita. Tapi saya pikir dalam interaksi sosial masing-masing pihak juga memiliki "peran"-nya tersendiri terhadap apa-apa yang terjadi di dalam interaksi tersebut. Karena itulah, masing-masing harusnya memang memiliki tanggung jawab dalam kadar tertentu. Sebab, bisa jadi tindakan orang lain terjadi karena kita lah yang memicunya, lah kalau begitu masa' kesalahannya mau dilimpahkan hanya pada si pelaku seorang? Padahal kita juga turut urun kesalahan dalam masalah tersebut?
Mungkin, kita terbiasa mengkotak-kotakkan antara korban dan pelaku. Bahwa sebagai pelaku, yang mereka miliki hanyalah kesalahan dan sebagai korban yang mereka miliki hanyalah "ketidakberdayaan". Sebagai korban dari orang lain yang salah menilai, maka kita merasa tidak berdaya terhadap penilaian mereka, bahwa kesalahan itu sepenuhnya adalah tanggung jawab mereka. Padahal sekalipun kita adalah "korban", bukan berarti ia sama sekali tak berdaya. Saya kira bersembunyi dari ketidakberdayaan adalah tindakan pengecut. Baik itu "korban" maupun "pelaku", kita sama-sama manusia. Manusia yang punya potensi kemampuan membela dan melindungi diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri sendiri agar tidak melakukan tindakan yang menimbulkan masalah. Tinggal bagaimana kita mengelola dan melatih potensi kemampuan yang kita miliki tersebut.
Mungkin pendapat saya tentang berbagi tanggung jawab ini terkesan agak aneh. Karena seakan-akan kita juga turut bertanggung jawab terhadap perilaku orang lain terhadap kita. Tapi saya pikir dalam interaksi sosial masing-masing pihak juga memiliki "peran"-nya tersendiri terhadap apa-apa yang terjadi di dalam interaksi tersebut. Karena itulah, masing-masing harusnya memang memiliki tanggung jawab dalam kadar tertentu. Sebab, bisa jadi tindakan orang lain terjadi karena kita lah yang memicunya, lah kalau begitu masa' kesalahannya mau dilimpahkan hanya pada si pelaku seorang? Padahal kita juga turut urun kesalahan dalam masalah tersebut?
Mungkin, kita terbiasa mengkotak-kotakkan antara korban dan pelaku. Bahwa sebagai pelaku, yang mereka miliki hanyalah kesalahan dan sebagai korban yang mereka miliki hanyalah "ketidakberdayaan". Sebagai korban dari orang lain yang salah menilai, maka kita merasa tidak berdaya terhadap penilaian mereka, bahwa kesalahan itu sepenuhnya adalah tanggung jawab mereka. Padahal sekalipun kita adalah "korban", bukan berarti ia sama sekali tak berdaya. Saya kira bersembunyi dari ketidakberdayaan adalah tindakan pengecut. Baik itu "korban" maupun "pelaku", kita sama-sama manusia. Manusia yang punya potensi kemampuan membela dan melindungi diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri sendiri agar tidak melakukan tindakan yang menimbulkan masalah. Tinggal bagaimana kita mengelola dan melatih potensi kemampuan yang kita miliki tersebut.
Dan dalam konteks ini sebagai "korban" yang dinilai pun, kita masih punya "daya" yang dapat mempengaruhi hasil penilaian itu. Maka hendaknya, kita juga harus bertanggung jawab terhadap keinginan kita agar tidak salah dinilai dengan daya yang kita miliki tersebut, yakni daya untuk mengatur diri kita agar "kulit luar" kita juga menjadi "pengantar singkat" bagi orang lain untuk menilai kita.
Tunjukkan Cover Yang Jujur, Bukan Versi "PHP"
Mengenai “cover” ini bukan soal menuruti apa yang dianggap “baik” dan normal oleh orang lain dan masyarakat, bukan pula berusaha untuk menghias "cover" diri kita agar tampak baik di depan orang lain. Melainkan menampilkan diri kita sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, bukan membuat “cover” yang sama sekali tidak mewakili “isi” diri kita. Karena cover yang tidak sesuai isinya pada akhirnya akan membawa pada kekecewaan, dan saya kira hidup dengan cara yang demikian sangat melelahkan. Kalau saya sih, ga mau seumur hidup saya melakukan hal yang melelahkan dan "pointless" semacam itu.
