Tampilkan postingan dengan label Me. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Me. Tampilkan semua postingan

Please, I Want to Give Up

Please, Please
I want to give up
Let me give up
Please....

I cant bear this pain anymore
I cant bear this hatred anymore

Why should i be born??
Why should i exist??

I hate my existence!!
I am so sick of myself!!
Why should i live, if i can only be bother, burden and even toxic for others?

I m tired
Tired to fight myself
Tired to prove, only to meet a series of failures
Tired to meet my powerlessness and stupidity, again and again
Everything i did was futile

I wish i could just be disappear
I wish something could happen and erase my existence

"> \ _ _      M3!!!!"
28 - 9 - 2017

Baru Paham

Suatu malam di masa SMP saya, saat saya pulang, masih dengan seragam sekolah. Tiba-tiba pak satpam yang biasa menjaga di depan perumahan memanggil saya.

Pak Satpam: "Hey, hati-hati lho. Kemaren barusan ada kasus anak cewek dilecehkan di jalan kembar situ. Soalnya disana gelap. Makanya jangan pulang malam-malam, sendirian lagi"

Kira-kira semacam itulah pesan yang disampaikan seorang satpam pada saya beberapa tahun lalu.

Saat itu saya bingung, apa maksud si pak satpam bercerita kisah itu pada saya, tiba-tiba. Karena saya tidak pernah mendengar desas-desus seperti yang disampaikan pak Satpam. Dan selama saya pulang, sekalipun cukup malam, dan jalan sendirian biasanya sih aman-aman saja. Jarang juga ada anak-anak cowok yang kumpul, atau cangkruk disana saat itu.

Meski saya mengiyakan si pak satpam, tapi saya masih setengah percaya kisah si pak satpam. Jadi, saya masih terus melanjutkan aktifitas saya seperti biasa, yang bikin saya jadi sering pulang malam, sambil masih bertanya-tanya tentang kebenaran kisah yang disampaikan pak satpam dan apa maksud si pak satpam cerita begitu pada saya.

Setelah belasan tahun kemudian barulah saya paham maksud si pak satpam cerita begitu ke saya. Sepertinya beliau sedang memberi warning pada saya tentang bahayanya pulang malam sendirian. Apalagi saya cewek dan masih SMP amat lewat cerita itu. Mungkin beliaunya berharap saya jadi takut atau was-was dan mencoba agar tidak pulang malam. Tapi sepertinya saya gagal paham, dan gagal pula kisahnya bikin saya mengubah kebiasaan saya pulang malam.

Dan, yang bikin saya ga habis pikir. Kenapa butuh waktu belasan tahun buat saya untuk paham maksud si pak satpam coba?? *LoLa Ekstrim

"Fine"

Banyak kutipan yang menyatakan bahwa saat seseorang mengatakan dia baik-baik saja aka "fine", sebenarnya itu bukanlah makna yang sebenarnya. Kata "fine" seringkali digunakan untuk menutupi rasa sakit yang dirasakan, bahkan pula untuk menyembunyikan keinginan agar ada orang yang mengulurkan tangan untuk menolongnya.

Saya tidak begitu paham, mengapa banyak orang yang menyatakan hal yang berbeda dari apa yang ia rasakan, bahkan dari apa yang sebenarnya ia inginkan. Meski dalam kamus saya, "fine" memang tidak selalu berarti semua sepenuhnya dalam kondisi baik-baik saja. Tapi, bagi saya "fine" berarti saya memahami apa yang sedang saya hadapi, dan saya siap menanggung resiko serta menjalani konsekuensi dari pilihan saya. Saya berkata "fine", karena saat saya berkata demikian, artinya saya telah menetapkan pada diri saya bahwa saya harus melalui itu. Meski bukan berarti saya tidak akan mengeluh, kesakitan, merasa kesulitan, atau hampir putus asa. Tapi, entah bagaimana, saya harus melaluinya, itulah yang saya tekankan pada diri saya.

