Kehilangan Yang Paling Menakutkan

1/14/2016 0 Comments A+ a-

28 Oktober 2010, pagi-pagi di kos-an saya menerima telepon dari bibi saya di Jambi, entah ada angin apa,ia bertanya tentang kabar ayah saya. Tak lama kemudian, bibi saya yang lain dari keluarga ibu saya menelepon saya dan meminta saya untuk segera pulang saat itu juga. Padahal seingat saya sebelumnya tidak pernah mereka menelepon saya. Dan mereka berdua menelpon dengan suara yang menunjukkan rasa sangat khawatir. Beruntung sehari sebelumnya ujian akhir saya telah tuntas, pikir saya saat itu.


Selama perjalanan pulang saya bertanya peristiwa apakah yang jadi pemicu kejadian tak biasa ini? Pasti kejadian tak biasa pula. Sambil menyetir saya sedikit bercanda dengan diri saya, jangan-jangan seperti di sinetron gitu saat pulang disapa dengan "tenda hijau" dan banyak orang di rumah saya. Entah apakah itu firasat atau apa, tapi itu semakin menjadi nyata saat saya melihat sendiri pemandangan itu di depan mata saya sendiri. Ya, ternyata yang saya pikirkan jadi kenyataan, hari itu ayah saya meninggal karena kecelakaan.

***

Jika ditanya, kehilangan terbesar apakah yang saya alami, mungkin inilah kehilangan terbesar itu. Kehilangan ayah saya yang juga membawa banyak perubahan dalam kehidupan saya. Tapi, beriringan dengan kehilangan ini ada pula kehilangan lainnya yang semakin menjadi nyata. Salah satu kehilangan yang paling menakutkan bagi saya : "Kehilangan Sisi Kemanusiaan"

Bukan, yang saya maksud kehilangan sisi kemanusiaan ini bukan menjadi makhluk tak biadab seperti yang terdapat dalam film atau sinetron. Yang saya maksud kemanusiaan disini adalah kehilangan "rasa" yang umumnya dimiliki oleh manusia, yang seharusnya dimiliki oleh manusia.

Sewajarnya, saat seseorang kehilangan anggota keluarganya ia akan berduka dan bersedih karena kehilangannya. Tapi sejujurya yang paling membuat saya rasakan dan menjadi penyebab saya menangis saat itu bukan sedih karena kehilangan ayah saya, melainkan kekhawatiran apa yang akan terjadi selanjutnya sepeninggal ayah saya. Mungkin menjadi sedikit wajar jika kami punya hubungan yang buruk, tapi nyatanya kami tidak punya hubungan buruk, kami hanya tidak memiliki hubungan "dekat". Paling tidak itulah yang saya rasakan tentang hubungan ayah dan saya. Dan saya pikir itu bukanlah alasan yang "pantas" bagi saya untuk tidak merasakan duka yang mendalam atas kehilangan ini.

Padahal, sekalipun ada kemungkinan bahwa ayah saya saat ini bukanlah ayah kandung saya dan hubungan kami tidak terlalu dekat. Tetap saja ayah yang saya tahu hanyalah dia dan saya cukup tahu betapa keras dirinya berusaha untuk membesarkan saya dan mempertahankan keluarganya. Saya saat itu berkata bahwa saya benar-benar tidak tahu diri jika saya justru merasa seperti ini, seakan saya tidak menganggap segala keberadaan, usaha, kasih sayang dan pengorbanannya selama ini. Kemudian, justru perasaan inilah yang semakin membebani diri saya, dan sekali lagi : bukan rasa sedih karena kehilangan ayah saya, melainkan perasaan hina sebagai manusia tak tahu diri.

Saya merasa sangat "tidak manusiawi" soal ini. Ketakutan saya sejak lama bahwa saya "bukan manusia" yang sama dengan yang lain seakan menjadi nyata saat itu. Entah sejak kapan, mungkin SD atau SMP, saya mulai bertanya tentang apa itu rasa sayang dan apakah saya menyayangi keluarga saya. Nyatanya saya tak pernah dapat menjawab pertanyaan itu. Rasa sayang yang sepertinya dan seharusnya muncul secara alami terhadap anggota keluarga, saya tidak tahu bagaimana rasanya dan tidak tahu pula apakah saya memilikinya untuk keluarga saya. Sebenarnya masih banyak rasa-rasa lainnya yang sangat sulit saya rasakan, yang tidak akan dibahas dalam postingan ini.

Saya memang pernah menyukai seseorang, dan saat itu saya cukup gembira karena ternyata saya pun manusia yang bisa merasakan kasih sayang. Saya kira "kecacatan" saya itu sudah sembuh. Tapi peristiwa ini justru membuktikan bahwa saya salah. Saya masih sangat cacat sebagai manusia, cacat karena saya tidak bisa merasakan perasaan "sayang".

Berkat perasaan-perasan ini saya berusaha sebisa mungkin agar bisa merasa sedih karena ayah saya. Dan berusaha untuk menunjukkan lewat status di media sosial agar bisa sebagai pengingat saya bahwa saya "harus" merasa sedih. Sayangnya ilusi yang saya buat kali ini gagal membohongi diri saya sendiri. Saya tetap tidak bisa merasakan "sedih" yang mendalam yang harusnya saya rasakan.

Kembali saya merasa hina karena perasaan saya. Saya bersedih cukup dalam, bukan karena kehilangan ayah saya tapi karena kecacatan saya sendiri. Begitu egois, kan? Saya cuma bisa menangis dan bersedih atas aib saya sendiri. Karena itulah, saya tidak lagi ingin mengijinkan saya bersedih dan menangis karena perasaan ini. Jika saya tidak merasa cukup sedih atas kehilangan ayah saya, maka saya juga tidak boleh memanjakan diri saya dengan meluapkan begitu saja kehinaan yang saya rasakan dengan bersedih dan menangis. Saya rasa itu "hukuman" yang pantas untuk saya. Paling tidak hingga saya menemukan penyebabnya.

Hingga saat ini, Kehilangan ini adalah salah satu kehilangan yang paling menakutkan bagi saya : "kehilangan rasa sebagai manusia". Mungkin karena itulah, saya mencoba mengingatkan dan berusaha meyakinkan diri saya bahwa saya adalah manusia, manusia yang seharusnya juga bisa "merasa" sama seperti manusia-manusia lainnya. Karena jika bukan manusia, lalu apakah gerangan diri saya ini?

Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway bertema "Kehilangan" by Elisa dan Firman

Mari bercuap-cuap :D