Menurut saya, fungsi cover dalam konteks ini bukan hanya agar orang lain terkesan. Lebih dari itu, cover adalah "pengantar" yang akan membawa orang lain untuk mengenal diri kita yang sesungguhnya. Cover atau sampul sejatinya harus pula mewakili secara jujur bagaimana isi dari apa yang dilingkupinya, jika tidak bisa jadi "PHP" dong... Padahal pasti pada ga mau kan di-"PHP"-in melulu? Bikin kecewa, betul ga sih? Makanya, ga seharusnya juga kita "PHP"-in orang lain dengan "cover" yang tidak sesuai dengan "isi" diri kita yang sebenarnya.
Tunjukkan Cover Yang Jujur, Bukan Versi "PHP"
Mengenai “cover” ini bukan soal menuruti apa yang dianggap “baik” dan normal oleh orang lain dan masyarakat, bukan pula berusaha untuk menghias "cover" diri kita agar tampak baik di depan orang lain. Melainkan menampilkan diri kita sesuai dengan diri kita yang sesungguhnya, bukan membuat “cover” yang sama sekali tidak mewakili “isi” diri kita. Karena cover yang tidak sesuai isinya pada akhirnya akan membawa pada kekecewaan, dan saya kira hidup dengan cara yang demikian sangat melelahkan. Kalau saya sih, ga mau seumur hidup saya melakukan hal yang melelahkan dan "pointless" semacam itu.
Menurut saya, fungsi cover dalam konteks ini bukan hanya agar orang lain terkesan. Lebih dari itu, cover adalah "pengantar" yang akan membawa orang lain untuk mengenal diri kita yang sesungguhnya. Cover atau sampul sejatinya harus pula mewakili secara jujur bagaimana isi dari apa yang dilingkupinya, jika tidak bisa jadi "PHP" dong... Padahal pasti pada ga mau kan di-"PHP"-in melulu? Bikin kecewa, betul ga sih? Makanya, ga seharusnya juga kita "PHP"-in orang lain dengan "cover" yang tidak sesuai dengan "isi" diri kita yang sebenarnya.
***
Jika kita juga yang harus bertanggung jawab atas penilaian orang lain, Apakah ini berarti semua orang bebas menilai orang lain tanpa ada batasan apapun? Bagaimana dengan tanggung jawab si penilai?
Ini akan kita bahas dalam posting yang selanjutnya.
2 comments
Write commentsSetiap orang punya sudut pandang sendiri-sendiri, dan itulah letak masalahnya. Kita tak bisa membatasi atau mengontrol apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Saya kira, selama kita melakukan hal yang benar--yang mungkin sebaliknya dipirkan oleh orang lain, maka ada baiknya dibiarkan saja mereka berfantasi ria.
ReplyPilihannya ada pada masing2 individu. Jika mau menanggung konsekuensi lebih sering disalahpahami y silakan tidak peduli dg 'cover' anda.
ReplyKalau ingin menanggung maka bertanggung jawablah dg keinginan itu, tidak cuma protes.
Itu poinnya. Soal nanti orang bisa berpikir dg cara berpikirnya sendiri, itu mmg kita ga bisa sepenuhnya mengendalikan keputusannya, itu memang benar. Tapi jangan lupa bahwa kita juga turut memasukkan input terhadap penilaian mereka terhadap kita, maka di ranah itulah kita bisa berusaha untuk memenuhi keinginan qt untuk lebih meminimalkan salah paham terhadap kita.
Tapi jika enggan repot-repot berusaha seperti itu, maka jangan protes atau marah ketika disalahpahami karena 'cover' kitalah yang membuat mereka berpikir demikian, terutama jika ternyata cover itu memang wajar menimbulkan persepsi/penilaian yang bikin salah paham. Sehingga, ya silakan kalau mau membiarkan asal rela pula untuk menanggung konsekuensinya ^^
Tulisan ini tidak bertujuan agar orang tidak salah paham terhadap kita, tapi untuk mengurangi intensitasnya, belajar bertanggung jawab terhadap keinginan kita sendiri tentang penilaian orang lain terhadap diri kita dan menanggung konsekuensi dari pilihan bersikap kita saat kita memilih untuk tidak terlalu memperdulikan soal 'cover' ^^
Mari bercuap-cuap :D