Salahkah Bahagia itu?
Aku adalah
anak pertama di keluargaku. Sebelum adik-adikku lahir, aku tinggal di sebuah
rumah gedhek (gubuk) kecil yang dikontrak oleh orang tuaku. Aku yang memang
memiliki fisik lemah dan sakit-sakitan, dan statusku yang masih anak tunggal,
begitu dimanjakan oleh orang tuaku. Sebagai anak tentu saja aku menikmatinya.
Meskipun aku tidak dapat mengingat dengan persis perasaan yang aku rasa saat
itu.
Setelah
adikku lahir, tiba-tiba semuanya berubah. Ya, aku yang awalnya dimanja,
tiba-tiba saja dituntut untuk menjadi kakak. Memang, keadaan ekonomi keluargaku
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kami juga memiliki rumah yang lebih besar.
Kami pindah ke daerah pedesaan, yang cukup jauh dari kota. Tetapi, tetap saja,
keadaan ekonomi kami tidak selalu stabil. Seringkali, orang tuaku berkata bahwa
aku harus memaklumi jika adikku lebih dimanja daripada aku, karena sebelumnya,
selama 7 tahun, aku telah dimanja dan menikmati masa kecilku dengan jalan-jalan
ke tempat-tempat wisata di kotaku. Aku tahu, dan aku mencoba membuat diriku
mengerti. Aku menahan segala keinginanku yang berlebihan, demi adikku.
Namun, tanpa
kusadari, kata-kata itu telah membuatku merasa bahwa kebahagiaanku dulu adalah dosa. Kenapa? Karena hanya aku yang
merasakannya, sedangkan adikku tidak. Tidak adil bukan? Karena itu, aku
berusaha untuk menahan kebahagiaanku sendiri. Tanpa kusadari, sepertinya
kata-kata itu juga membangun persepsi baru dalam diriku, bahwa kebahagiaan
dengan sendirinya juga akan membawa kesengsaraan. Karena itu, aku berusaha sebisa
mungkin untuk tidak terlalu terlena dalam kebahagiaan, tidak terlalu menikmati
kebahagiaan.
Sedikit demi
sedikit, perhatian yang kudapatkan berkurang. Tetapi, kembali aku memaksakan
diriku untuk mengerti alasannya. Ya, aku anak pertama, dan itu adalah hal yang
wajar. Tetapi, sebagaimanapun aku mencoba untuk menerimanya, tetap saja, aku
saat itu adalah seorang anak yang butuh perhatian dan ingin diperhatikan.
Terjadi tarik menarik, antara hasrat dan kebutuhanku dengan apa yang aku
usahakan agar diriku mengerti. Kepribadianku berkembang jadi aneh, begitu kata
orang tuaku. Aku cenderung lebih menyendiri, menghabiskan waktu hanya untuk
menonton tv. Aku sepertinya kehilangan ketertarikanku pada dunia di sekitarku.
Aku jadi pemberontak. Aku jadi “menopeng” di depan teman-temanku.
Mungkin,
jauh di dalam hatiku aku iri pada adikku. Tetapi, aku juga tahu tidak
seharusnya aku iri.
Tidak, aku tidak membenci adanya adikku, bukan pula aku iri dengan mereka. Aku hanya ingin mendapatkan perhatian dari
orang tuaku, itu saja. Aku berharap orang tuaku dapat mengerti aku, dan segala yang kulakukan.
Hanya karena
beberapa kalimat, yang diucapkan saat kecil, hanya karena itu saja, tetapi
dapat membuat luka yang permanen di dalam diriku. Luka itu sepertinya tidak
pernah benar-benar hilang, karena telah terpatri di dalam kepribadianku. Luka
itu, luka yang telah membuatku benar-benar berubah, mungkin hampir 180 derajat.
Luka yang membuatku melupakan rasanya
bahagia, bahkan hingga saat ini. Luka yang membuatku takut untuk menjadi
bahagia. Luka yang membuatku seakan benar-benar melupakan diriku, juga semua
perasaan yang dulu pernah kurasakan,
saat aku masih menjadi anak tunggal. Semua ingatanku pada masa itu tercecer dan
saling tercampur.
Aku tahu,
mungkin saja aku yang berlebihan, mungkin saja, aku yang terlalu sensitif.
Tetapi, aku juga tahu 1 hal, bahwa anak-anak lainnya dapat merasakan hal yang
sama, hanya dalam kadar yang berbeda dan cara mengekspresikan yang berbeda
pula.
Jangan Remehkan
Sering kali
kita meremehkan kekuatan kata-kata hanya karena kata-kata itu seakan simpel,
dan hanya dikatakan pada anak kecil. Kita lupa, bahwa anak-anak itu sangat
sensitif. Mungkin, ia tidak dapat mengerti apa yang dikatakan orang dewasa,
tetapi ia dapat merasakannya. Dan, segala yang terjadi pada masa kanak-kanak
sangat berpengaruh bagi hidupnya secara menyeluruh. Karena pada masa
kanak-kanak lah kita belajar, dan mampu merekam banyak hal. Karena itu, tidak
semua peristiwa menyakitkan atau traumatik saat anak-anak dapat hilang begitu saja
hanya karena waktu yang berlalu.
Seringkali,
kita meremehkan anak-anak bahwa mereka akan mengerti seiring berjalannya waktu.
