Salahkah Bahagia itu?

4/09/2011 0 Comments A+ a-



 Aku adalah anak pertama di keluargaku. Sebelum adik-adikku lahir, aku tinggal di sebuah rumah gedhek (gubuk) kecil yang dikontrak oleh orang tuaku. Aku yang memang memiliki fisik lemah dan sakit-sakitan, dan statusku yang masih anak tunggal, begitu dimanjakan oleh orang tuaku. Sebagai anak tentu saja aku menikmatinya. Meskipun aku tidak dapat mengingat dengan persis perasaan yang aku rasa saat itu.


Setelah adikku lahir, tiba-tiba semuanya berubah. Ya, aku yang awalnya dimanja, tiba-tiba saja dituntut untuk menjadi kakak. Memang, keadaan ekonomi keluargaku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kami juga memiliki rumah yang lebih besar. Kami pindah ke daerah pedesaan, yang cukup jauh dari kota. Tetapi, tetap saja, keadaan ekonomi kami tidak selalu stabil. Seringkali, orang tuaku berkata bahwa aku harus memaklumi jika adikku lebih dimanja daripada aku, karena sebelumnya, selama 7 tahun, aku telah dimanja dan menikmati masa kecilku dengan jalan-jalan ke tempat-tempat wisata di kotaku. Aku tahu, dan aku mencoba membuat diriku mengerti. Aku menahan segala keinginanku yang berlebihan, demi adikku.

Namun, tanpa kusadari, kata-kata itu telah membuatku merasa bahwa kebahagiaanku dulu  adalah dosa. Kenapa? Karena hanya aku yang merasakannya, sedangkan adikku tidak. Tidak adil bukan? Karena itu, aku berusaha untuk menahan kebahagiaanku sendiri. Tanpa kusadari, sepertinya kata-kata itu juga membangun persepsi baru dalam diriku, bahwa kebahagiaan dengan sendirinya juga akan membawa kesengsaraan. Karena itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlalu terlena dalam kebahagiaan, tidak terlalu menikmati kebahagiaan.

Sedikit demi sedikit, perhatian yang kudapatkan berkurang. Tetapi, kembali aku memaksakan diriku untuk mengerti alasannya. Ya, aku anak pertama, dan itu adalah hal yang wajar. Tetapi, sebagaimanapun aku mencoba untuk menerimanya, tetap saja, aku saat itu adalah seorang anak yang butuh perhatian dan ingin diperhatikan. Terjadi tarik menarik, antara hasrat dan kebutuhanku dengan apa yang aku usahakan agar diriku mengerti. Kepribadianku berkembang jadi aneh, begitu kata orang tuaku. Aku cenderung lebih menyendiri, menghabiskan waktu hanya untuk menonton tv. Aku sepertinya kehilangan ketertarikanku pada dunia di sekitarku. Aku jadi pemberontak. Aku jadi “menopeng” di depan teman-temanku.
 
Mungkin, jauh di dalam hatiku aku iri pada adikku. Tetapi, aku juga tahu tidak seharusnya aku iri.
Tidak, aku tidak membenci adanya adikku, bukan pula aku iri dengan mereka.  Aku hanya ingin mendapatkan perhatian dari orang tuaku, itu saja. Aku berharap orang tuaku dapat  mengerti aku, dan segala yang kulakukan.

Hanya karena beberapa kalimat, yang diucapkan saat kecil, hanya karena itu saja, tetapi dapat membuat luka yang permanen di dalam diriku. Luka itu sepertinya tidak pernah benar-benar hilang, karena telah terpatri di dalam kepribadianku. Luka itu, luka yang telah membuatku benar-benar berubah, mungkin hampir 180 derajat. Luka yang membuatku melupakan rasanya  bahagia, bahkan hingga saat ini. Luka yang membuatku takut untuk menjadi bahagia. Luka yang membuatku seakan benar-benar melupakan diriku, juga semua perasaan  yang dulu pernah kurasakan, saat aku masih menjadi anak tunggal. Semua ingatanku pada masa itu tercecer dan saling tercampur.

Aku tahu, mungkin saja aku yang berlebihan, mungkin saja, aku yang terlalu sensitif. Tetapi, aku juga tahu 1 hal, bahwa anak-anak lainnya dapat merasakan hal yang sama, hanya dalam kadar yang berbeda dan cara mengekspresikan yang berbeda pula.

Jangan Remehkan
 Sering kali kita meremehkan kekuatan kata-kata hanya karena kata-kata itu seakan simpel, dan hanya dikatakan pada anak kecil. Kita lupa, bahwa anak-anak itu sangat sensitif. Mungkin, ia tidak dapat mengerti apa yang dikatakan orang dewasa, tetapi ia dapat merasakannya. Dan, segala yang terjadi pada masa kanak-kanak sangat berpengaruh bagi hidupnya secara menyeluruh. Karena pada masa kanak-kanak lah kita belajar, dan mampu merekam banyak hal. Karena itu, tidak semua peristiwa menyakitkan atau traumatik saat anak-anak dapat hilang begitu saja hanya karena waktu yang berlalu.