Dan saya tidak begitu suka berbohong tentang apa yang saya rasakan. Setidaknya, saya tidak ingin melakukannya lagi. Karena menurut saya pribadi, tidak ada yang bisa didapatkan dari sikap seperti itu. Dan, agaknya kita kurang bertanggung jawab pada diri dan keinginan kita sendiri jika kita berpura-pura seakan semua baik-baik saja padahal tidak demikian, padahal sebenarnya kita mengharapkan bantuan orang lain. Bagi saya, saat anda tidak baik-baik saja dan mengharapkan bantuan orang lain, bentuk dari tanggung jawab terhadap diri dan keinginan kita sendiri adalah dengan mengakuinya dan menyatakan pada orang lain bahwa kita memang memerlukan bantuan.

Saya ingin belajar untuk jujur dan bertanggung jawab pada diri saya sendiri dengan memilih sikap seperti ini. Karena itulah, saat saya benar-benar merasa tidak bisa "fine" saya tidak menyatakan saya baik-baik saja, tapi jadi panik.... #eaaa...

Yah, saya memang belum expert soal mental sih. Tapi setidaknya inilah proses belajar saya ^^

Rasa Kebersamaan

Sebenernya saya sering berusaha menghindari pengaruh perasaan dalam menilai sesuatu, dan dalam bertindak. Karena dalam pandangan saya, seringkali perasaan dapat mempengaruhi penilaian menjadi berat sebelah. Meski memang ga bisa dipungkiri sih perasaan itu juga jadi elemen yang penting untuk bisa menghasilkan penilaian yang "adil". Tapi itu masalah yang mungkin akan kita bahas di lain posting.

Sekalipun saya berusaha untuk menjaga sikap yang demikian, tapi ada satu rasa yang sulit saya hindari pengaruhnya pada aktifitas makan. Jadi saya seringkali merasakan sensasi makanan terasa enak justru saat makan bersama.

Pernah suatu saat saya makan sup*rmie rasa ayam bawang bareng-bareng sama teman. Padahal mie yang dimakan cuman sebungkus doang, tapi rasanya enak banget. Nah, pas saya coba makan sendiri di rumah, rasanya biasa saja. Waktu itu saya merasa aneh, kok bisa ya??

Ga cuma itu, pas kecil saya itu anti sama makanan pedes. Waktu sikat gigi yang rasa mint aja saya sampe nangis. Tapi berkat tradisi makan rujak bareng keluarga waktu kumpul-kumpul hari raya idul fitri, saya jadi suka banget sama makanan pedas. Bahkan makanan kalau ga pedas rasanya hambar buat saya.

Mungkin, makanan yang saya makan terasa enak bukan hanya karena makanannya enak, tapi "rasa kebersamaan" itu yang bikin makin enak. Mungkin ini salah satu dari langkanya "rasa" yang tidak bisa saya hindari pengaruhnya dalam penilaian dan tindakan saya.

Kritik Bukan Saran #6 - Cara Saya Menghadapi Kritik

Jika belum membaca artikel sebelumnya, lebih baik membaca artikel yang sebelumnya : 
Di postingan sebelumnya saya berjanji akan berbagi tentang cara saya menghadapi kritik. Sebenarnya postingan ini juga bermaksud ingin curhat dan menjelaskan mengapa saya bersikap demikian saat dikritik. Karena saya kira tidak jarang ada orang yang salah paham tentang cara saya merespon kritik-kritik dari mereka.

Disini saya tidak beranggapan bahwa cara yang saya gunakanlah yang paling benar dan diikuti oleh semua orang. Cara yang saya pilih ini merupakan cara yang bagi saya, saya nilai sebagai yang terbaik yang dampaknya saya harapkan dan konsekuensinya mampu saya tangani.

