Obrolan Diri
Dulu, aku selalu meributkan, siapa aku? siapa diriku yang sebenarnya. Yang mana? Apakah aku yang suram? Apakah aku yang tertawa girang di depan teman-temanku? Apakah, aku yang tersipu malu saat temanku memujiku? aku yang benci dengan semua hal di sekitarku? Aku yang "mengkonyolkan" diriku sendiri agar orang-orang tertawa? Ataukah, aku yang dengan membabi buta marah, membentak pada orang-orang di sekitarku? Siapakah aku? Yang manakah yang merupakan sisi sebenarnya dari diriku.
Sampai akhirnya aku menemukan, sebuah sosok manusia yang paling menjijikkan, paling jahat, dan paling munafik yang ada di dunia ini. Itu bukan orang lain, melainkan aku. Ya, aku sendiri, bukan orangtuaku, bukan temanku, bukan pula para penjahat dan politikus yang aku lihat di tv. Bukan siapa-siapa, itu aku.
Selanjutnya, selalu dan selalu memandang rendah dan meremehkan diriku sendiri. Aku bodoh, aku jahat, aku munafik, dan lain sebagainya. Hanya, agar aku berubah, tidak lagi menjadi orang paling menjijikkan di dunia ini. Ya, aku menolak diriku sendiri sedemikian rupa.
Tapi, aku salah. Justru dengan seperti itu aku mendapatkan diriku semakin dan semakin menjijikkan. Terlempar ke dasar jurang kenistaan. Tanpa memiliki apapun, kebanggan atau apapun itu. Aku ingin menghilang, tidak ada, lebur dalam ketiadaan. Aku muak dengan perkataan indah yang sering dilontarkan orang lain, motivasi dan lain sebagainya sudah tidak mempan padaku. Bagiku, itu semua hanya omong kosong. Tidak pernah benar-benar terjadi pada diriku. Hanya sekumpulan kata-kata indah di luar nyata.
Lambat laun, mulai aku menemukan, semakin banyak sisi kelam dalam diri manusia. Semua orang, bahkan mungkin juga orang yang dianggap paling suci di dunia ini pun sama saja.
Aku mulai meragukan Tuhan, mempertanyakan tentang-Nya, meragukan ke-"ada"-an-Nya.
Bagiku, semua itu absurd. Benar salah, baik buruk, bijaksana dan tolol.
Dunia ini, kutemukan penuh kepalsuan, penuh kontradiksi.
Aku meragukan segalanya, orang-orang di sekitarku, kata-kata motivasi, kebenaran, kebijaksanaan, dunia, Tuhan, bahkan diriku sendiri.
Semua kata indah, nyatanya tidak pernah menjadi nyata. Hanya goresan indah, penghibur hati di kala duka.
Aku mulai muak dengan kata "baik", "bijaksana", "pandai", dan kata-kata lainnya, yang selama ini dipercaya sebagai "mulia".
Semua kata itu, nyatanya hanya digunakan sebagai kata-kata politis. Agar orang lain mau menjadi yang mereka inginkan, untuk menyindir, atau malah "menghina" saja.
Suara-suara dalam diriku pun semakin kencang berkicau. Membuatku semakin membenci dunia. Tapi, tahukah kau? Dirikulah yang akhirnya, menjadi orang yang paling kubenci di dunia ini. Karena ketidakberdayaanku, karena pikirku sendiri yang membuatku menjadi semakin hilang kepercayaan pada dunia.Tidak, tidak hanya dunia, tapi juga pada Tuhan.
Aku hilang kepercayaan. Aku lupa apa rasanya dan bagaimana "percaya" itu. Atau, entah juga kalau memang aku pernah merasakan sesuatu yang disebut "percaya" itu. Aku pun tak tahu bagaimana agar diriku mau percaya.
Tapi, kini aku menyadari. Menolak diriku bukanlah solusi. Menyalahkan, meremehkan, merendahkan, ataupun menghina diriku sendiri bukanlah solusinya. Dan, semua itu tidak pernah menjadi solusi memang. Saat itu, aku hanya lari. Lari, karena tidak ingin menerima "kenistaan" diriku. Namun, tetap saja, ia semakin mengejar diriku, menghantui hidupku.
Yang kemudian, aku sadari bahwa, diriku yang selama ini kuanggap "nista", sebenarnya hanyalah ingin agar dirinya diterima. Suara-suara itu, berharap agar didengar, bukan ditolak. Mereka ingin, ada yang menyadari kehadiran mereka, memahami "rasa sakit" mereka.
Aku beranikan diri untuk mendengar mereka, menerima mereka, memahami mereka.