Seringkali, kita meremehkan anak-anak bahwa mereka akan mengerti seiring berjalannya waktu. Bahwa mereka hanyalah anak-anak, yang dapat “disetir”, yang dapat kita kendalikan.Bahwa kita adalah yang paling tahu yang terbaik baginya. Tapi, jangan lupa anak-anak itu memiliki semangat dan energi yang besar. Jangan lupa, bahwa anak-anak memahami dunia dalam pemikiran mereka yang polos, di mana keceriaan mereka berasal.

Ia tidak akan menyerahkan keceriaannya begitu mudah. Tidak seperti orang dewasa, yang mungkin sudah muak untuk berjuang untuk kecerian karena terlalu banyak terjebak oleh kemelut realitas. Ia tidak akan begitu mudahnya menyerahkan dirinya untuk disetir orang lain, karena semangat dan energi mereka yang melimpah. Tidak seperti orang dewasa, yang mungkin sudah lelah untuk berjibaku dengan realitas .

Memang, kita hidup lebih lama darinya. Memang kita lebih tahu asam manis kehidupan. Memang , kita tahu lebih banyak hal darinya. Tapi, kita tidak lebih tahu tentang dirinya daripada dirinya sendiri, sekalipun ia hanyalah anak-anak.

Mungkin, ia tidak begitu saja memperlihatkan emosinya dengan gamblang. Bukan karena ia takut, ia hanya sangat menyayangi kita dan tidak ingin melukai kita. Ia memang bukan aktor, tapi dapat melakukannya demi orang-orang yang mereka sayangi. Perasaan tarik-menarik antara 2 hal yang berbeda dalam dirinya akan memicu konflik di dalam dirinya. Mungkin konflik itu tidak akan muncul begitu saja saat kejadian itu terjadi. Seringkali terakumulasi, hingga entah kapan akan meluap. Semua itu jelas akan mempengaruhi perkembangan dan hidupnya hingga tua.

Sebuah Drama Asia

Bread, Love and Dreams


Di film ini diceritakan tentang kakak beradik (anggap saja seperti itu), di mana sang kakak hidup terpisah dari ayahnya. Ia juga tidak tahu mengenai keberadaan ayahnya, yang ternyata pemilik sebuah perusahaan roti yang sangat kaya dan terkenal. Sang kakak hidup dalam keadaan yang serba terbatas, sedangkan sang adik hidup dengan dikelilingi oleh harta dan dimanja dengan berbagai layanan dan fasilitas yang tersedia di rumahnya.

Dalam perkembangannya, si ayah yang akhirnya bertemu dengan si kakak, merasa sangat bersalah karena telah membiarkan anaknya hidup dalam keadaan kekurangan, sedangkan ia hidup mewah dengan rumahnya yang begitu megah. Sedangkan, si adik yang kaget dan tidak terima si kakak yang tiba-tiba datang dan mendapatkan segalanya. apalagi si ayah begitu menyayangi si kakak, bahkan terkesan lebih menyayangi si kakak daripada dirinya yang jauh lebih lama bersama ayahnya.

Satu hal yang kurasa, mirip dengan yang pernah kualami. Saat si adik kesal karena seberapapun kerasnya ia mencoba untuk disayangi dan diakui kemampuannya oleh ayahnya, ia merasa bahwa ayahnya tidak sekalipun memperlakukannya sama seperti ayahnya memperlakukan si kakak. Ia ingin diakui dan dicintai oleh ayahnya. Tetapi, saat mengatakan hal itu, justru ayahnya menjawab bahwa sang kakak itu telah sekian lama hidup menderita, sedangkan ia seumur hidup telah hidup dengan mewah, dan dimanja.

Kata-kata itu benar-benar menohok si adik. Dan benar-benar menjadi pukulan yang sangat berat baginya, yang membuatnya muak untuk berusaha “sebaik mungkin”, dan cenderung ingin membalas dendam atas segala yang pernah dirasakannya. Karena, saat itu ia merasa, ia tidak akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan yang didapatkan kakaknya, karena ia telah “bahagia”. Ya, “kebahagiaan “ itu seakan merenggut “kasih sayang” ayahnya. Kata-kata itu tidak membuatnya mengerti, tapi membuatnya sangat terluka, karena usahanya selama bertahun-tahun sia-sia untuk hal yang tidak bisa ia dapatkan.

Itu adalah hal yang menarikku untuk tetap melihat drama asia ini, “Bread,Dream and Love”. Meskipun, aku tidak terlalu suka jalan ceritanya yang terlalu mengistimewakan pemain utama. Selain itu jalan ceritanya sepertinya “terlalu cepat, terjadi begitu saja”, terasa tidak alami dan tidak logis. Tapi, aku ingin tahu akhirnya, bagaimanakah mereka menyelesaikan permasalahan itu. Meskipun endingnya tidak benar-benar happy ending, dan meskipun tidak begitu menjawab pertanyaanku itu, tetapi drama ini tetep asyik untuk ditonton.

Bahkan, bagi seorang yang sudah berumur belasan sekalipun, hal itu sangatlah menyakitkan, lalu bagaimana bagi anak-anak? Karena itu, jangan pernah mengatakan seakan anak-anak lah yang salah atas yang mereka dapatkan.


Mari bercuap-cuap :D