Sebelum melangkah lebih jauh tentang penjelasan cara saya, ada hal yang harus dipahami mengenai apa yang saya harapkan dari diri saya sebagai bagian dari konsep diri saya. Saya berkeinginan untuk menjadi seseorang yang selalu berusaha menjaga untuk tetap berperilaku sesuai dengan yang seharusnya dengan apa yang saya miliki (tapi, saya yang sekarang masih sangat jauh dari harapan saya ini). Dari sini, saya menentukan sikap terhadap 2 macam kritik, yakni :

  • · Kritik dalam bentuknya kritik
Umumnya, orang yang menyampaikan kritik semacam ini dapat diajak untuk berdialog lebih dalam mengenai kritik yang ia sampaikan. Karena itulah, saya akan cenderung kritis terhadap sebab, tujuan dan pendasaran dari kritik yang ia sampaikan. Jika perlu, saya akan memberikan pendasaran mengenai penyikapan atau rupa karya saya. Kemudian, apabila masih dirasa perlu untuk diperbaiki maka saya akan menanyakan alasannya.  Jika memang saya tidak lagi punya pendasaran yang memang layak digunakan maka barulah saya akan mempertimbangkan untuk berubah.

Itu saya lakukan agar saya paham betul maksud dari kritiknya, memastikan bahwa tidak ada salah paham di antara kami #halah, dan juga sebagai obat sakit hati saya karena kritik tersebut. Maksudnya, dengan mengetahui bahwa kritik itu memang layak untuk diikuti dan saya butuh untuk benar-benar paham bahwa kritik itu memang benar untuk bisa menaklukkan ego saya.

Well, memang ribet dan sepertinya saya terlalu cerewet terhadap orang yang sudah berniat baik untuk memberikan kritik pada saya. Tetapi bagi saya, saat kita mengkritik kita haruslah bertanggung jawab dan pendasaran-pendasaran yang saya tuntut dari mereka lah bentuk dari tanggung jawab kritik tersebut. Jadi saya kira adalah hal yang wajar meminta pertanggungjawaban ini dari pernyataan mereka. 

Sebenarnya tidak hanya soal kritik, tanggung jawab itu juga harus ada dalam setiap pernyataan yang kita keluarkan. Tanggung jawab di sini adalah soal pendasaran dari apa yang kita sampaikan dan konsekuensinya. Sehingga, tidak seharusnya kita asbun terus sembunyi apabila ternyata pernyataan kita menimbulkan masalah.

  • · Kritik dalam bentuk ejekan
Berbeda dengan sebelumnya, biasanya orang yang mengkritik dalam bentuk ejekan tidak memiliki niat yang cukup baik hingga mau untuk berbagi pendasaran atas kritiknya. Tapi satu hal yang agaknya cukup jelas dari ejekan itu bahwa ada kekurangan yang ia lihat dari diri kita hingga ia bisa memanfaatkan celah tersebut untuk mengejek kita. Karena itulah, saya akan berusaha berempati dengan perspektif-nya dalam melihat saya sebisa mungkin. Kemudian mencari tahu apa yang ia lihat hingga ia mengejek saya demikian, setelahnya baru saya mencari tahu sebab ia memandang saya demikian agar tahu motifnya mengkritik saya – apakah hanya sekedar ungkapan dari kekesalan yang memuncak atau hendak menjatuhkan saya. 

Dan jangan lupa untuk memastikan apakah ejekan tersebut memang cukup beralasan atau hanya dibuat-buat. Jika memang itu cukup alasan dan saya mampu dan memang harus mengubahnya maka saya akan berusaha untuk memperbaiki diri atau karya saya.

***

Hal yang selanjutnya yang mungkin diperlukan untuk bisa benar-benar menerima dan menindaklanjuti sebuah kritik adalah waktu. Tidak bisa dipungkiri, ada kalanya sekalipun sebuah kritikan itu memang benar adanya, tetapi saya masih saja berusaha untuk membela dan membenarkan diri saya.Ada kalanya memang saya tidak bisa menahan dorongan untuk membenarkan diri sendiri. Tapi bagi saya sendiri, tidak peduli apakah pada saat berkomunikasi saya menerima atau menolak sebuah kritikan, tetap saja saya harus memikirkan kembali kritik yang saya terima tersebut. Karena biasanya saat saya awal kali berhadapan dengan kritik, emosi juga turut campur mempengaruhi respon saya terhadap kritik itu. Karena itulah, saya perlu kembali memproses kritik tersebut di saat emosi saya sudah tenang. Dengan begitu, saya akan bisa menilai kritik itu dengan lebih netral. Memang sih, saya seringkali jarang menyampaikan hasil penerimaan saya ini secara langsung pada si pengkritik, karena saya tidak tahu juga apakah hal seperti ini cukup penting untuk diulas lagi.