Bahwa mereka hanyalah anak-anak, yang dapat “disetir”, yang dapat kita
kendalikan.Bahwa kita adalah yang paling tahu yang terbaik baginya. Tapi,
jangan lupa anak-anak itu memiliki semangat dan energi yang besar. Jangan lupa,
bahwa anak-anak memahami dunia dalam pemikiran mereka yang polos, di mana
keceriaan mereka berasal.
Ia tidak
akan menyerahkan keceriaannya begitu mudah. Tidak seperti orang dewasa, yang
mungkin sudah muak untuk berjuang untuk kecerian karena terlalu banyak terjebak
oleh kemelut realitas. Ia tidak akan begitu mudahnya menyerahkan dirinya untuk
disetir orang lain, karena semangat dan energi mereka yang melimpah. Tidak
seperti orang dewasa, yang mungkin sudah lelah untuk berjibaku dengan realitas .
Memang, kita
hidup lebih lama darinya. Memang kita lebih tahu asam manis kehidupan. Memang ,
kita tahu lebih banyak hal darinya. Tapi, kita tidak lebih tahu tentang dirinya
daripada dirinya sendiri, sekalipun ia hanyalah anak-anak.
Mungkin, ia
tidak begitu saja memperlihatkan emosinya dengan gamblang. Bukan karena ia
takut, ia hanya sangat menyayangi kita dan tidak ingin melukai kita. Ia memang
bukan aktor, tapi dapat melakukannya demi orang-orang yang mereka sayangi.
Perasaan tarik-menarik antara 2 hal yang berbeda dalam dirinya akan memicu
konflik di dalam dirinya. Mungkin konflik itu tidak akan muncul begitu saja
saat kejadian itu terjadi. Seringkali terakumulasi, hingga entah kapan akan
meluap. Semua itu jelas akan mempengaruhi perkembangan dan hidupnya hingga tua.
Sebuah Drama Asia
Bread, Love and Dreams |
Di film ini
diceritakan tentang kakak beradik (anggap saja seperti itu), di mana sang kakak
hidup terpisah dari ayahnya. Ia juga tidak tahu mengenai keberadaan ayahnya,
yang ternyata pemilik sebuah perusahaan roti yang sangat kaya dan terkenal.
Sang kakak hidup dalam keadaan yang serba terbatas, sedangkan sang adik hidup
dengan dikelilingi oleh harta dan dimanja dengan berbagai layanan dan fasilitas
yang tersedia di rumahnya.
Dalam
perkembangannya, si ayah yang akhirnya bertemu dengan si kakak, merasa sangat
bersalah karena telah membiarkan anaknya hidup dalam keadaan kekurangan,
sedangkan ia hidup mewah dengan rumahnya yang begitu megah. Sedangkan, si adik
yang kaget dan tidak terima si kakak yang tiba-tiba datang dan mendapatkan
segalanya. apalagi si ayah begitu menyayangi si kakak, bahkan terkesan lebih
menyayangi si kakak daripada dirinya yang jauh lebih lama bersama ayahnya.
Satu hal
yang kurasa, mirip dengan yang pernah kualami. Saat si adik kesal karena
seberapapun kerasnya ia mencoba untuk disayangi dan diakui kemampuannya oleh
ayahnya, ia merasa bahwa ayahnya tidak sekalipun memperlakukannya sama seperti
ayahnya memperlakukan si kakak. Ia ingin diakui dan dicintai oleh ayahnya.
Tetapi, saat mengatakan hal itu, justru ayahnya menjawab bahwa sang kakak itu
telah sekian lama hidup menderita, sedangkan ia seumur hidup telah hidup dengan
mewah, dan dimanja.
Kata-kata
itu benar-benar menohok si adik. Dan benar-benar menjadi pukulan yang sangat
berat baginya, yang membuatnya muak untuk berusaha “sebaik mungkin”, dan
cenderung ingin membalas dendam atas segala yang pernah dirasakannya. Karena,
saat itu ia merasa, ia tidak akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan
yang didapatkan kakaknya, karena ia telah “bahagia”. Ya, “kebahagiaan “ itu
seakan merenggut “kasih sayang” ayahnya. Kata-kata itu tidak membuatnya
mengerti, tapi membuatnya sangat terluka, karena usahanya selama bertahun-tahun
sia-sia untuk hal yang tidak bisa ia dapatkan.
Itu adalah
hal yang menarikku untuk tetap melihat drama asia ini, “Bread,Dream and Love”.
Meskipun, aku tidak terlalu suka jalan ceritanya yang terlalu mengistimewakan
pemain utama. Selain itu jalan ceritanya sepertinya “terlalu cepat, terjadi
begitu saja”, terasa tidak alami dan tidak logis. Tapi, aku ingin tahu
akhirnya, bagaimanakah mereka menyelesaikan permasalahan itu. Meskipun
endingnya tidak benar-benar happy ending, dan meskipun tidak begitu menjawab
pertanyaanku itu, tetapi drama ini tetep asyik untuk ditonton.
Bahkan, bagi
seorang yang sudah berumur belasan sekalipun, hal itu sangatlah menyakitkan,
lalu bagaimana bagi anak-anak? Karena itu, jangan pernah mengatakan seakan
anak-anak lah yang salah atas yang mereka dapatkan.
Mari bercuap-cuap :D