Dari sana, aku memahami bahwa "diri sendiri" itu bukan hanya untuk ditemukan. Tapi, dibentuk. Mungkin, akan ada proses mencari, dan menemukan petunjuk. Tapi, tetap saja, "diri sendiri" yang sejati tidak akan ditemukan jika kita tidak pernah membentuknya. Kitalah yang memutuskan akan menjadi diri yang seperti apakah diri kita.
Kini, aku tidak lagi meributkan soal hati nurani. Tidak pula aku percaya itu ada. Seandainya ada pun, maka suara-suara yang berkicau dalam kepalaku itu semuanya adalah hati nuraniku. Mereka semua adalah bagian diriku yang sedang mengingatkanku dengan kerasnya. Mereka semua adalah sisi-sisi diriku yang sedang khawatir bahwa aku akan terluka, bersedih, atau apapun itu.
Aku hanya perlu bertanya alasan mereka, mengingatkan untuk berbagai macam hal. Aku harusnya memahami mereka, seandainya pun aku masih belum paham, maka aku akan menangguhkannya sampai aku menemukan petunjuk yang lain.
Sambil mendengarkan, juga memikirkan apa yang seharusnya dilakukan, juga sambil meyakinkan mereka bahwa jalan yang kupilih adalah memang yang terbaik. Karena aku sudah berusaha memahami mereka, maka meyakinkan mereka adalah hal yang tidak terlalu sulit. Tidak seperti sebelumnya, dimana aku malah menolak yang mereka katakan, dan mereka justru semakin keras berkicau.
Dan, kutemukan semua terasa begitu menyenangkan. Memang, ada saatnya sedih, kecewa, marah, terluka dan lain sebagainya. Tapi, semua itu terasa sangat berbeda dengan sebelumnya. Meski dalam kesedihan, meski ada kalanya keinginan menghilang itu masih ada, namun aku tidak pernah merasa menyesal telah "ada" di dunia ini. Dan, aku pun masih memiliki keyakinan bahwa aku akan melalui semua itu suatu saat nanti. Meski dibutuhkan waktu yang sangat lama, begitu pun tak mengapa.
Semua "wajah"-ku yang dulu aku pertanyakan dan kuremehkan, kini terasa menyenangkan memiliki mereka semua. Bukan 1 dari mereka yang menjadi bagian diriku, tapi semuanya, ya mereka semua adalah aku. Dan, aku bersyukur memiliki mereka.
Aku tidak peduli orang berkata aku "nopeng", karena toh, personality pun artinya adalah "topeng". Aku tidak peduli orang berkata aku manipulatif, karena toh memang itu sifat dasar manusia. Kenapa harus menolaknya??
Yang penting adalah bahwa aku melakukannya bukan untuk merusak kehidupan.
Kini, bagiku keburukan bukanlah untuk dihindari, direndahkan, dihina, atau apapun yang selama ini orang-orang lain lakukan. Bagiku semua ada sebabnya, dan justru itulah yang butuh untuk didekati, dan dipahami. Mungkin saja, yang ada di balik keburukan itu justru adalah permata yang indah. Sosok yang masih lugu dan polos, keinginan kita yang sebenarnya.
Namun, bagiku kata-kata indah semacam baik, dan bijaksana itu masih "berprestasi buruk".
Keyakinan yang pernah hilang itu, kini aku telah mendapatkannya kembali. Meski, untuk mendapatkannya membutuhkan waktu yang lama. Meski, dibutuhkan usaha kekeh untuk dapat "memahamkan" suara-suara hati itu, hingga disebut keras kepala, itu pun tidak mengapa. Karena, itulah satu-satunya cara yang kutemukan agar mereka pun juga mau mengerti.
Meski, aku masih muak dengan banyak hal di sekitarku. Tapi, kini aku memutuskan untuk mengubahnya. Meski aku belum mumpuni untuk itu, meski aku masih begitu jauh dari diri yang seharusnya. Meski aku belum juga menemukan caranya. Aku hanya bisa berkata aku sedang berusaha.
Meski untuk itu pun, berarti pula bahwa aku akan menyakiti diriku sendiri. Tapi, semua terasa menyenangkan, berbeda. Kebimbangan, kesedihan, yang kurasakan, semuanya terasa lebih memiliki arti.
Dan, itu semua membahagiakan :)
4 comments
Write commentsformat huruf dan background color mu loooh....
ReplySiap bu! Segera tindaklanjuti... :p
Replyssstt..!
Replysaya hanya bisa terpaku : wow!
@affanibnu : thanks ^^
ReplyMari bercuap-cuap :D