Meski begitu, menerima dan menindaklanjuti kritik saya kira memang sama sekali bukan hal yang mudah. Biasanya, sekalipun saya membenarkan kritik dari orang lain, sangat sulit untuk menundukkan ego saya untuk benar-benar menindaklanjuti kritik tersebut dan tidak membiarkannya sebagai angin lalu saja. Biasanya saya memerlukan waktu yang cukup lama untuk itu. Karena saya perlu berdebat dulu dengan "ego-ego" saya dan membuat mereka mengerti bahwa perubahan itu harus dilakukan. Tidak hanya itu, biasanya juga saya harus mencapai dan menyiapkan mekanisme "kompensasi" bagi ego saya. Karena tanpa "kompensasi" tersebut biasanya perubahan yang saya paksakan akan membawa efek balik yang lebih buruk dari sebelumnya. Kompensasi yang saya maksud disini bukan semacam "guilty pleasure", melainkan lebih pada penyaluran dorongan-dorongan dalam diri saya, sehingga dorongan tersebut tidak tertekan semakin di dalam karena saya menilainya sebagai sesuatu yang buruk tetapi saya berusaha untuk tetap menyalurkannya dalam bentuk yang lain. Contohnya, saat kesal saya cenderung menuliskan apa yang saya rasakan untuk menyalurkan emosi saya itu.

Singkat kata, sekalipun menerima dan menindaklanjuti memang bukan selalu hal yang mudah untuk dilakukan, tapi itu jauh lebih mudah daripada harus menanggung dampaknya jika kita tidak mengindahkan kritik tersebut. 

Belajar Tersenyum

Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat saat pertama kali saya belajar tersenyum.

Sepertinya, saya belajar tersenyum saat saya berumur 5 tahun. Saya ingat hari itu adalah perayaan hari ulang tahun saya. Dan hanya pada umur itu saja ulang tahun saya pernah dirayakan. Jadi, saya cukup yakin kejadian yang saya ingat ini terjadi di hari itu.

Layaknya di momen-momen istimewa pasti orang-orang ingin mengabadikan momen itu dalam foto, begitu pun orang tua saya. Nah, pas foto-foto itu lah saya diminta untuk tersenyum. Saya yang ngga paham apa itu yang namanya senyum tentu saja bertanya apa itu tersenyum. Orang tua saya bilang sih kayak tertawa, trus aku coba untuk ketawa. Eh, ternyata salah. Beberapa kali orang tua dan saudara-saudara saya mencoba menjelaskan pada saya, tapi saya tetap tidak mengerti. Terakhir, ada yang bilang pada saya, "sama kayak sikat gigi, yang keliatan giginya gitu lho." Ya saya ikuti saja instruksi itu. Sepertinya mereka masih kecewa, tapi mereka bilang itu masih mending soalnya lebih mirip dengan senyuman daripada sebelumnya. Dan akhirnya saya berfoto dengan ekspresi tersenyum macam itu.

Kesimpulan saya waktu itu soal tersenyum : "Tersenyum itu ternyata lebih susah daripada ketawa. "

Wajar saja sih, saya lebih mengenal realitas ketawa lebih dulu daripada tersenyum. Dan mengingat untuk tersenyum aja harus dikoreksi beberapa kali, dan yang terakhir pun hasilnya ga memuaskan.

Setelah mengingat soal ini, saya jadi makin merasa hal-hal yang sepertinya mudah dan alaminya dimengerti oleh orang lain, ternyata memang sulit saya pahami. Dan itu sudah terjadi sejak kecil.

Mungkin sejak saat itu saya mulai belajar bagaimana tersenyum dan akhirnya jadi mengerti bagaimana tersenyum itu, tapi memang ga sampa ahli sih.